***
Yohan berhenti di depan gedung klub. Dia memastikan sekali lagi arah GPS-nya. Benar, titik tempat Irena berada ada di dalam gedung ini. Kemudian dia masuk ke dalam klub tanpa hambatan karena sudah cukup umur. Di tengah hingar-bingar klub malam, mata Yohan harus mencari dengan jeli sosok Irena di sini. Menaiki tangga, Yohan pikir akan lebih mudah jika dia memperhatikan ke bawah dari lantai atas.
Ketika baru saja dia tiba di anak tangga teratas, pintu di depan itu terbuka dan seorang pria yang tampak dikenalinya keluar, melengos ke jalur lain. Zen! Dengan penasaran Yohan mengikuti jejak Zen. Hingga dia dihadapkan oleh dua lorong remang-remang sementara Zen entah lewat jalur mana. Yohan jadi bingung, kehilangan jejaknya. Pada akhirnya dia memilih jalur kiri. Baru separuh jalan langkahnya terhenti seketika. Tepat di depannya pintu toilet wanita itu terbuka dan menampakkan Irena keluar dari sana. Sedetik setelahnya, Zen menyusul keluar dari tempat yang sama.
Rahang Yohan mengatup keras. Pikirannya sudah tidak tentu melihat mereka berdua keluar dari sana bersama. Yohan bukan pemuda yang polos. Pasangan mana yang tidak bisa bermesraan di toilet wanita dengan dalih tulisan 'toilet rusak'? Mereka bisa melakukannya. Perasaan Yohan bagai gunung merapi yang siap menyemburkan laharnya.
"Yohan?" Irena tercengang.
Dalam sekali hentakan langkah, Yohan menerjang Zen: mencengkram kerah pakaiannya dan satu bogeman mentah mendarat di wajah mulus pria itu. Bugh! Irena terpekik. "Yohan!" teriaknya kaget. Yohan tidak mendengarkan. Pemuda itu terus memberi tinjuan keras pada Zen. Zen yang setengah mabuk tidak sempat menghindari serangannya.
Irena tak bisa diam saja. Dia berusaha memisahkan Yohan yang menyerang dengan membabibuta. Irena memeluknya sambil menarik mundur sekuat tenaga. "Hentikan, Yohan! Kumohon!" Barulah Yohan berhenti memukul Zen. Yohan menurut. Di saat yang sama Kayla muncul dari ujung lorong. Pemandangan di depannya bukan hal yang positif. Zen tampak mengerut kesakitan, sedangkan Yohan bak anjing galak yang menggonggonginya. "Astaga, apa yang terjadi?"
"Kayla, bisa bantu Zen? Aku harus membawa Yohan pulang," ujar Irena. Situasinya genting. Irena tidak bisa berlama-lama di sini. Dikhawatirkan Yohan akan mengamuk lagi.
"Baiklah," kata Kayla.
***
Kayla tidak bisa mengantar Zen yang terluka ke rumahnya. Jadi karena apartemennya paling dekat dari klub, Kayla memapah lelaki ini untuk beristirahat di tempat tinggalnya malam ini. Dia punya satu kamar kosong. Dengan susah payah Kayla memapah berat Zen yang separuh mabuk di satu sisinya di lorong apartemen, hingga dia berhenti sejenak untuk menekan password pintu. Lalu menyeret Zen ke dalam dan mendudukkannya ke sofa. "Aku akan mengambil kotak obat dulu," kata Kayla.
Meskipun kesadarannya mulai terganggu, Zen masih dapat merasakan sakit di area pipinya bekas tinjuan keras tangan Yohan tadi. Zen meringis. Kemudian Kayla datang dan duduk di sampingnya. Mulai mengobati memar di sisi wajah Zen dengan alkohol dan kapas. Zen mendesis perih. Dia berkelit reflek saat lukanya sedang dibersihkan. "Tolong diamlah Zen!" geram Kayla. Dia jadi kesulitan mengobati memar itu. Zen menurut.
"Aku baru tahu kalau adiknya segalak itu padaku," keluh Zen.
"Yohan? Aku juga tidak menyangka. Tapi dia tidak akan mungkin meninjumu tanpa alasan kan? Pasti terjadi sesuatu," sahut Kayla.
"Yahh, memang terjadi sesuatu," desau Zen lemas. "Dia melihatku keluar dari toilet wanita bersama Irena. Sudah pasti dia memikirkan yang tidak-tidak," cerita Zen singkat.
"Bodoh! Sudah jelas sekali! Bisa-bisanya aku punya teman sebodoh dirimu. Tapi tunggu, apa yang dilakukan Yohan ke klub? Ralat, kau sedang sial karena dipergoki Yohan," sarkas Kayla sambil menempelkan plester di pelipis Zen yang terluka. "Kau akan kesulitan mendapat restu dari adiknya lho."
