Betapa terkejut Anjas mendapati Vivi keluar dari kafe sampai nyaris menjatuhkan hp. Dia tak menyangka gadis sial masih nekat stalking. Ini kesempatan untuk memarahinya karena aksi di mall benar-benar membuat sengsara.
Ia bangkit hendak mengejar, tapi urung karena mendapati stop map warna kuning tergeletak di meja yang baru saja gadis itu tinggal. Sesuai perjanjian harusnya gadis yang bakal dia ditemui membawa stopmap warna itu.
Dia belum percaya jika gadis itu Vivi, berdoa supaya semua isi pikiran tidak benar. Untuk itu dia pindah duduk ke kursi yang masih hangat bekas dipakai Vivi. Setelah memakai kacamata baca, Anjas mulai membaca satu persatu halaman dalam stopmap, mulai dari kalimat pembuka sampai penutup. Cekatan dia mencoret-coret kalimat memakai pena, hingga kertas draft menjadi seperti canvas berisi lukisan tinta hitam. Dengan kasar ia menaruh stopmap kembali ke meja.
Lemas Anjas menghela napas, bersandar pada sandaran kursi sambil memijat kedua
April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu."Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya."Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau
Anjas bengong melihat betapa cerah wajah Vivi ketika menjawab tadi. Sekilas ia teringat akan sosok yang dulu memiliki senyum tak kalah indah. Sosok yang sempat sangat dia sayangi, tetapi sekarang menjadi setan yang sangat dibenci, hingga ingin memakannya mentah-mentah."Romance itu genre, kan?" tanya Vivi, dengan wajah polos menyertai ucapan.Anjas terkekeh. Genre pilihan Vivi sangat sering dia dengar sampai membuat muak. "Kenapa harus Romance? Kenapa bukan Fantasy? Kenapa bukan History?""Karena Romance indah, banyak cinta dan uwu-uwu. Semua manusia pasti memiliki kisah cinta, kan? Kakak juga pasti punya. Jadi bakal mudah menulis novel Romance, percaya deh."Vivi menangkap perubahan raut wajah Anjas yang tadi ramah kembali dingin. Ia sadar jika telah berbuat salah, tapi apa? Kenapa? Mungkin karena sombong? Dia memilih bertanya dari pada tersesat dalam pikiran. "Kenapa Kak?""Premis apa yang ingin kamu buat untuk novel Romance?" lanjut Anjas, kali
Vivi memandang Anjas tanpa kedip. Kedua tangan mengepal. Dia tak ingin berakhir seperti ini. Terlalu jauh untuk kembali. BErapa banyak pengorbanan yang ia beri. Tak sadar air mata mengalir di pipi.Anjas bangkit menarik lengan Vivi supaya mau duduk, tapi gagal.Vivi menepis tangan Anjas. "Aku enggak mau berhenti. Kakak membuatku ingat alasan menulis. Membuatku mengerti walau baru dikit. Kenapa sekarang malah disuruh berhenti? Maaf kalau aku bodoh--"Anjas duduk kembali. Cukup lama menikmati Vivi yang berjibaku menahan tangis supaya tidak meluber semakin deras. Gadis unik, anek, tapi penuh semangat. Ia menyeringai."Kalau mendengar sesuatu, jangan sepotong-potong. Duduk, biar kujelaskan. Kalau enggak mau duduk. kita udaham, bagaimana?"Diancam begitu perlahan Vivi duduk, mengusap air mata sambil mengatur napas sesengakan, mendapati Anjas menulis sesuatu di kertas, lalu mendorong benda itu di atas meja."Baca baik-baik."Vivi membaca tu
Sasa dan Mimi menghujani Anjas dengan berpuluh pertanyaan, seperti polisi mengintrogasi penjahat. Mereka tak peduli pada banyak mata yang mengintip di sekitar,juga telinga yang mencuri dengar. Seisi kafe gaduh oleh suara mereka. Hanya Vivi yang bengong sambil memandang jengah kedua gadis sinting."Jadi Mas editor?" pertanyaan Sasa begitu antusias, raut wajah berseri-seri ketika Anjas mengangguk kalem sambil tersenyum."Pantas Vivi minta dibuatkan review--""Apaan sih," sela Vivi.. "Kak, kenalin, ini sahabat-sahabatku. Sasa dan Mimi.""Kan tadi udah kenalan," keluh Mimi.Vivi menjawab, "Ye, kan belum dikenalin.""Sudah, sudah, jangan bertengkar," sela Anjas, menaruh kertas putih dan pena ke atas meja. "Vi, kamu sudah membaca beberapa novel yang aku suruh baca, kan?"Vivi menangguk menaruh kertas ke meja yang sama. Beberapa judul cerita telah diconteng, tanda jika sudah dibaca. Aslinya tak satupun ia baca. Menurut Vivi, Anjas h
