"Wahai para kesatria, kalau boleh tahu. Ada apakah gerangan kalian datang ke tempat ku yang kotor ini?" ucap Tanu yang masih mengelus pakaian Jirah para utusan istana. Nada ucapan kakek tua itu seperti seorang pujangga yang dilanda mabuk asmara.
'Tingkah kakek semakin aneh saja!' gerutu Sadarga, nampaknya ia kesal melihat tingkah kakek angkatnya.
Karena mendapat perlakuan aneh dari Tanu, pria sipit nampaknya kegelian sendiri. Ia sekan tak nyaman mendapat perlakuan Tanu yang mirip seorang lelaki sedang merayu wanita."Ka-kami hanya menuruti perintah raja, Kek!"
"Aduhai senangnya diriku ini, didatangi 2 utusan kerajaan yang begitu murah hati. Tapi ... sepertinya ada maksud lain yang mendorong kalian datang ke tempat ini, jika tak keberatan mohon sedia beritahukan pada kakek tua ini!" tutur Tanu. Sepertinya ia benar-benar sedang merayu.
Jelas saja, tingkah Tanu semakin membuat Sadarga gemas. "Kakek! Apa kamu baik-baik saja?" celetuk Sadarga.
"Hemp!" geram Tanu. Kemudian ia menatap Sadarga.
"Anak kecil. Lebih baik kamu pergi mencari kayu bakar, sepertinya hal itu akan lebih baik dari pada diam di rumah. Hehe!" pinta Tanu sambil terkekeh.
Lagi-lagi Sadarga terkejut mendengar ucapan kakek angkatnya itu."Apa? Mencari kayu bakar!!"
Yang benar saja!
Jangankan mencari kayu bakar. Untuk sekedar berjalan keluar halaman rumah pun, Sadarga perlu kerja keras. Sebelah tulang kakinya lunak, dan hal itu menyebabkannya sulit berjalan.Menyadari ada ucapannya yang salah, Tanu segera menutup mulut dengan sebelah tangannya."Oh tidak. Bocah ... sepertinya maksudku bukan mencari kayu bakar. Tapi belajarlah menggunakan kayu dengan sabar!" lanjut Tanu.
Sadarga hanya menganga, rupanya ia tak tahu bahwa Tanu sedang mengalihkan perhatian 2 tamu istana itu.
Tetua itu seakan mengetahui tujuan lain utusan istana, yang hendak datang ke rumahnya.
Yang jelas, saat ini Tanu sedang mengambil sebuah tindakan. Ia mencoba melakukan perlawanan dengan cara halus, berharap tamu dari istana itu segera pulang.
***
Di tengah malam.
Sebelum Desa Purbawati di datangi ratusan utusan istana. Tanu hendak mengunjungi kediaman seorang pemuda terkuat bernama Jiro. Sekaligus sebagai sesepuh wilayah Desa Purbawati.Kehebatan ilmu bela diri lah yang membuat Jiro menyandang gelar sesepuh wilayah!
Tok tok tok ....
Suara pintu berbunyi di saat keadaan desa sunyi sepi. Sepertinya Tanu datang di kala orang lain tengah tertidur pulas.
"Hmmp, siapa itu?" tanya sesepuh wilayah dari dalam rumahnya.
"Ini aku, Tanu!"
Setelah mendengar sebuah nama, sontak saja sesepuh wilayah itu bergegas membuka pintu.
"Guru ... Maafkan aku. Karena tak mengenal betul bahwa itu suaramu!" ucap Jiro panik, ia menundukan kepalanya karena malu.
Tunggu!
Guru?
Mengapa Jiro yang menyandang gelar sebagai sesepuh wilayah. Malah menyebut Tanu sebagai Guru?
Ternyata hal itu bukan dari tak kesengajaan. Melainkan kedudukan seorang guru dan murid yang telah di ikat dengan beberapa penyebab.
Salah satunya ialah umur sesepuh wilayah di Desa Purbawati itu, jauh lebih muda dari Tanu. Bahkan usia Jiro hampir seusia dengan Ningrum. Kemudian alasan lain Jiro mengakui Tanu sebagai gurunya ialah, semua ilmu Kanuragan milik sesepuh wilayah itu, hanyalah satu per empat dari ilmu Tanu.
Namun selama 11 tahun terakhir, Tanu tak pernah menunjukan kehebatannya di muka umum. Kakek tua itu lebih memilih berpenampilan layaknya seorang tetua biasa.
Keadaanlah yang memaksa Tanu harus menunjukan taringnya pada Jiro. Karena sesepuh wilayah itu sangat menyukai Ningrum dan ingin menikahinya. Tapi Tanu tak akan membiarkan itu terjadi, sebelum Jiro mengalahkannya.
