Share

Bab 2 Es Batu Yang Mengesalkan

Entah berapa menit Melody terdampar di dunia tanpa kesadaran. Bau minyak kayu putih yang terendus kuat di penciuman membawa matanya kembali terbuka. Secara reflek bibirnya nyengir menahan satu rasa. Rasa panas di antara hidung dan mulut berasal dari minyak kayu putih yang di oleskan di situ. Begitu mata benar-benar terbuka, sekarang berganti dahinya yang mengernyit. Sejenak dia berfikir dan akhirnya menyadari dimana keberadaannya sekarang. Ya betul, dia berada di kamarnya sendiri. Kembali dia berusaha mengingat apa yang menyebabkan dia terdampar di dunia empuk ini dan tak lain karena beberapa saat lalu dia pingsan efek emosi yang tiba-tiba saja meledak karena ulah seseorang dan beberapa orang di sekitarnya saat itu.

Kamar tidurnya sepi, dalam hati Melody merutuk sebal. Dia pingsan tapi tak satupun manusia di rumah rela menjaganya. Terutama kedua orang tuanya. Dengan satu dorongan kuat gadis itu merasa tubuhnya kembali segar. Yang jelas bukan kekuatan dari bulan ala Sailormoon tapi kekuatan emosi jiwa yang kembali menggelegak. Dengan kekuatan super itu, dia segera bangun dari posisi tidurnya. Tanpa merapikan rambut pendeknya yang sedikit acak-acakan dia bermaksud turun ranjang. Baru saja menapakkan kaki di lantai kamar yang dingin, tubuhnya berjengit mundur ke belakang sangking terkejutnya. Di kursi meja belajar, seseorang menatapnya diam tanpa ekspresi, lurus dan sungguh datar dengan mimik wajah yang sangat menyebalkan. Otomatis, sebuah bantal segera melayang ke arah orang itu.

“Heh, es batu, ngapain lo di kamar gue sambil duduk diem-diem disitu?” teriak Melody sangat kesal melihat Alfa yang masih tetap diam sambil memegang bantal yang tadi di lemparnya dan berhasil di tangkap oleh cowok itu dengan jitu bak permainan bola kasti.

“Trus gue harus ngapain? usap-usap kepala lo yang lagi semaput tadi biar cepet sadar? Lalu bantuin elo bangun pelan-pelan penuh kasih sayang? manja, lo,” olok Alfa tanpa dosa.

Tanpa membalas perkataan Alfa, Melody mengusap kasar bawah hidungnya yang masih terasa panas. Tanpa babibu lagi dengan segera berjalan menuju kamar mandi untuk cuci muka menggunakan sabun berharap rasa panas yang dia rasa segera hilang.

Alfa hanya mengikuti Melody dengan pandangan tanpa berniat melakukan apapun untuk gadis itu. Tetap duduk di kursi meja belajar sambil memegang bantal di tangannya. Tak urung senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat Melody keluar dari kamar mandi. Melihat wajah segar gadis itu yang nampak sedikit basah, bersih sama sekali tanpa make up, namun justru terlihat sangat cantik di matanya. Natural.

“Males gue ngomong sama elo, ngapain juga sih masih di kamar gue?”

“Ya jelas gue masih di sini nungguin kekasih gue yang lagi semaput. Orang tua-orang tua kita bilang, gue harus jagain elo.”

Melody mendelik mendengar jawaban Alfa, sungguh menyebalkan. Sambil berdiri berkacak pinggang gadis itu kembali berucap dengan niat membuat Alfa marah dan jengkel supaya skor imbang 1 : 1 sehingga bukan hanya dia yang merasakan tak enak hati semenjak tadi.

“Emang bisa jagain gue? Elo aja berengsek,” jutek Melody.

Alfa berdiri dari duduknya. Kemudian berhenti tepat di depan Melody. Dan, tiba-tiba … cup, di ciumnya dengan cepat pipi gadis yang baru saja berhenti bicara itu. Efeknya sungguh luar biasa, tubuh Melody bukan terbujur kaku tapi berdiri kaku karena shock.