Zen terdiam merenung. Wajahnya mendadak mendung. "Aku... Tidak tahu harus diapakan hubungan kami ini," lirih Zen bernada sedih. Kayla mengerjap. Dia menatap serius. "Apa maksudmu?" kata Kayla.
"Sejujurnya, Irena selalu menolak jika diajak bersenggama denganku. Itu sudah ketiga kalinya. Aku ragu kalau dia mencintaiku," tandas Zen terbuka.
"Apa!" Kayla tidak percaya. Perkataan yang keluar dari mulut Zen merupakan hal mengejutkan bagi Kayla. Biasanya setiap pasangan mana pun mereka pasti setidaknya melakukan hal itu sekali atau dua kali. Tapi pasangan Irena dan Zen tidak demikian. Mengherankan menurut Kayla. "Selama enam bulan kalian pacaran, tidak sekali pun kau melakukan skinship?" tanya Kayla.
"Hanya sebatas ciuman tak pernah lebih dari itu," curhat Zen. Mereka bertiga adalah sahabat. Zen tak segan untuk bercerita permasalahannya dengan Irena pada Kayla. Karena Kayla dapat Zen percaya untuk membagi kisahnya. Kayla bukan wanita bermulut besar seperti kebanyakan wanita lain yang akan menyebarkan aib seseorang.
Tiba-tiba Zen meringis. Pandangannya mulai kabur. Efek alkohol kembali menyerangnya lebih kuat lagi. Zen terbungkuk. Dunia seakan berguncang. Membuat Kayla yang melihat reaksi itu jadi khawatir. "Zen? Apa kau baik-baik saja?" tanyanya menyentuh pundak lelaki itu. Seketika benak Zen terlonjak. Merasakan sentuhan jemari Kayla di tubuhnya.
Zen merasakan tubuhnya seolah terbakar. Terbakar gelora panas yang bergejolak di dalam darahnya. Sebuah hasrat yang tak seharusnya dia miliki untuk Kayla. Zen stress karena penolakan Irena. Berpikir bahwa Irena tidak mencintainya dan membuat hubungan mereka berjalan seadanya. Zen menginginkan lebih. Sebuah sentuhan Irena. Bukan Kayla!
Di detik itu Kayla terhenyak saat tubuhnya di dorong dan membuat dia terbaring ke sofa, dengan Zen di atasnya. Mata Kayla membeliak atas perlakuan Zen barusan. Dia menatap dengan tercengang ke wajah Zen. Perlahan kelopak mata itu membuka hingga memperlihatkan iris cokelatnya yang sayu. "Tidurlah denganku malam ini," ujar Zen dengan suara seraknya. Kayla dapat merasakan jantungnya berdegup seketika. Tetapi dia tersadar akan suatu hal terpenting. "Aku bukan Irena. Aku Kayla! Kau terlalu mabuk untuk membedakan orang, huh!" sungut Kayla. Lalu dia berusaha bangun dari atas tubuh Zen. Sayangnya Zen tidak membiarkan Kayla beranjak. Sehingga Kayla kembali terjatuh ke dada Zen.
"Zen! Aku bukan Irena!" teriak Kayla.
"Aku tahu... Aku tahu kau bukan Irena. Kau Kayla. Seorang wanita yang memiliki rambut ikal sepundak, sahabat tersayang Irena," ucap Zen memperjelas.
"Kalau kau sudah tahu, maka lepaskan aku," tegas Kayla.
"Oleh sebab itu aku tidak melepaskanmu." Ucapan Zen kian tidak dimengerti otak Kayla. Kening wanita itu mengerut samar. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku tahu diam-diam kau sering melirik kepadaku. Malam ini aku ingin memberikan kesempatan padamu untuk mewujudkan hasratmu. Begitu juga denganku," jawab Zen terdengar gila. Kayla sampai tidak percaya mendengar itu. "Kau mabuk, Zen," kilah Kayla tapi tak mencoba bangkit lagi. Tangan Zen telah mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat.
"Ya aku mabuk. Tetapi sepenuhnya aku masih sadar. Irena tak pernah mau tidur denganku. Maka temani aku malam ini saja. Kesempatan ini tidak datang dua kali," kata Zen. Seakan memberi pilihan untuk perasaan Kayla. Kayla waras seratus persen, dan dia dapat menggunakan otaknya untuk berpikir rasional: bahwa dirinya akan menjadi pelampiasan semata kekecewaan hati Zen yang ditolak tidur oleh Irena, sementara dirinya sendiri telah sejak lama mengidamkan Zen.