Baru saja sesepuh wilayah itu ingin mengajak Tanu masuk ke dalam rumah. Tapi Kakek tua itu segera memberi tahu maksud kedatangannya."Jiro! Lebih baik kita pergi sekarang dan bangunkan semua pendekar di desa ini!" gertak Tanu.
"Hah! Memangnya ada apa, Guru?"
"Esok hari, desa ini akan didatangi rombongan istana kerajaan. Mereka berniat memikat hati semua penduduk untuk mengalahkanmu dan mencari seorang anak kecil, lalu membunuhnya!"
"Maaf guru. Jika boleh tahu apa hubungannya dengan para pendekar?" tanya Jiro.
"Para pendekar akan merasakan hawa jahat dari rombongan istana, lalu mereka akan bertempur satu sama lain. Setelah itu mereka akan mati konyol!"
"Maaf guru. Aku masih belum mengerti," celetuk Jiro.
"Bodoh. Otakmu sama dengan cucu angkatku. Perlu kamu ketahui! Kerajaan kita saat ini sedang di kuasai pihak lain. Mereka ingin mengacaukan kerajaan, memecah belah rakyatnya dan mengadu domba rakyat dengan rajanya."
Mendengar penjelasan Tanu, Jiro hanya mengangguk pelan. Sebenarnya ia belum mengerti maksud Tanu. Tapi melihat raut wajah Gurunya yang serius, ia memilih tak bertanya lagi. Jiro langsung memenuhi keinginan Gurunya.
"Baiklah Guru, mari kita pergi!" pungkas Jiro.
Setelah semua pendekar desa berkumpul di tanah lapang. Tanu memerintahkan Jiro untuk membeberitahukan peristiwa yang akan terjadi esok hari.
Awalnaya, para pendekar itu ragu dengan perkataan Jiro. Dan hal itu membuat Tanu terpaksa membuka siapa dirinya sebenarnya.
Setelah mengetahui bahwa Tanu merupakan seorang petapa sakti. Barulah para pendekar itu mempercayainya.
Tanu memperlihatkan wujud tenaga dalamnya untuk kali pertama di hadapan orang banyak. Kakek tua itu mengeluarkan cahaya pada telapak tangannya. Kemudian dari cahaya itu tiba-tiba muncul bayangan gambar peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari.
Sontak saja para pendekar yang melihat aksi Tanu, mengakui Kakek tua itu sebagai gurunya.
"Guru! Jika memang besok atau lusa rombongan istana itu datang. Lalu apakah yang harus kita lakukan?" tanya Jiro mewakili semua pendekar.
"Tetaplah bersikap tenang, tapi hal itu akan terasa sulit bagi kalian. Sebab jika mereka datang amarah kalian akan terpancing lalu meluap karena ulah ilmu sihir dan akhirnya melahirkan nafsu untuk membunuh," tutur Tanu sambil melipat tangan di dadanya.
"Mengapa hal itu bisa terjadi?" timpal Jiro.
"Sebab. Hal itu merupakan salah satu tujuan musuh kerejaan kita!"
"Maaf guru. Memangnya apa saja tujuan mereka?" celetuk seorang pendekar lain.
"Menghancurkan negeri ini. Dengan cara mengadukan tentara kerajaan dan rakyatnya. Kemudian tujuan utama mereka ialah mencari seorang anak yang begitu istimewa, bagi mereka!"
"Lalu, bagaimana caranya supaya kita tak terhindar dari pengaruh sihir itu?" tanya Jiro.
"Pertanyaan bagus. Baiklah, aku akan beri tahu cara menghadapi mereka itu. Jika kalian bertemu dengan rombongan dari kerajaan itu, bertindaklah segila mungkin, sekonyol mungkin dan separah mungkin! Intinya, simpanlah kekuatan kalian dengan meninggalkan senjata dan gunakanlah pakaian compang-camping," tutur Tanu.
"Hahahah! Apakah hanya itu cara satu-satunya?"
"Ya, terkadang kegilaan diperlukan untuk mengatasi ketegangan di kerajaan ini. Seperti orang gila yang menghibur orang waras di tepi jalan!" pungkas Tanu. Mengakhiri pertemuannya dengan para pendekar.