“Itu stempel dari gue, hadiah dari gue sebagai bukti kalau sekarang elo kekasih gue. Ingat, jangan banyak tingkah mulai sekarang. Elo cukup tahu, gue emang berengsek, tapi suatu saat gue pasti bisa jagain elo dengan baik,” bisik Alfa tepat di telinga Melody. Di serahkannya dengan paksa bantal di tangan kepada Melody yang masih shock dengan ciuman di pipinya barusan.

Begitu tersadar dari rasa terkejut semua sepertinya sudah terlambat. Pintu kamar hampir menutup dan sosok tinggi yang mengikrarkan diri sebagai kekasihnya itu telah hilang di balik pintu kamar.

“Alfa berengsek, gue benci eloooo … “ teriak Melody sambil melempar bantal ke arah pintu. Namun lagi-lagi dia di buat terkejut ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dan sosok mama muncul sambil tersenyum.

“Sayang, kata Alfa kamu sudah sadar, kita ke bawah yuk, waktunya makan siang. Alfa bilang kamu nggak mau di ajak turun, minta mama yang jemput kamu,” ujar Meira dengan begitu lembutnya.

Melody berusaha mengontrol baik-baik deru nafas emosinya. Selain berengsek, ternyata cowok bernama Alfa itu juga penjilat. Bagaimana bisa orang tuanya begitu percaya pada cowok itu? Melody tak habis fikir, namun dia memilih menurut mengikuti mama tanpa protes apapun.

“Gimana Sayang, kamu sudah merasa baik-baik aja sekarang?” tanya Tante Nela yang menyambutnya penuh perhatian di meja makan.

“Sudah, Tante,” jawab singkat Melody sambil melirik ke arah Alfa yang duduk tepat di seberangnya. Cowok itu juga menatapnya dengan ekspresi datar yang tak istimewa seperti biasa.

“Sudah yuk, kita makan dulu,” ajak Meira mengajak semuanya menikmati menu yang sudah terhidang. Mereka makan dengan suasana yang cukup hangat, kecuali Melody yang irit bicara. Gadis itu hanya menjawab dengan sepatah dua patah kata seperlunya jika di tanya.

“Mei, kita pamit dulu. Terima kasih jamuannya hari ini. Segera di jadwalkan keluarga kamu yang berkunjung ke rumahku, nanti sesekali kita bisa obrolin rencana pertunangan atau pernikahan anak-anak kita, pasti seru sekali. Ah, jadi nggak sabar,” pamit Tante Nela siang itu, beberapa saat setelah mereka makan siang bersambung dengan sejenak ngobrol santai.

Melody kembali merasakan kesal yang mendalam di hatinya. Catat, bukan kesan mendalam tapi kesal mendalam. Bibir ini ingin kembali berorasi, tapi dia menahannya. Percuma emosi daripada nanti pingsan lagi. Tengsin, dong.

“Iya, Mbak Nela, segera kita jadwalkan, yang penting keluarga kita sudah semakin mengenal. Apalagi ternyata Alfa dan Melody satu kelas di kampus yang sama. Tante bener-bener nitip jagain Melody, ya, Al. Tante cocok dan juga suka sama kamu. Satu lagi, jangan lupa status kalian sekarang lebih dari seorang teman.”

Melody merasa kepalanya kembali berdenyut. Kalau emang mama yang suka dan cocok dengan Alfa, kenapa nggak mama aja yang nikah sama cowok es batu dan berengsek itu? Eh, tapi masa iya mama nikah sama berondong nggak jelas gitu yak? Trus papa di kemanain? Aish … tanpa sadar Melody geleng-geleng kepala.

“Kenapa, Mel, kepala kamu masih pusing?” tanya Tante Nela heran melihat gadis yang sejak makan siang tadi banyak diam dan sekarang tiba-tiba menggeleng-geleng sendiri.