Anjas berdiri di depan meja kasir. Dua pelayan menanti dengan senyum. Ia memilih makanan untuk dibawa pulang. Raut wajah nampak bingung memilih yang mana, hingga menunjuk sebuah paket nasi kotak. "Aku tahu kamu bakal membeli makanan untuk Anis," ujar Ismed, berdiri di samping Anjas, tersenyum pada pelayan. "Kopi hitam, dibawa pulang, ya." Tanpa menoleh Anjas menanggapi ucapan Ismed dengan suara dingin. "Kenapa kau biarkan dia menunggu sendiri, tanpa sarapan dan makan siang? Harusnya kau menjaganya, kan?" "Aku sudah berusaha tapi dia menolak. Katanya baru mau makan setelah bertemu denganmu." "Supir yang baik. Kau lebih loyal dari anjing peliharaan," ejek Anjas. Ismed menyeringai sinis, sambil meneguk koi hitam. Ia tak beranjak walau telah mendapat minuman pesanan. "Setidaknya sebagai asisten pribadi aku peduli pada gadis malang itu. Tugasku menjaga, menemani, dan harusnya mematahkan tulang orang yang membuatnya susah, seperti dirimu." A
Ismed berusaha menarik mundur Anis, tapi gadis itu terus meronta.Beberapa orang keluar dari kamar mereka untuk mengintip sumber kegaduhan, tapi semua itu tak berarti apapun pada gadis yang sangat ingin bertemu Anjas."Lepas, aku bilang lepas!""Nona, jika terus seperti ini pihak apartemen bisa memanggil sekuriti. Anda tak ingin membuat Tuan besar malu, kan?"Mendengar kalimat Tuan besar Anis menghentakkan kedua tangan, hingga dominasi Ismed luput. Ia membenahi pakaian, memandang judes pemuda yang juga tengah membenahi jas. Ia melangkah pelan semakin cepat menuju lift.Semasuknya di sana, ia memencet kasar tombol lift berulang. Pintu lift nyaris menutup sempurna, tapi sepatu kulit warna hitam mengkilat menahan pintu, Ismed ikut masuk ke dalam."Kau, gunakan tangga."Ismed nekar masuk, menekan tombol hingga pintu tertutup sempurna. "Terlanjur masuk. Lagi pula nanti jika kita tak bertemu di lantai satu, malah gawat." Ia pindah ke belakang Anis,
Anjas berharap Vivi bisa menunjukkan perkembangan yang besar. Ia memperhatikan gadis itu menulis. Senyumnya muncul karena raut wajah serius yang ia lihat. Tiba-tiba bayang masa lalu muncul.Dulu Anis juga seperti ini, bersemangat dalam menulis. Sontak ia menggeleng pelan, melepas kacamata, mengurut pelan kening."Kak," tegur Sasa, mengeluarkan beberapa halaman kertas dari tasnya. "Kalau Kakak ada waktu, bisa baca draft ini.""Draft? Coba mana." Ia menerima tumpukan kertas milik Sasa, memasang kembali kaca mata. Sambil menunggu Vivi menulis, Anjas membaca isi draft.Sebuah cerita bergenre romance islamiah buatan Sasa membuatnya tertarik. Cukup unik kisah itu. Pada part satu menceritakan tentang seorang gadis nakal yang dikirim ke asrama Gontor, untuk mendapat pendidikan. Ia mengangguk-angguk membuka halaman selanjutnya."Ceritanya bagus."Raut wajah Sasa sumringah."Bener, Kak? Kakak enggak bohong? M-maksudku, Kakak enggak berusaha menghiburkan bela
Pertemuan demi pertemuan terjadi. Vivi patuh pada ajaran Anjas karena belum mengerti teknik menulis yang benar. Jangankan KBBI, beda narasi dan dialog tag saja belum paham. Syukur berkat skill dan kesabaran di atas rata-rata, Anjas berhasil membimbing.Anjas pula memuji draft milik Sasa, hingga membuatnya berani mengirim draft ke publisher Mayor.Semua berjalan dengan mulus hingga memasuki bagian proses meracik plot dan karakterisasi tokoh dalam cerita yang Vivi tulis. Mulai tercipta riak diantara mereka.Vivi merasa ini kisah nyata berbasis kejadian masa lalu, dia lebih mengenal diri sendiri juga cowok yang ada di masa lalu. Ia juga lebih paham kejadian apa yang terjadi kala itu dan menganggap Anjas sok tahu karena mengatur ini dan itu. Proses ini melelahkan, dua kali pertemuan mereka seperti berjalan di tempat.Hari ini pun tak berbeda dengan kemarin. Keduanya debat hingga menyita banyak perhatian dari pengunjung juga pelayan."Yang benar dong ka