"Baiklah, ku rasa ... pertemuan kita kali ini sudah cukup! Jika esok hari rombongan itu belum datang. Maka kewaspadaan, harus tetap di dipertahankan. Karena, bisa saja kedatangan mereka mendadak di esok lusa," pungkas Tanu, mengakhiri pembicaraannya di malam itu.Setelah melakukan pertemuan dengan beberapa pendekar desa, Tanu langsung kembali ke rumahnya.Ternyata perkiraan Tanu memang terjadi dan semua rombongan dari kerajaan itu, saat ini sudah berada di depan mata.***Buur!Duar!Tiba-tiba terdengar dentuman dari balik bukit Desa Purbawati.Tepat di kaki bukit itu terdapat sebuah wilayah padat penduduk. Sadarga yang mendengarnya sontak saja terkejut, begitupun dengan 2 tamu dari istana. Walaupun mereka hanya saling menatap, tapi hal itu seakan memberi isyarat pada mereka bahea hal tak lajim sedang terjadi."Kakek! Suara apa itu?" tanya Sadarga pada Tanu. Kakek tua itu terlihat masih tenang saja."Hmmp,
"Bagaimana sudah siap, Nak?" tanya Tanu pada Sadarga. Nampak jelas bocah di hadapannya tengah selesai mengemas barang-barang."Ia Kek! Aku rasa ini semua sudah cukup," saut Sadarga."Baiklah, mari kita pergi!" pungkas Tanu.Di saat Kakek tua itu mulai melangkahkan kakinya, Sadarga hanya diam termenung. Entah apa yang dia lakukan? Sepertinya memikirkan sesuatu."Kek! Sebenarnya kita mau kemana? tanya Sadarga.Mengapa baru kali ini bocah itu bertanya? Padahal untuk sekedar berkemas barang saja, ia memerlukan waktu yang cukup lama."Kita akan pergi beberapa waktu dari tempat ini dan akan kembali lagi setelah keadaan mulai membaik," tutur Tanu memberikan penjelasan pada Sadarga."Jika begitu, mengapa tak menunggu Ibu dulu?"Sejak dari awal berkemas, Sadarga hanya memikirkan kepulangan ibunya. Pasalnya, dari pagi buta ia belum bertemu dengan Ningrum."Bagaimana ini? Atau sebaiknya ku katakan saja pada bocah ini, a
"Nak, sepertinya tempat ini lumayan aman," ucap Tanu sembari menurunkan Sadarga yang masih dalam gendongannya. "Ia, Kek!" sahut Sadarga. "Sebaiknya kita istirahat sejenak di tempat ini ... karena perjalanan kita tak akan ada akhirnya!" ucap Tanu dengan nada semakin pelan. Kakek tua itu segera membaringkan tubuh pada tanah yang di pijaknya. "Hah, tak ada akhir?" tanya Sadarga penuh penasaran. Mungkin dari tadi bocah itu menunggu kepastian, kemana tujuan Tanu sebenarnya? "Oh, tidak! Maksudku kita tak tahu arah tujuan kita," celetuk Tanu yang menggaruk kepalanya walau tak gatal. Namun kepekaan Sadarga nampaknya lebih dewasa dari usianya. Bocah itu seakan menyadari bahwa Tanu sedang menyembunyikan sesuatu. "Ayolah Kek! Jangan anggap aku masih kecil. Sebenarnya aku selalu mencurigai ibu dan Kakek. Tapi aku menunggu waktu untuk menanyakan kecurigaan itu pada kalian," cela Sadarga dengan alis mata naik sebelah. Sorot mata Sada
Saat ini Tanu tengah tertidur dengan pulas, Sadarga yang terus berteriak tak kunjung mendapatkan tanggapan."Sial! Kenapa kakek diam saja? Apa dia sudah tidur?" bisik Sadarga pada dirinya.Akhirnya bocah itu bergegas dari tempatnya. Tanpa mengetahui tujuan yang pasti, langkah kakinya terasa sedikit hampa.Namun entah apa yang terjadi pada tubuh Sadarga? Bocah itu seakan berjalan tak kenal lelah. Saat ini ratusan depa telah ia lalui tanpa hambatan apapun. Bahkan dirinya tak sadar, bahwa saat ini tengah berada di hutan belantara.Suara hewan buas mulai terdengar mengganggu telinga Sadarga, hawa dingin berkabut tiba-tiba menyelimuti. Pandangan Sadarga pun seakan terganggu dengan kemunculan kabut putih itu.Kerrr!Aaak! Aaaak! Aaak!"A-apa itu?" gumam Sadarga dalam batinnya. Ia langsung mengedarkan pandangan menyisiri setiap sudut hutan yang masih terjangkau olehnya.Setelah riuh suara hewan bersahutan, tiba-tiba Sadarga melihat baya
Setelah Sadarga memejamkan mata, tiba-tiba dalam hitam pekat pandangannya berubah menjadi hijau menyala. Dalam benak bocah itu sempat bertanya-tanya, apakah ia sedang bermimpi atau hidup dalam kenyataan. Rasa penasarannya semakin menjadi, setelah ia menyaksikan pemandangan di sekitarnya seolah berubah menjadi taman bunga.Saat ini Sadarga berada di antara pagar bunga yang menyerupai labirin. Mungkin ia perlu ketelitian, supaya bisa mencari jalan keluar. Andai saja bocah itu keluar dari kurungan labirin, entah pemandangan apa yang ada di balik pagar bunga tersebut."Di-dimana ini?" gumam Sadarga. Bocah itu nampak kebingungan. Sadarga mengedarkan pandangan ke sana - ke mari, hendak mencari tahu dimana dirinya berada.Suasana tegang yang dialaminya seakan menjadi sedikit tenang. Bahkan tengah membuatnya lupa diri. Bagaikan seorang yang mabuk dan mengabaikan suasana di sekitarnya."Hai, Nak!" ucap seorang wanita yang berada di balik bunga pagar.