“Nggak apa-apa, Tan,” jawab Melody dengan kalimat yang paling aman.

“Ada yang mau kamu sampein ke Alfa sebelum kami pulang?” tanya Tante Nela lagi.

“Nggak ada, Tan.”

“Gueue ada, Ma. Tante Mei, boleh saya minta waktu bicara sama Melody?” ijin Alfa dengan begitu sopannya.

“Pasti boleh Alfa. Silahkan,” jawab Meira penuh senyum.

“Kok nggak sejak tadi sih, Al?” protes Nela pada putranya.

“Alfa baru ingat, Ma. Bentar aja, kok,” balas Alfa.

Alfa melirik taman samping rumah yang nampak dari pintu kaca dekat ruang keluarga dimana mereka ngobrol saat ini. Tanpa kata cowok itu segera menarik tangan Melody dan di ajaknya menuju kesitu. Setelah membuka pintu kaca dan keluar ke taman, Alfa melepaskan tangannya dari tangan Melody.

Dari tempat duduk di ruang keluarga, Nela dan Meira saling pandang dan senyum-senyum bahagia merasa acara hari ini berhasil sesuai harapan mereka. Berbeda dengan para suami yang begitu ketemu malah banyak ngobrolin tentang bisnis yang ujungnya berencana akan membuka usaha baru bersama.

“Elo mau ngomong apa lagi, sih? Nggak cukup apa bikin tensiku naik sejak kedatangan elo tadi?” protes Melody.

“Pengin aja ngobrol sama kekasih gue sebelum pulang. Masa iya hari ini di kunjungi tapi malah di tinggal semaput hampir sejam, bete lho gue tadi nungguin elo di kamar sendirian kayak gitu.”

Pipi Melody memerah, bibirnya masih terkatup diam menyusun kata yang sepedas-pedasnya.

“Pipi elo merah, elo malu, ya?” tanya Alfa tanpa dosa menelisik ke wajah cantik nan imut di depannya.

“Diem, lo. Segera ngomong apa yang mau elo omongin,” hardik Melody penuh kejengkelan.

“Oke, gue cuma ngomong, mulai sekarang, di manapun lokasi dan posisi elo, mau di rumah, mau di kampus, atau di manapun, status elo sekarang adalah kekasih gue, jangan lupa itu.”

Emosi Melody meluap tak tertahan lagi.

“Alfa! Elo kenapa segitu semangatnya jadi kekasih gue? Gue tahu elo nggak suka sama gue, gue tahu elo selalu bersaing dan nggak mau ngalah sama gue, gue tahu elo benci gue, tapi kenapa jadi kayak gini, sih? Elo punya rencana jahat apa sama gue?”

Alfa diam memperhatikan bibir pink tanpa lipstick yang sedang bicara cepat di depannya. Setelah diam, dengan tenang dia kembali berbicara.

“Elo tahu dari mana gue kayak gitu ke elo? atau jangan-jangan elo sekarang lagi curhat tentang perasaan elo ke gue selama ini, ya?”

Bibir Melody kembali terkatup menahan emosi, sedangkan Alfa tertawa ringan.

“Elo ternyata cakep kalo tertawa gini?” batin Melody yang baru pertama kali ini melihat Alfa benar-benar tertawa. “Ish … gue mikir apa, sih?” tolak batin Melody sisi yang lain.

“Kenapa lo diem?” tanya Alfa merasa belum mendapatkan balasan jawaban dari Melody.

“Kalau gue bilang gue nggak mau jadi kekasih elo karena nggak suka sama elo, gue selalu merasa elo saingan gue dan gue benci sama elo gimana? Elo mau apa?”

“Ya gue bilang, itu urusan elo, elo sama orang tua elo dan orang tua gue, yang penting gue udah mengikuti permintaan mereka, sederhana, kan?”

