Jemari kokoh lelaki beranting panjang itu membelai kasar wajah Elina.Elina berusaha melarikan wajahnya untuk menghindari sentuhan yang menjijikkan itu, tapi usahanya sia-sia. Ruang geraknya sangat terbatas."Elina, jangan takut! Aku tidak akan menyakitimu. Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena aku sedang bermurah hati padamu."Aku memberimu kesempatan untuk berbakti pada Pak Tua itu." Lelaki tersebut mengarahkan wajah Elina pada Allen. "Dia ayahmu, bukan?"Elina menggeleng kuat. Ia tidak bisa bicara lantaran dagunya dicengkeram erat. Rasanya luar biasa sakit setiap kali ia mencoba untuk membuka mulut."Bawa dia!" titah lelaki beranting panjang itu pada anak buahnya yang sedari tadi tak melepaskan Elina.Perhatiannya berpindah pada Allen setelah menarik lepas tangannya dari dagu Elina."Kau beruntung hari ini, Pak Tua!" cemoohnya, merapikan kemeja lusuh Allen yang berantakan. "Kalau kau menginginkan putrimu kembali dalam kondisi masih bernyawa, serahkan orang yang kucari!""A–
Elina mundur perlahan, merapat pada dinding, kemudian bergeser masuk ke toko."A–Ayah!" Elina menderap memburu Allen yang terbaring pingsan di atas lantai dengan kening berdarah.Sementara di bagian depan toko, Karel bersiap menghadapi empat orang lelaki bertampang garang, terbakar amarah serta keinginan yang membara untuk melumpuhkan Karel.Belati dalam genggaman mereka berkilau tertimpa cahaya matahari. Memperingatkan Karel, betapa tajamnya senjata itu.Karel menarik mundur sebelah kakinya, memasang kuda-kuda. Kedua tangannya terkepal, siap dalam posisi bertahan ataupun menyerang.Jemari tangan Karel melambai santai, menantang para preman untuk melancarkan serangan pertama."Berengsek! Kau meremehkan kami!" Lelaki beranting panjang kebakaran jenggot. "Seraaang!"Serentak keempatnya melesat, menyerbu Karel dengan beragam pukulan dan tendangan.Suara 'bak-buk bak-buk' terdengar riuh."Mampus kau!"Teriakan lantang lelaki beranting panjang meraung seiring dengan tikaman belati yang meny
Karel mengayun tubuh lelaki beranting panjang untuk menangkis serangan si tambun.Begitu jerit kesakitan menggema, ia melepaskan kaki lawan yang dijepitnya dengan dorongan kuat.Tubuh lelaki beranting panjang menyapu dada si tambun. Menyebabkan keduanya jatuh terempas dengan posisi berimpitan.Ceceran darah dari luka lelaki beranting panjang menyebarkan bau amis yang mengundang ribuan lalat."Tinggalkan tempat ini! Sebelum aku berubah pikiran," tegas Karel, memberi kesempatan kepada si tambun untuk menyelamatkan temannya yang terluka.Nalurinya sebagai dokter masih menyisakan sedikit kepedulian melihat luka lelaki beranting panjang terus mengalirkan darah."T–terima kasih, Tuan!"Cepat-cepat si tambun menyingkirkan badan lelaki beranting panjang dari tubuhnya.Tanpa banyak kata, ia memanggul sosok sang pimpinan, membawanya ke mobil mereka yang terparkir, tidak jauh dari toko.Karel tak lagi memperhatikan apa yang dilakukan si tambun selanjutnya. Ia berlari masuk ke toko. Mengecek peny
Saking laparnya, Karel makan dengan lahap tanpa sedikit pun mengajak Kevin bercakap-cakap.Karena Kevin telah memasak untuknya, Karel berinisiatif mengambil alih tugas mencuci piring dari tangan Kevin."Hei, hei ... mau ke mana, Bro? Aku ditinggal sendiri nih ceritanya? Malang banget nasibku," cerocos Kevin begitu Karel turun lagi dari lantai atas dengan menenteng jaket."Mau ikut? Kau yang jadi sopir." Karel melempar kunci mobil di genggamannya pada Kevin."Eeh, tumben keluar malam?" ledek Kevin, mendugas mendatangi Karel."Kesambet ya?" Kevin meraba kening Karel.Karel menepis tangan Kevin. "Mau ikut, tidak?""Ohw, pastiii ... jarang-jarang diajak hang out malam-malam begini. Siapa tahu ketemu cewek bohay—"Celotehan tak bermakna dari Kevin terputus begitu Karel melesat menuju pintu depan."Aduh, Booos! Tunggu dooong ... yaah, malah makin ditinggal."Setengah berlari, Kevin memburu Karel.Hanya butuh sekejap bagi mereka untuk duduk di dalam mobil.Penjaga gerbang bergegas membuka pi