Saat ini, jalan keluar dari labirin pagar bunga itu mulai tersingkap. Setiap jalan yang dilalui Sadarga, telah di tandainya dengan membuat simpul tali yang terbuat dari akar dan lerumputan.Tak ada satupun jalan labirin yang terlewatinya, hingga akhirnya hanya tersisa satu jalan saja. Namun sayangnya jalan ini di penuhi oleh rumput yang berduri."Mengapa harus jalan ini yang tersisa?" tanya Sadarga pada Ningrum yang bersemayam dalam jiwanya."Lalui saja dengan penuh keyakinan! Jangan pedulikan duri di sepanjang jalan itu! Nak, maafkan aku ... karena tak bisa menemanimu lebih lama lagi," pungkas Ningrum."Tu-tunggu, maksud ibu?"Sudah beberapa kali Sadarga memanggil ibunya. Namun sang ibu tak kunjung memberikan tanggapan sepatah kata pun. Wanita itu seolah datang tak diundang, pulang tak diantar."Ke-kemana ibu? Ibu! Ibuuuu!" teriak Sadarga.Seiring menghilangnya suara Ningrum, Sadarga terlihat begitu panik. Bocah itu nampa
Tak terasa waktu berlalu hingga matahari hampir terbenam. Sudah cukup lama Sadarga berada di antara alam ketidak sadaran dan alam sadarnya. Labirin yang terdapat di taman bunga itu, merupakan wujud ilusi dari sebuah jurus yang dimiliki Tanu. Namun suara wanita yang mengaku sebagai Ningrum, merupakan wujud asli wanita itu. Saat ini, Ningrum sedang berada di tempat persembunyian. Ia sedang dalam kejaran para tentara kerajaan. Di sela waktu kesendiriannya, tiba-tiba sukma Ningrum terpanggil untuk keluar dari dalam tubuhnya. Hingga pada akhirnya merasuki tubuh Sadarga dan mereka berdua bisa berjumpa di alam bawah sadar. Sungguh cerdas pemikiran Tanu. Kakek tua itu berhasil mempertemukan ibu dan anak walau hanya dalam alam bawah sadar. Namun ada sesuatu yang belum diketahui Sadarga. Bocah itu tidak tahu bahwa sebenarnya mahluk misterius yang berwujud seperti monyet besar dan telah mengejarnya, merupakan penguasa hutan gerbang kematian. Tapi keberuntu
"Pusi, apa kau mau ikut denganku?" ajak Sadarga, bocah itu berniat menjadikan si kucing untuk dijadikan hewan peliharaannya."Meow!" Pusi pun seakan menyahut ajakan Sadarga. Mungkin ia mengatakan bahwa dirinya bersedia. Lalu menjadikan Sadarga sebagai majikan barunya."Grrr!" geram Pusi mendengkur.Tak lama setelah Pusi menggeram, dua singa itu berdiri dan berjalan entah kemana. Dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara menggaung. Mungkin suara itu berasal dari dua singa yang tengah berjalan dan hilang di kegelapan malam.Setelah itu sekelompok rusa pun berjalan menuju arah yang sama dengan dua singa tadi."Meow!"Tak lama setelah kepergian singa dan rusa, Pusi langsung berlari."Hei, mau kemana kalian? Sial, apakah kalian mau meninggalkanku?" pungkas Sadarga.Suasana di hutan saat ini sudah gelap. Sadarga mengalami kesulitan untuk melihat di malam itu, mungkin hal tersebut dikarenakan tak adanya alat bantu penerangan.