Habis membawa Tommy tidur bersama Bu Sona di kamar sebelah, Atma kembali ke kamar hotelnya bersama Bhaga. Bhaga masih di bawah bersama Anna, sepertinya masih asyik bercakap-cakap.
Mata Atma sudah beberapa kali menarik sendiri, dia paksa untuk mandi sekejap, berganti piyama dan menyikat gigi. Setelah semua beres barulah dia naik ke tempat tidur.
Namun, baru saja berbaring sekitar sepuluh menit, sebuah tangan membelai lengan Atma dengan lembut. Membuatnya terjaga perlahan. Ada Bhaga di sampingnya, memeluk dengan lembut, mencium telinganya berkali-kali.
"Mas Bhaga udah mandi?" tanya Atma setengah sadar.
"Udah ..." Bhaga menjawab setelah mengecup pipi Atma.
Atma tahu ke mana tujuan Bhaga. Namun, mata Atma terlalu lelah untuk meladeni.
"Kamu udah mau tidur ya? Atma ..., kita kan lagi di Bali! Lagi tahun baru ini!" kata Bhaga memprotes, rewel seperti anak kecil.
"Ya terus kalau di Bali kenapa, Mas?" tanya Atma sambil membuka matanya
TERIMA KASIH SUDAH MENGIKUTI LOVE AFFAIR. BACA JUGA YUK KAK, SWEETHEART MAFIA, SAY YES PLEASE, DAN DANGEROUS LOVE. MAKASIH ^^
Embun masih bertengger manis di helai-helai tiap daun yang tampak segar dihujani kabut. Sejauh mata memandang dari puncak bukit, terhampar kebun teh yang begitu luasnya. Di puncak bukit itu berdiri sebuah rumah besar bergaya eropa klasik, tipikal rumah orang kaya lama. Tidak jauh dari sana, terdapat juga sumber air berupa air terjun setinggi kira-kira lima meter yang mengalir sampai ke sungai dan sawah-sawah di bawah bukit. Pagi-pagi sekali rumah bergaya eropa klasik itu telah tampak hidup. Melalui kaca-kaca jendela yang tinggi dan besar, terlihat sebuah bayangan terus bergerak hilir-mudik. Sebuah bayangan perempuan muda bergaun mini selutut bermotif polkadot berwarna krem. Dia berpindah-pindah, membuka jendela satu per satu, kemudian diikuti lampu yang juga padam satu per satu. Siluet tubuh mungil tinggi semampai itu berhenti di sebuah kamar yang berdebu agak tebal. Ini pertama kali dia memasuki kamar di lantai paling tinggi itu, sebab hari ini pemiliknya akan kemba
"Bhaga ...!" Bu Sona berlari menghampiri pria muda bertubuh tinggi tegap yang baru turun dari mobil itu. Atma masih diam mematung dari dalam rumah, sekujur tubuhnya mendadak kaku, tegang, ditatapnya ragu-ragu pemuda tampan berkemeja coklat muda bernama Bhaga itu. Masih terbayang di kepalanya, bagaimana bila Bhaga tak bisa menerima kehadirannya di rumah, Atma tak berani memikirkan apa yang akan terjadi,apabila dia sampai dihusir misalnya, walau hal itu sepertinya tak mungkin terjadi. Bu Sona berpelukan agak lama dengan Bhaga, melepas rasa kangen yang sama-sama menyesakkan dada mereka. Bu Sona memegang tubuh Bhaga yang terasa begitu padat dan tegap, berkatrutin berolahraga. "Ibu gak nyangka, Ga! Kamu sekarang cakep banget, gagah banget, kayak bukan anak Ibu!" ujar Bu Sona memuji. "Jadi maksud Ibu, aku ini dulunya nggak gagah? Nggak cakep?" Bhaga setengah tertawa. "Bukan gitu! Dulu juga cakep, tapi sekarang lebih cakep! Yuk masuk, bapak ada d
"Mas Bhaga mau keliling kampung?" tanya Atma saat dia lihat Bhaga sedang mengenakan sepatu di teras. Sejak kembali, Bhaga memang belum sempat melihat-lihat sekitar. "Ya, kamu mau ikut?" Bhaga menghampiri Atma yang baru selesai menjemur pakaian di halaman samping, seketika seluruh tubuh Atma menjadi tegang, gugup. "Atau ..., kamu masih ada kerjaan lain?" tanya Bhaga. "Oh, nggak ada sih Mas, tapi ...." Kepala Atma menunduk, jatuh ke rumput-rumput yang basah dengan air dari perasan pakaian. "Tapi?" "Emangnya boleh? Maksud aku, aku takut malah ganggu Mas Bhaga nantinya." "Kamu ini ngomong apa?" Bhaga tertawa kecil. "Nggak ganggu lah, ayo ikut, aku mau liat-liat kebun aja, sih, sama ... ya, ketemu sama tetangga-tetangga, udah lama nggak liat kampung ini." Bhaga mengedarkan pandangannya ke hamparan kebun teh yang menghijau sampai ke bawah bukit. Dengan ember di tangan, Atma berlari ke pintu belakang, dia tinggalkan saja ember itu di
Kilat-kilat menyambar di atas cakrawala biru gelap. Angin berembus tak kalah kuat, menggugurkan daun-daun tua disusul serangan tetes-tetes air hujan. Atma berlari dari satu ruangan ke ruangan yang lain, mengerahkan seluruh tenaga untuk menutup jendela yang terbanting-banting oleh angin kencang. Cuaca buruk petang itu seakan tak cukup untuk membuat suasana mencekam, Bu Sona keluar dari kamar Pak Giring dan berlari naik ke lantai atas. "Bhaga ...! Bhaga ...! Bapak sesak napas! Bhaga ...!" Kepal Bu Sona berkali-kali meninju pintu kamar Bhaga. Selang semenit, Bhaga membuka pintu dengan rambut masih basah kuyup. "Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Bu!" serunya panik. Sejenak Atma berdiri memperhatikan Bhaga menggendong Pak Giring, lantas dengan kikuk berinisiatif memayungi mereka sampai ke mobil, tak sepatah kata juga keluar dari mulut Bhaga, sedang Bu Sona sigap mencomot beberapa potong pakaian dan membawanya ke dalam tas. "Tolong kamu jaga rumah ya, Ma!"
