"Profesor, aku akan kembali menjelajahi hutan!" beritahu Mark.
"Tapi Mark ... bagaimana kalau Profesor Jansen membutuhkan tenagamu untuk merawat pemuda itu?" protes Instruktur Lennon. "Jay dan Ben telah menyusul Dave. Tetaplah di sini!""Beruang itu sangat ganas, Instruktur. Tak masalah jika Dave baik-baik sebelum Jay dan Ben menemukannya, tapi bagaimana kalau dia terluka menjelang mereka tiba?""Ini salahku. Aku tidak pernah berpikir kita akan menghadapi situasi seperti ini. Kalau tahu, aku akan membawa murid lebih banyak," keluh Profesor Jansen. "Pergilah, Mark! Aku bisa menangani anak ini sendiri.""Tapi Profesor—""Instruktur Lennon, mereka mungkin akan lebih membutuhkan bantuan Mark daripada aku."Profesor Jansen membutuhkan tanaman herbal tertentu untuk penelitian. Oleh karena itu, Mark dan Dave harus bergerak cepat untuk menemukannya.Akan tetapi, jika dihadapkan pada pilihan antara menyelamatkan nyawa orang lain dan ambisi pribadinya, Profesor Jansen lebih memilih untuk mengorbankan ambisi pribadinya.Walau dengan berat hati, Instruktur Lennon melepaskan Mark."Prof, aku merasa sangat familiar dengan wajah anak malang ini," ujar Instruktur Lennon, mengamati lebih lekat setiap mili wajah Karel."Itulah alasan utamaku bersikeras untuk menyelamatkannya."Profesor Jansen terus memantau perkembangan kondisi kesehatan Karel. Ia bahkan rela meninggalkan ruang sempit yang menjadi laboratorium sederhana untuk penelitiannya demi menjaga anak itu."Bertahanlah! Kau harus berjuang untuk terus hidup. Hanya dengan begitu kau dapat membalaskan dendammu pada orang-orang yang telah menyakitimu!""Apa Anda sedang mencoba untuk menanamkan sugesti hitam pada alam bawah sadar anak itu, Prof?" Instruktur Lennon terkejut mendengar kata-kata Profesor Jansen.Ke mana kelembutan seorang dokter yang melekat dalam jiwa Profesor Jansen selama ini? Apa dia telah kehilangan kelembutan itu bersama dengan raibnya satu-satunya sumber kebahagiaannya yang tersisa?"Kalau aku mati, anakmu juga akan ikut mati bersamaku!" igau Karel.Wajah Profesor Jansel berseri. Cepat-cepat ia melakukan pemeriksaan pada tubuh Karel."Ini mukjizat! Kerja organ vitalnya meningkat!""Anda luar biasa, Prof! Tidak sia-sia aku dan tiga anak buahku mengajukan cuti panjang demi bisa menjadi ajudan pribadi Anda."Anda selalu bisa membuatku takjub dengan segala keajaiban yang tercipta dari setiap sentuhan tangan Anda.""Aku hanya perantara. Pada hakikatnya, Allah-lah sumber dari segala keajaiban itu." Wajah Profesor Jansen berubah murung. "Tapi ... apalah arti semua keajaiban itu. Kedua tangan ini tak mampu menyelamatkan anakku.""Ayah ..." lirih Karel memanggil ayahnya.Profesor Jansen menitikkan air mata haru. "Selamat datang kembali, Nak! Mulai sekarang, akulah ayahmu!"Karel yang belum sepenuhnya sadar tercengang. Ia baru saja bermimpi ayahnya menangis di pojok sunyi pada sebuah rumah kecil di tengah hamparan perkebunan sayur. Kenapa ada lelaki asing yang menawarkan diri menjadi ayah pengganti untuknya?"Akh!" Karel meringis saat mencoba bangkit.Setiap persendiannya bagai remuk dihantam godam."Jangan memaksakan dirimu! Tetaplah berbaring! Kau aman sekarang!"Profesor Jansen menahan tubuh Karel dan membantunya untuk kembali berbaring."T–terima kasih, Dokter!""Panggil aku ayah!""A–Ayah?"Profesor Jansen mengangguk.Karel mengerutkan kening. Dunia sungguh aneh! Ayah mertuanya mati-matian ingin membuangnya, tetapi lelaki asing ini malah memungutnya menjadi anak.Ini anugerah dari Sang Penguasa jagat raya yang tak boleh ia lewatkan. Dia akan membuat ayah mertuanya menyesal karena telah membuangnya.Tidak, tidak! Dia bukan hanya akan menaklukkan ayah mertuanya yang berhati buas, tapi juga akan membuat putri tunggal lelaki kejam itu semakin tergila-gila padanya.'Xela, Tuan De Groot ... aku akan kembali!'Dua bulan telah berlalu sejak perkenalan Karel dengan Profesor Jansen dan orang-orangnya.Kini ia sibuk beradu laga dengan Instruktur Lennon. Mengembalikan kebugaran tubuh dan membentuk ototnya.Instruktur Lennon meninggalkan arena latihan. Membiarkan Karel mengasah kemampuan bertarungnya seorang diri.Ia ikut duduk di samping Profesor Jansen, yang sedari tadi setia menonton Karel mengikuti sesi latihan."Pemuda malang itu benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan putra Anda, Prof!" komentar Instruktur Lennon sambil menyeka peluh di lengannya dengan sehelai handuk kecil.Tatapannya tak lepas dari memandangi sosok Karel yang sedang berlatih bela diri tanpa mengenal lelah.Anak itu bahkan tak peduli dengan sebagian lukanya yang belum sembuh total."Ayo tinggalkan hutan sunyi ini dalam waktu tiga hari!"Sungguh percakapan dua arah dengan saluran yang berbeda."Kenapa mendadak sekali?" Instruktur Lennon mengernyit."Anak itu harus kembali ke bangku kuliah!""Apa?! Yang benar saja, Pro