Entah kenapa tiba-tiba Meldoy jadi pengin menangis denger perkataan Alfa barusan. Buat cowok itu sesederhana itu. Tapi bagi gue ini masa depan gue. Dia mah entah udah pacaran berapa kali, dari yang perempuan masih gadis sampai dosen-dosen janda yang genit-genit itu. Lah gue, pengin pacaran aja gue belum nemu yang sreg. Masak iya sih hidup gue berakhir sama cowok berengsek ini, jadi yang pertama dan yang terakhir buat gue? Iya kalau gue juga jadi yang terakhir buat dia, lah kalau di belakang gue masih banyak antrian dan deretan perempuan-perempuan itu gimana dong? Masa iya kisah cinta gue jadi sengenes ini?

“Mel.”

Melody mengerjap mendengar panggilan pertama Alfa padanya seumur mereka jumpa selama ini. Sejak jadi teman sekelas dan sekampus sampai pada hari ini.

“Elo manggil gue? Tumben?”

“Terpaksa daripada lihat elo kesambet.”

“Oke, gue sudah putuskan. Mulai sekarang, untuk elo ya terserah elo mau gimana, mau elo merasa jadi kekasih gue ya monggo aja, tapi kalau gue, itu urusan gue sendiri, elo nggak boleh ikut campur.”

“Emmm … oke, untuk sementara deal, tapi nanti ke depannya akan gue review. Kalau ada yang gue rasa nggak pas dan nggak sepatutnya gue bakal sampein ke elo lagi. Ingat, di apa-apain gue calon pemimpin hidup elo. Sekarang gue pulang dulu. Udah cukup kesepakatan kita hari ini.”

Melody malas meladeni kalimat Alfa lagi dan segera bersiap melangkah pergi ketika Alfa menarik tangannya. Dan lagi-lagi, cup! ciuman singkat nan lembut itu mampir di pipinya kembali.

“Elo apaan, sih,” teriak Melody marah, karena hari ini kedua kalinya pipi mulusnya ternoda oleh ciuman cowok itu.

“Gemes gue sama kekasih baru gue ini, wajar kan mau pamit cium pipi dulu. Masih di pipi lho, belum cium bibir.” Sengaja Alfa menampilkan wajah menggodanya.

“Dasar berengsek, Elo terlalu pinter acting, mesummm … otak kotor kebanyakan gaul sama dosen genit,” umpat Melody yang ternyata cuma bikin Alfa tertawa.

“Mulai sekarang elo harus terbiasa sama gue dan apapun yang gue lakuin ke elo. Karena bagi gue elo kekasih gue, gue calon imam alias pemimpin elo dan buktinya orang tua kita juga udah setuju, lampu ijo banget, kan?”

“Awas aja lo macem-macem sama gue,” kali ini air mata kesal benar-benar mengalir di pipi Melody. Alfa cuma tertawa tanpa ada niat menenangkan gadis yang baru saja di akuinya sebagai kekasih. Tangan Alfa segera meraih kembali tangan Melody di ajaknya menemui orang tua mereka dengan posisi bergandeng tangan yang nampak so sweet.

“Kok Melody sampai nangis sih, Al?” Tanya Rudi yang khawatir melihat hidung dan mata Melody yang masih tampak memerah. Alfa tersenyum, “Tanya Melody aja, Pa, kenapa dia sampai kayak gitu hanya gara-gara gue pamit pulang.”

Keempat orang tua itu sungguh berfikir positif, mereka semua tertawa. Tante Nela tertawa kemudian mengajak calon menantunya itu duduk di dekatnya. Mengelus sayang rambut Melody dan memeluk hangat bahu gadis yang hanya diam saja.

“Besok kalian juga ketemu di kampus, kan, Mel, yang hari ini cukup dulu ketemuannya,” Fendy sang papa dan merasa pernah muda ikutan bersuara menenangkan putrinya.

Setelahnya keluarga Alfa benar-benar pulang. Setidaknya drama hari ini untuk Melody berakhir, entah apa yang akan terjadi besok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status