“Waw! Pertunjukan yang sangat hebat. Saya yakin kau bisa melakukannya Yonna,”
“Ini yang Tuan inginkan, bukan? Akan aku lakukan.”
“Berapa banyak kau minum? Satu botol ini?” Tanya tuan Rey di tengah kesadaranku yang mulai tidak terkendali.
“Lebih banyak dari itu.”
“Apa kau sudah gila! Saya tidak menyuruhmu minum lebih dari yang aku minta!”
Tuan Rey seketika bangkit dan menghampiriku dengan wajah yang memerah.
“Hentikan! Duduk disitu!”
Aku tidak memperdulikan apa yang ia katakan, aku menuang kembali bir ke dalam gelas dan mencoba meminumnya kembali.
“Praaanggg... “
Gelas yang berisi minuman bewarna merah keunguan itu tumpah dengan pecahan kaca berserakan di mana-mana.
Wajahku tidak sedikitpun panik. “Mengapa? Berikan lagi minuman itu, aku sangat menikmati malam ini. Jangan hentikan aku, aku lelah.”
“Hentikan!
“Aku dimana,”“Yon, Yonna? Kau sudah sadar? Tenang-tenang. Aku tidak akan menyakitimu.” Ujar Rey berusaha menenangkan Yonna.“Aku dimana sekarang?”“Di rumah sakit, Yon.”“Aku kenapa?”“Kau... emm... kamu sakit, Yon. Kamu pingsan.”“Aku ingin pulang sekarang juga,” ucapku dengan suara parau hampir tidak terdengar jelas.“Kamu ingin pulang? Dokter mengatakan belum bisa untuk saat ini, jadi kita pulang besok.”“Aku tidak mau! Aku ingin pulang sekarang juga.” Dengan nekat aku berusaha membuka jarum infus yang terpasang di tanganku. “Arghhh... mengapa ini ada di tanganku!”“Tenang, Yon. Tenang! Jangan panik.”“Anakku mana! Mana anakku!”“Daffa baik-baik saja.”“Apa yang kamu lakukan pada anakku!”“Apa maksudmu, Yon? Aku tidak
Karena merasa perkataannya benar, aku hanya diam dan terus berpikir bagaimana caranya agar tidak terjadi apa-apa pada anakku Daffa.“Terserah apa yang kau katakan, Rey. Aku tidak perduli.”Rey hanya tertawa puas. “Lebih baik kau tidur saja, Yonna. Kita bahas nanti setelah kau pulih.” Ujarnya dengan percaya diri seakan rencananya berhasil.Aku hanya diam dan diam.Malam telah tiba, Rey terlihat duduk di kursi luar menjaga jaga keadaan, mungkin takut aku akan kabur malam ini.Perlahan lahan aku membuka infus yang ada di tanganku dan berjalan mengintip melalui celah pintu.“Bagaimana cara agar aku bisa kabur malam, ini? Sedangkan dia berjaga diluar.” Ujarku pelan.Aku kembali ke tempat tidur dan berpura pura memasang pelekat infus di tanganku agar, terlihat tetap terpasang.“Cekreekk... “ Suara pintu terbuka dan aku berpur pura memejamkan mata.Rey masuk guna memastikan aku te
“Keadaannya kritis.” Ujar dokter yang tiba-tiba keluar tanpa aba-aba itu.Rey yang tadinya terlihat emosi berubah sangat kecut dengan penyesalan yang tiada arti.“Ap-apa? Kritis, Dok?” Tanyanya dengan mata yang berkaca kaca.Dokter hanya mengangguk perlahan. “Kami sedang berusaha mencari darah A+ untuknya. Apa anda, suaminya?”“Da-darah? A+?” Rey terpaku beberapa saat setelah dokter mengatakan hal itu.“Iya, pasien benar-benar banyak kehilangan darah. Sekali lagi saya tanya, apa anda suaminya?”Rey menggeleng. “Bu-bukan, Dok. Saya temannya. Kalau begitu, coba periksa saya, Dok. Jika golongan darah saya cocok, ambil saja.”“Kecil kemungkinan, Pak. Tetapi tidak masalah, mari kita coba.”Rey mengikuti dokter yang berjalan sangat cepat. “Masuk ke dalam.” Pinta sang dokter.Rey tidak menjawab melainkan langsung masuk dan duduk di k
“Pergi kamu! Jangan pernah injak kakimu di rumah ini lagi!” “Tapi, Yah. Aku ini anakmu,” “Kau bukan anakku lagi! Bawa anak itu pergi dan jangan pernah kembali lagi!” “Tapi ini cucumu, Yah. Dia darah dagingku sendiri mengapa ayah begitu membencinya?” “Anak haram! Buat malu!” “Hentikan, Yah!!!! dia bukan anak haram!” “Plaakkk,,,,” Lamunan ku terhenti setelah mengingat kejadian itu, sebuah tamparan yang ku ingat sampai saat ini. Namaku Yonna Azahra, biasa di panggil Yonna. Aku adalah anak satu-satunya di keluarga yang serba kekurangan, ku putuskan berhenti sekolah karena keterbatasan biaya. Ayahku hanya seorang penarik becak di kampung, pendapatan yang ia terima hanya cukup untuk makan sehari-hari sedangkan ibuku sendiri sudah meninggal dua tahun yang lalu, karena desakan ekonomi yang semakin sulit membuatku berpikir dewasa sebelum waktunya. Pada tahun 2011 ku putuskan untuk merantau