Mark kaget. Ia sangat terobsesi dengan perburuan tanaman herbal, tapi kini Profesor Jansen mengajak mereka semua untuk pulang."Yaaah, padahal aku mulai jatuh cinta pada kemisteriusan hutan ini," keluh Dave, sama kecewanya dengan Mark."Dia harus melanjutkan hidup dan kembali ke kampus," tegas Profesor Jansen, melirik Karel yang masih sibuk berlatih bela diri."Karena dia?" Mark dan Dave kehabisan kata untuk mendebat Profesor Jansen.Di tengah area bersih yang tak begitu luas, Karel seperti orang kesetanan memukuli Mok Yan Jong.Pukulan demi pukulan seakan merupakan pelampiasan dari kemarahannya yang terpendam.Semakin jelas bayang wajah Tuan De Groot bercokol pada puncak Mok Yan Jong itu, bertambah besar pula tenaga yang ia kerahkan pada pukulannya."Hiyaaa!"Tanpa diduga, seseorang menyergap Karel dari belakang.Bugh!"Aaakh!"Karel menggaruk kepalanya setelah sang penyergap mendarat di tanah. Rasa bersalah menggulung jiwanya melihat Dave terkapar."Maaf! Aku tidak tahu itu kau." Ka
"Aku berubah pikiran, Mark!" tegas Profesor Jansen. "Karel harus mempersiapkan masa depannya. Ben juga membutuhkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut."Semua mata tertuju pada kaki Ben. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mendapatkan cedera yang lumayan parah saat berhadapan dengan beruang demi menyelamatkan Dave. Jalannya sekarang sedikit pincang.Karel mendekati Ben, meremas pundaknya dengan hangat. "Aku tidak akan melupakan pengorbananmu, Ben. Kalau bukan karena Dave dan Mark ingin menyelamatkan nyawaku, kau tidak akan menjadi cacat."Utang emas bisa diganti, tapi utang budi dibawa mati. Seumur hidup ia berutang nyawa pada murid Profesor Jansen dan Instruktur Lennon.Karel telah membuat dan menyimpan catatan khusus dalam hatinya. Enam orang pria yang saat ini bersamanya adalah orang-orang penting yang akan menjadi prioritas hidupnya kelak.Tak peduli sesibuk apa pun dia setelah sukses nanti, dia akan selalu meluangkan waktu jika ada di antara mereka yang membutuhkan bantuanny
"Tempat apa ini, Ayah?"Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa."Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru.""Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.""Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu."A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"Kerongkongan
Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.Tok! Tok!Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar."Masuk!"Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja."Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.""Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan
Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa."Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu."Akh! Ayah, sakit!""Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"Plak!Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih."A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?""Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.Tuan De Groot terus menyeret Xela. Mening
"Tuan, ada mobil yang mengikuti kita dari tadi," lapor sopir yang mengendarai kendaraan milik Tuan De Groot.Sorot matanya beriak cemas, melirik spion samping berulang kali."Kau pikir ini jalan pribadiku?" sentak Tuan De Groot, merasa kesal lantaran niatnya untuk memejamkan mata terganggu."Tapi ini mencurigakan, Tuan. Saya telah mengedipkan lampu dan menepi agar mereka bisa mendahului, tapi mereka justru memperlambat setelah berhasil menyejajari kendaraan kita.""John, kau berpikir terlalu jauh. Apa ini untuk pertama kalinya kau menempuh perjalanan jarak jauh?"Sebagai sopir, bukankah seharusnya kau tahu bahwa lebih baik mengurangi kecepatan daripada mengambil risiko beradu kambing dengan lawan dari arah depan?"Sudahlah! Berkendara saja dengan baik! Jangan ganggu aku! Aku ingin istirahat!"Ckiiit!John membanting setir ke kiri dan menginjak pedal rem dengan kuat."John! Kau ingin mati, hah?!"Tuan De Groot meledak. Baru saja ia berpesan pada sang sopir untuk membiarkannya beristira
"Akh! Sial! Tangkap wanita itu! Jangan biarkan dia lolos!" lolong lelaki bergigi tonggos setelah Xela berhasil menggigit lengannya.Xela mencopot sepatu berhak tinggi yang dikenakannya, lalu berlari dengan kecepatan penuh."Terus lari, Xela! Jangan pedulikan aku!" teriak Tuan De Groot, menyemangati putrinya.Dua anak buah lelaki bergigi tonggos memenjarakan dirinya dalam cengkeraman erat mereka.Xela terus berlari menembus malam, menyelamatkan diri dari kejaran lelaki bergigi tonggos dan dua orang anak buahnya.Dugh!Sebuah sepatu menghantam belakang lutut Xela, membuatnya jatuh tersungkur mencium tanah."Hahaha ... mau lari ke mana lagi, Nona?"Xela tak akan membiarkan para pemburu nafsu itu mendapatkan apa yang mereka inginkan dari dirinya.Sambil meringis menahan perih pada wajahnya yang tergores permukaan jalan, Xela kembali bangkit. Berlari dengan tertatih-tatih."Tolooong!"Ckiit!Sebuah motor besar yang melintas menginjak rem, sejengkal sebelum menabrak Xela.Merasa mendapat per