"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?"
Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu."
"Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu."
"Tapi--"
"Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia."
Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang.
Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Badannya bagai anak SMA, padahal sudah kuliah semester tiga. Dia punya kulit kuning langsat yang kata orang kenyal mirip kulit bayi, rambutnya hitam lembut harum shampo Didie. Kata Ibunya, Vivi gadis cantik, entah kenapa masih jomblo, jadi, pemuda gendut berkacamata di depannya bukan pacar Vivi. Vivi percaya jika ada kemauan pasti ada jalan. Seperti Aladin yang menemukan lampo ajaib, dia percaya ada seorang Jin baik hati yang akan mengabulkan semua permintaanya. Permintaan Vivi tidak muluk-muluk, selain ingin punya pacar cowok Korea, dia ingin pandai menulis dan menciptakan buku berkelas. Padahal dia malas membaca, malas menulis, malas mendengar kesuksesan orang juga nasihat orang. Apa bisa jadi penulis pemes? "Coba tadi enggak ke toilet, pasti enggak sampai sini!" S
Kalau tidak salah satu minggu telah berlalu, kurang lebih sih begitu. Setelah pertemuan pertama dengan 'calon Imam' pilihan Vivi, gadis itu baper abis. Ya, namanya juga Vivi. Melihat cowok bening sipit langsung jatuh hati. Akan tetapi rasa bapernya itu sedikit ternistakan oleh banyak hal. Sekarang dia duduk di kursi putar di dalam kamar menutup buku Kejora. "Apaan nih buku, kok beda banget sama seri satu dan dua." Dia cemberut setelah membaca buku yang kata orang bagus tapi ... "Bagusan kisah cintaku dan Om Mas Ganteng di toko buku." Vivi tersenyum ala bunga puteri malu. Padahal hanya disentuh oleh angin pagi, kedua tangannya menutup menyangga dagu, mendongak, sambil senyum sendiri. Semua gara-gara kenangan itu. Wajahnya ganteng banget, badan juga atletis abis, mana suaranya itu loh membuat Vivi berdebar-debar. Yup, Vivi sedang mengagumi cowok di toko buku. "Mungkin dia sedang di sana lagi." Buru-buru Vivi ke toko buku, hal yang sa
Senyum jahat muncul di bibir. Ia tertawa seperti professor jahat berhasil membuat senjata pemusnah dan siap menterror kota.Vivi menemukan cara super hebat untuk membuat novel yang ia tulis mendapat banyak vote, juga kehujanan komentar positif, sekaligus menambah banyak follower. Sebenarnya ini cara yang ... yang penting berhasil.Dimulai dari membuat ratusan akun kloningan. Semua itu bukan hanya untuk promo, tetapi memberi vote palsu, komentar palsu, juga follower palsu. Dalam waktu singkat novel abal-abal yang dia tulis masuk peringkat sepuluh besar dalam aplikasi tulis menulis online.Di kampus, ketika waktu pergantian mata kuliah, Vivi gaduh sendiri di depan kelas yang nyaris kosong ditinggal penghuni ke kantin. Dia berdiri seperti artis, tapi hanya beberapa orang yang peduli.Sambil memamerkan layar hp, dia berkata, “Hai, guys and girls, lihat nih, followerku sudah banyak banget. Terus yang vote juga ratusan. Mereka semua suka sama kar
Malam semakin larut. Vivi duduk di kursi belajar dalam kamar fokus pada layar laptop di atas meja. Kepalanya mengangguk-angguk kecil mendengar lagu SHINee, boy band Korea Selatan favoritnya.Dia sedang stalking akun facebook penulis yang karyanya ia colong. Dengan tabah ia membuka satu-satu akun bernama Efendi, hingga sampai juga ke sebuah akun penulis itu. Dengan akun palsu Vivi meng-add dia jadi teman, berharap bisa mengetahui lebih banyak sosok itu.First impression dari Vivi untuknya, Efendi cowok baik, ramah dan cukup supel. Dia enggak garing, terus terang ia sangat nyaman mengobrol dengan cowok itu. Tidak nampak kesedihan dari pesan-pesan balasan yang ia terima.Iseng-iseng dia mengunjungi akun Efendi di aplikasi tulis menulis. Mau tau, sejauh mana terror follower Mimi menggempur akun itu.Vivi membaca beberapa komentar barbar di novel, juga di wall, dan semua itu membuatnya menghela napas juga memaksa bibir bergetar. Semakin lama ia
Perkataan Mimi membuat Vivi dan Sasa bertukar pandang bingung, terlebih sahabat mereka itu menarik lengan mereka."Ayo duduk dulu. Aku jelasin."Keduanya menurut seperti murid TK disuruh guru untuk duduk. Di mata mereka Mimi memang spesial. Cowok mana yang tidak takluk oleh Ratu Tomboy Sejagat? Anak basket? Mimi pernah suka sama senior, dia menantang basket dan cowok itu tunduk. Anak band? Ada murid SMA yang ditaklukkan dengan cara dia ikut bermain gitar. Seorang dokter? Dulu Mimi pura-pura sakit dan berhasil memacari dokter muda itu. Semua cowok-cowok itu hanya bertahan seminggu jadi pacarnya, lalu secara sepihak dia memutuskan mereka. Benar-benar playgirl sejati.Sekarang keduanya menanti apa yang akan Mimi ucapkan.Dan tak butuh waktu lama untuk gadis itu berucap. "Jangan mengejar cogan, tapi buat mereka penasaran dengan kita.""Penasaran gimana?" selidik Vivi."Ya jangan jadi murahan. Intinya--""Intinya nge-drama, ya kan?" sela S
Di bawah naungan langit yang sama, beda tempat dan beda suasana.April tampil cantik dengan gaun sabrina hitam panjang, duduk manis di jok depan mobil Camry keluaran terbaru warna hitam. Sesekali ia menoleh ke arah kursi kemudi sambil tertawa mendengar ucapan pemuda gendut berkaca mata, keturunan Tiongkok berpipi tembem lucu yang memakai kemeja dengan rompi sweeter tanpa lengan. Dia Rafa Rafi, mau dipanggil Rafa bisa, Rafi juga tak apa."Your so beautiful," puji Rafa."Thank you.""Jadi, buat apa nih, nyari editor?"April menjelaskan duduk perkara pada Rafa, mulai dari Vivi yang aneh sampai masalah plagiat dan penulis novel. Rafa mendengar dengan baik sekali, kadang memberi tanggapan dengan anggukan tetap fokus pada jalan di depan."... gitu." April menutup curhat dengan helaan napas berat, lalu bertanya, "Bagaimana, bisa bantu enggak?""Bantu gimana?" Rafa diam cukup lama hingga ketika sampai di lampu merah, mobil b