Tidak seperti biasanya Daffa tidur begitu pulas, kesempatan ini tidak ku sia-siakan. Aku mengemas barang-barang dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. “Sudah mau pergi?” Tanya lelaki bertubuh kekar itu Aku sedikit terkejut ketika menoleh ia sudah berada di belakangku, aku mengangguk pelan. “Iya, aku sudah mau pergi, terima kasih sudah mengizinkan aku dan anakku untuk bermalam di sini.” “Hemm,,,, sama-sama. Oh iya, mana suamimu?” Seketika mataku melotot menatapnya. “Dia sudah mati!” Seruku, tanpa aku sadari air mataku mengalir deras, teringat akan kejadian beberapa bulan lalu ketika suamiku pergi begitu saja tanpa mau bertanggung jawab pada Daffa anakku. “Oo,,,, oh maaf, maaf aku tidak bermaksud,,,,” “Ah sudahlah, tidak apa-apa. “ Jawabku langsung memotong perkataannya. “Sungguh aku minta maaf,” Aku menyeka air mataku dan tersenyum. “Kalau begitu aku pergi dulu,” “Hey, nona! Siapa namamu?” Aku me
Aku berusaha menyetop setiap mobil yang melintas di depanku.Tiba-tiba. “Mau kemana, Buk?” Tanya seorang sopir angkot dengan ramah padaku.“Saya mau ke kota, Pak.”“Ohh, kalau begitu naik saja, Buk. Kebetulan saya mencari penumpang tujuan kota.”Aku melihat uang di genggaman tanganku.“Segini cukup, Pak?” Tanyaku sembari menunjukkan uang yang aku pegang.“Hmm,,, cukup, Buk cukup.”Tanpa berpikir panjang, aku langsung naik ke dalam angkot tersebut.“Tunggu sebentar lagi ya, Buk. Saya masih menunggu penumpang lain,”“Iya, Pak. Tidak apa-apa.”Ketika muatan angkot sudah cukup banyak, sopir langsung berangkat menuju kota. Desakan demi desakan aku alami bersama penumpang lain ketika angkot yang aku tumpangi menambah muatannya.“Pak, sudah dong. Jangan nampah penumpang lagi, disini sudah sempit sekali!” Seru seorang wa
Setelah menidurkan Daffa, aku langsung menemui pemuda itu di ruang tamu. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, semua berisi barang-barang mewah dan mahal.“Apa kamu sudah beristirahat?” Tanya lelaki itu mengejutkanku, aku langsung salah tingkah ketika melihatnya menatapku.“Emm,,, sudah, Tuan sudah.” jawabku terbata-bata.“Kemarilah.”Aku berdiri di sampingnya.“Loh, kok berdiri? Sini duduk.”“Baik, Tuan.”Setelah aku duduk, lelaki itu mengulurkan tangannya.“Namaku, Rey Affandi. Panggil saja, Rey.”“Baik, tuan Rey. Namaku Yonna.”“Sebuah nama yang indah.” Pujinya, aku tersipu malu.“Bisa saja, tuan Rey.”“Hehe, kamu ke kota hanya berdua?”“Iya, Tuan.”“Apa suamimu tidak marah? Atau bahkan mencarimu?”Mendengar perkataannya, aku terdiam sejen
Aku menuju meja dapur, terdapat banyak makanan yang sudah disediakan yang kelihatannya sangat lezat. Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba Daffa menangis. Aku segera berlari menuju kamar. Aku langsung mendekap Daffa. “Iya, Sayang. Jangan menangis lagi, ini ibu.” Setelah Daffa berhenti menangis, aku langsung membawanya menuju meja dapur. Di sana aku langsung melahap makanan itu, tiba-tiba. “Siapa kamu?” Tanya seorang lelaki yang sangat mirip dengan tuan Rey. Aku terkejut, dan langsung terperangah menatapnya. “Ak,,, aku pembantu baru disini, Tuan,” “Pembantu?” Lelaki itu menatapku tak percaya. Aku mengangguk, makanan yang ada di dalam mulut langsung ku telan tanpa mengunyahnya lagi. “I,,,, iya. Saya pembantu baru disini.” “Siapa yang membiarkan kamu menjadi pembantu disini?” Tanyanya ketika melihat Daffa di dalam gendonganku. “Tuan Rey.” “Si, Rey? Mengapa dia membiarkan kamu membawa anak?” A