"Aku bukan satu-satunya dokter di dunia ini. Bukankah selama ini Rumah Sakit kalian tetap bisa beroperasi walau tanpa aku?"Menyingkirlah! Kau mengacaukan agenda pentingku."Ramos berjuang untuk dapat menekuk pinggangnya. Keringatnya bercucuran menahan sakit saat ia memaksakan diri untuk bersujud di hadapan Karel."Tolong, Tuan ... hanya Anda yang dapat menyelamatkan hidup saya, dan juga Rumah Sakit kami. Jika Anda membatalkan kerja sama, reputasi Rumah Sakit kami akan makin terpuruk."Ramos merengek tanpa rasa malu. Urat malunya telah putus setelah ia tafakur merenungi perubahan perilaku ayahnya.Biasanya ayahnya hanya menegur secara halus setiap kali ia melakukan kesalahan. Lelaki paruh baya itu juga tak pernah keberatan untuk membereskan segala kekacauan yang ia timbulkan.Namun, reaksi yang berbeda ditunjukkan ayahnya saat ia menerima pengaduan tentang Karel.Lelaki penyabar itu murka, bahkan ia tidak berpikir dua kali untuk mencabut semua fasilitas untuk dirinya.Tangan Ramos ber
"T–Tuan, a–aku akan menuruti semua keinginan Anda!"Akhirnya rangkaian kata itu meluncur juga dari ujung lidah Ramos yang terasa kelu.Karel tersenyum tipis dari balik maskernya. Ia membuka dompet, lalu mengeluarkan sehelai kartu nama."Pergilah ke panti asuhan ini! Katakan bahwa kau datang atas perintah dariku!""B–baik, Tuan!" Ramos menerima kartu nama pemberian Karel dengan tangan gemetar. "Terima kasih!"Selanjutnya, ia menyingkir dari jalan. Membiarkan mobil yang akan membawa Karel pergi dengan damai.Kevin membelokkan mobil memasuki pintu gerbang sebuah Rumah Sakit, tempat di mana Allen dirawat.Ada begitu banyak tanya menggelayuti benaknya, tetapi ia tak berani mengemukakannya.Lebih baik ia mengikut saja ke mana ayunan langkah kaki Karel akan membawanya. Pasti nanti ia akan menemukan jawabannya.Tok! Tok!Karel mengetuk pintu kamar ruang perawatan Allen, lalu mendorong daunnya pelan tanpa menunggu sahutan dari dalam."Bagaimana kabar Anda malam ini, Pak?" sapa Karel, mendatangi
Uhuk!Allen terbatuk mendengar pertanyaan beruntun dari Karel. Ia memperbaiki posisi duduknya sembari memikirkan kata-kata yang tepat untuk memuaskan rasa ingin tahu Karel."Aku juga tidak tahu persis apakah orang-orang itu juga merupakan kaki tangan Tuan De Groot atau bukan."Yang aku tahu, mereka itu komplotan preman. Tukang palak para pedagang kecil, berkedok sebagai biaya jaminan keamanan, tapi justru mereka sendiri yang sering berbuat kekacauan.""Kenapa tidak dilaporkan ke polisi? Pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, kulihat ada aparat polisi yang berpatroli.""Percuma saja. Para polisi berpangkat rendah itu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Mungkin mereka akan digiring ke kantor polisi, tapi satu jam kemudian mereka bebas lagi."Tak perlu penjelasan panjang lebar. Karel mafhum dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang-orang yang berkecimpung di dunia bawah sering kali memiliki dukungan yang kuat di belakang mereka."Oh ya, aku sempat me
"Akan kukatakan kalau kau berjanji untuk menyanggupinya."Elina berkeringat dingin. Jemarinya refleks saling remas.Karel mengamati bahasa tubuh Elina dengan teliti, dan ia semakin yakin bahwa gadis itu sedikit bermasalah dengan kepribadiannya.Jika hal seperti itu terus berlanjut, ia akan menjadi korban perundungan dengan sangat mudah. Lebih parahnya lagi, perkembangan kariernya bisa terhambat."Pak Allen, berapa usia putrimu? Kenapa dia tidak berani mengemukakan pendapat? Apa Anda sering menindasnya?""T–tidak! A–Ayah saya s–sangat baik," sanggah Elina, tak rela ayahnya merasa terpojok oleh pertanyaan Karel.Allen sangat mengenal putrinya. Ia juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan Karel."Elina memang agak pemalu, tapi dia belum pernah terlihat segugup ini," timpal Allen, menatap prihatin pada sang putri.Karel mengangguk ringan. "Jadi, bagaimana? Kau bersedia menyanggupi persyaratan yang akan kuajukan, Elina?"Elina menarik napas panjang seraya mengerling pada ayahnya sesaat,