"Sedang apa kau di depan pintu kamar putriku?" tanya seseorang, membuat tubuh orang itu menegang.
Reandra menatap penuh intimidasi ke arah gadis yang baru saja membalikkan badan dan juga tengah menatapnya dengan tajam. Iya, pria itu adalah Reandra, ayah kandung Ines, sedangkan gadis itu Reandra tidak mengetahui namanya. Dia akan menginap di sana beberapa hari sebelum berangkat ke Singapura, tempat tinggalnya sekarang.
"Bukan urusan lo," jawab gadis itu dengan ketus seraya pergi meninggalkan Reandra yang berdiri dengan penuh kecurigaan.
Bagaimana tidak? Reandra melihat gadis itu tengah menutup pintu kamar putrinya, lalu mengatakan hal yang membuat jiwa penasaran pria paruh baya itu berkembang. Dia harus waspada dan mencari tahu.
Saat akan membalikkan badannya. Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. "Mas Andra," panggil seseorang dengan lembut.
Reandra menatap orang yang memanggilnya
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
Vallen dan Ines turun ke lantai bawah dan menuju ke ruang makan. Mereka akan ikut sarapan bersama dengan keluarga Erick. Tidak hanya keduanya, tetapi papa Ines juga berada di sana.Vallen mengernyitkan dahinya ketika Ines tiba-tiba saja berhenti. Saat gadis itu akan memutar balik badannya, sang suami langsung menggenggam tangannya. Ines menatap penuh protes ke arah Vallen, tetapi pria itu tidak mendengarkan. Dia terus saja menarik Ines agar mengikutinya ke meja makan.Vallen meminta Ines untuk duduk di sampingnya dan gadis itu menurut. Namun, tiba-tiba saja Nela datang, dia meminta Ines untuk pindah tempat duduk karena itu adalah kursi yang biasa Nela tempati ketika tengah ikut makan bersama keluar Argiantara Erick."Ines? Kamu kenapa duduk di sini? Ini tempat aku, Nes. Aku biasanya duduk di sini, kalau makan di rumah Tante Mayang," ujar Nela seakan mengingatkan Ines."Bisa duduk di kursi yang lain bukan?" Bukan, bukan Ines yang menjawab melainkan Vallen.
Seorang gadis tengah menatap pantulan dirinya di depan cermin. Entah apa yang ingin dia lihat? Yang jelas, dia hanya mengulas senyum manisnya. Senyum manis yang selalu terukir di bibirnya setiap hari, tanpa lelah. Dia mengedipkan sebelah matanya, lalu berjalan keluar kamar dan menuju ke ruang makan."Selamat pagi, Bun," sapa gadis itu kepada wanita paruh baya yang sedang berkutat dengan masakannya.Gadis itu menatap ke arah meja makan yang terdapat beberapa makanan. Hati rasa ingin mencicipi, tetapi apalah dayanya yang takut sang bunda marah."Bunda, Ines berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum, Bun." Setelah mencium punggung tangan bundanya, Ines langsung berjalan keluar rumah menuju ke depan gerbang rumahnya.
Ines hanya mampu diam tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Gadis itu menatap Arka yang tengah berbincang bersama seorang gadis yang memanggil mereka. Keduanya nampak akrab, seakan sudah berkenalan sejak lama. Saking asyiknya berbincang, mereka sampai melupakan ada seorang gadis yang tengah menatap keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Hingga Arka menyadari satu hal, lalu mengalihkan pandangannya dan menghentikan perbincangan itu."Nes, sini," pinta Arka, membuat Ines mendekati Kakaknya.Setelah berdiri di samping Arka, gadis yang ada di hadapan mereka langsung menyapa Ines."Hai, Nes," sapa gadis yang berada di hadapan mereka.Ines menatap gadis itu dengan ragu-ragu, lalu menyahut, "Ha-hai, Ka-k Nel," sahut Ines dengan terbata-bata.Arka hanya tersenyum maklum melihat kegugupan Ines.
Tamparan yang begitu keras, membuat tubuhnya tersungkur ke lantai. Namun, sebelumnya dahi gadis itu juga membentur ujung kursi meja makan. Bi Iis dan Pak Imat yang melihat itu langsung berteriak, sedangkan Ines hanya bisa menangis tanpa suara sambil memegang pipinya yang memerah. Melihat hal itu, Bi Iis langsung menghampiri Ines dan memeluknya."Ampun, Bu. Jangan sakiti Non Ines, Bu," pinta Bi Iis yang sudah menangis tersedu-sedu melihat nona mudanya yang kesakitan akibat tamparan keras dari sang nyonya."Menyingkir, Bi Iis! Anak sialan ini harus diberi pelajaran!" teriak wanita yang dipanggil nyonya oleh Bi Iis.Wanita itu bernama Mayang, bunda dari Ines. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Mayang datang dari belakang, lalu menampar gadis yang berada di pelukan Bi Iis tanpa sebab.Mayang menarik tubuh Bi Iis agar melep
Seorang gadis tengah berdiri di depan pintu sebuah rumah mewah, tetapi terlihat sederhana dan nyaman. Dia mengangkat tangannya dengan ragu-ragu, apa dia harus mengetuk pintu tersebut atau kembali pulang ke rumahnya dengan menahan lapar. Gadis itu sangat malu karena harus datang ke rumah ini setiap hari hanya untuk singgah. Ya, singgah untuk makanan. Walaupun tuan rumahnya dengan senang hati menerima kedatangan dia, tetapi tetap saja tidak enak pada mereka."Aduh, Ines bingung. Ketuk jangan ya? Tapi kalau nggak diketuk, nanti Ines makan apa coba?" gumam Ines.Iya, gadis itu adalah Ines. Dengan modal keberanian karena rasa lapar yang menyerang perut kosongnya sedari pagi, membuat gadis itu nekad untuk datang ke rumah Fernan hanya untuk sebuah makanan. Malu? Sebenarnya dia malu, tetapi mau bagaimana lagi? Gadis itu tidak punya pilihan lain, daripada terserang maag atau penyakit lambung. Jadi, lebih baik
"Ines," panggil seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai papa Fernan, Rafandra Pratama Reswara.Merasa ada yang memanggilnya, Ines langsung mengalihkan pandangan ke asal suara. "Iya, Om? Kenapa?" tanya Ines.Rafandra menghampiri gadis itu, lalu mengelus puncak kepalanya. "Kamu yang kenapa? Apa ada problem di rumah? Bunda kamu pasti kambuh lagi?" Bukannya menjawab, Rafandra malah balik bertanya.Ines cengengesan tidak jelas, lalu menjawab, "Om tahu sendiri Bunda gimana kalau sama Ines, tadi juga Ayah kayak bentak Ines cuma buat nyuruh ke kamar." Ines tersenyum dengan tulusnya.Rafandra menghela napas berat, lalu duduk di kursi biasa di ruang makan sebagai kepala keluarga. Pria itu melirik ke arah istrinya, lalu kembali beralih ke arah gadis yang berada di samping kanannya."Kok bisa ayah kamu marah?" tanya Rafandra kembali.Ines menggelengkan kepala. "Nggak tahu, O