Beberapa kali hantaman angin ke jendela mengejutkan Atma. Nasi di mulutnya dikunyah perlahan. Lain darinya, Bhaga justru tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Kikuk, canggung, keduanya makan berhadapan nyaris tanpa bicara. Tadinya ada begitu banyak pertanyaan di kepala Atma seputar Pak Giring yang hendak dia ajukan, tapi setelah berhadapan dengan Bhaga, semua susunan kata-kata itu memudar dan menguap di udara. Sop yang dibuat Atma pun sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya. Apakah asin, manis atau pedas, Atma tak tahu lagi, yang dia tahu saat ini dia sedang berdua saja di meja makan bersama Bhaga. Suara hujan dan angin di luar seakan menjadi lagu tema yang melengkapi keheningan mereka. "Soal paket C ..." Akhirnya Bhaga yang memecah kesunyian, barangkali dia sudah tak tahan berlomba diam dengan Atma. "Hm?" gumam Atma gugup. "Aku udah cari tau syarat-syarat pendaftarannya, kamu jadi mau ikut, kan?" Bhaga menatap lurus ke dalam manik indah Atma, mencipta
Sinar matahari pagi jatuh tepat di wajah Bhaga. Kain gorden yang halus berembus perlahan ditiup angin pagi perbukitan yang dingin. Agak berat, Bhaga membuka kelopak matanya akibat silau yang teramat. Dia bangkit dari tidur dan memperbaiki posisi duduknya. Mengerjap sekali-dua kali, mengucek matanya sebentar lantas merentangkan tangan yang terasa kaku. Setelah kesadarannya kembali penuh, matanya tertuju keluar, ke halaman yang tepat berada di luar jendela. Di halaman, Atma sedang menyapu. Hijaunya halaman telah berganti dengan daun-daun tua yang berserak di mana-mana. Atma juga mengutip beberapa buah jambu yang ikut gugur akibat angin kencang semalam. Yang buahnya rusak dia buang, sedang yang kondisinya terlihat masih elok, dia masukkan ke dalam keranjang bambu kecil. Sejenak Bhaga tertekun, matanya tak bisa lari dari sosok Atma yang begitu manis. Lelaki mana yang takkan tergugah hatinya bila melihat sorot mata Atma yang begitu halus dan teduh dengan warna iris mata sedikit k
Satu minggu telah berlalu, namun kondisi kesehatan Pak Giring masih sama, belum ada peningkatan yang signifikan. Dokter bilang, kemungkinan malah kondisinya akan makin memburuk, dan pihak keluarga harus siap untuk hasil yang paling jelek sekalipun. Satu-satunya hal yang barangkali masih menunggu Pak Giring adalah pernikahan Bhaga dan Jessica, dan itu pun sudah harus disegerakan. "Lihat kondisi bapak, Ga. Secepatnya ajak Jessica ke sini, supaya bapak bisa melihat kamu menikah," ucap Bu Sona pada suatu hari. Bhaga mengulum bibirnya, gundah, bingung. Sejujurnya, dalam lubuk hati paling dalam, dia masih ragu, haruskah menikahi Jessica? Keraguan itu kini timbul dan meninggi, setelah hadir Atma dalam hidupnya, yang walau masih terbilang singkat, namun begitu berkesan. Berhari-hari gundah, Bhaga sampai sengaja menghindar dari Atma, tentu untuk mengusir secuil rasa yang timbul tiap kali bertemu pandang dengan gadis cantik itu. Sebisa mungkin dia tepis dan dia padamka
Hawa yang dibawa oleh Jessica memang berbeda. Gadis periang itu seakan membawa serta segala kehangatan ke desa yang dingin. Atma tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Jessica sejak pertama kali mereka bertemu, wajahnya begitu cantik dan memancarkan aura yang ceria. Kalau perempuan seperti Atma pun terbius akan kecantikan Jessica, apa lagi pria, Atma bisa mengerti kenapa Bhaga bisa jatuh hati kepada Jessica. Bukan hanya Bhaga, Bu Sona pun sudah begitu menyayanginya. Kalau tak ada halangan, minggu depan mereka akan menikah secara agama. Sejak tiba di desa, Jessica tak bisa diam. Dia ingin melihat kebun teh, ingin melihat sawah, ingin melihat jembatan, ingin melihat air terjun, serasa dia datang bukan karena Pak Giring sedang sakit tapi untuk berlibur. Namun siapa yang bisa menghentikannya? Tak ada. Jiwanya bebas seperti seekor burung elang. Dan sejak kehadiran Jessica di rumah, Atma makin berjarak dengan Bhaga. Sebelumnya Bhaga yang menghindar, sekarang giliran Atma yan