"Bagaimana?" tuntut Zen. Lalu Kayla mendongak untuk menatap wajahnya. "Hanya malam i---" Seketika Kayla dibungkam oleh bibir Zen. Kayla gugup. Haruskah dia meneruskan hal ini? Sejenak Zen melepas ciumannya untuk menatap mata Kayla. "Kau tidak boleh menyesalinya," ucap Zen bagai peringatan yang akan memululnya keras di kemudian hari. Kayla meneguk salivanya sendiri. Hanya malam ini, pikirnya. Benar, hanya sekali ini saja, Kayla ingin merasakan Zen. Dan malam itu Kayla sadar telah mengkhianati Irena. 'Maafkan aku Irena. Hanya semalam saja.'
***
"Yohan, jangan marah. Itu kesalahpahaman dirimu," kata Irena mencoba meluruskan ketika mereka tiba di rumah.
Yohan masih diliputi amarah. Wajahnya mengeras dan menatap berang pada Irena. "Kesalahpahaman apa? Kau terus mengingkari janjimu! Kau membuatku menunggu tanpa kepastian. Kenapa tidak menjawab satu telepon dariku?" tuntut Yohan.
"Maaf, ponselku di dalam tas jadi aku tidak dengar ada panggilan masuk," sesal Irena.
Meskipun hatinya masih marah, setiap kali melihat wajah muram Irena, membuat Yohan tidak dapat membekukan emosinya. Dia tidak bisa benar-benar marah pada Irena. "Aku menyayangimu lebih dari diriku sendiri," ujar Yohan dengan nada yang menurun. Kemudian dia berderap pergi ke kamarnya. Sementara Irena melihat punggung itu masih memakan kecewa padanya. Irena sedih. Dia memaki otaknya yang pelupa ini.
Dasar bodoh! Apa kau sudah tua Irena?
******Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena."Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya."Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi."Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sam
***Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
***Flashback.Irena berlari di bandara disusul Yohan. Dia berhenti di depan papan pengumuman yang sudah didesaki orang-orang. Irena gelisah dan menyelinap paksa hingga tiba di depan papan. Daftar nama yang tertera di papan, dia mencari nama orang tuanya. Irena tercengang. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Yohan baru tiba di sampingnya, dan cekatan menangkap Irena yang limbung. "Irena!" kagetnya."Yohan, ini tidak mungkin kan?" lirih Irena lemas. Yohan kemudian mengarahkan pandangan ke papan nama penumpang. Seperti yang ditakutkan Irena, nama orang tuanya terdaftar dalam peristiwa kecelakaan pesawat hari ini. Yohan lebih tegar dari Irena. Jadi dia menuntun Irena menjauh dari kerumunan dan didudukkan ke salah satu kursi tunggu. Memberikan Irena air mineral agar tenang. "Minumlah dulu," ujar Yohan menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah dibuka.Irena meraihnya dengan tanpa te
***Kedua kelopak mata Irena bergerak membuka. Seperti biasanya, pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur, Yohan. Irena terdiam sejenak. Sejak kapan Yohan tidur di sampingnya? Irena tak ingat semalam Yohan tidur bersamanya. Diperhatikannya sekali lagi. Wajah yang sering menampakan kecemburuan itu kelihatan tenang seperti bayi tidur. Irena tersenyum lembut. Dapat dia rasakan dekapan lengan kokoh Yohan di pinggang. Yohan memeluknya sambil berbaring miring.Tiba-tiba Irena teringat percakapan mereka semalam. Yohan menanyakan apakah dirinya sudah pernah tidur dengan Zen? Irena tentu saja menjawabnya dengan jujur. Bahwa dia belum pernah tidur bersama Zen. Setelahnya, Yohan bersemringah. Membuat Irena mengeryit heran melihat reaksinya.Diingatkan dengan jadwal kerja, Irena hendak bangun dengan memindahkan perlahan lengan Yohan dari pinggangnya. Pada saat yang sama suara lenguhan terdengar seiring mata Yohan terbuka pelan. "Kau sudah bangun?" s
***Liliana mengikuti diam-diam punggung Yohan dari kejauhan tiga meter. Dia ingin tahu mau ke mana lelaki itu akan pergi setiap selesai kelas. Liliana sadar kalau dirinya kurang kerjaan mengikuti orang lain seperti saat ini. Yah memang dia tidak punya kesibukan. Oleh sebab itu membuntutinya menjadi kegiatan sibuk baginya. Ketika tiba ditikungan, Liliana mengerjap kaget. "Hilang?" Lalu dia berlari kecil dan berhenti di perempatan tikungan gang perumahan. "Pergi ke arah mana dia?" gumam Liliana celingukan."Hey, wanita~" Suara pria terdengar dari arah belakang. Liliana tersentak berbalik. Dapat dia lihat lima pria dengan penampilan sangar membuat jantungnya berdetak takut. "Mau apa kalian?" kata Liliana waspada. Mereka bergerak maju, dan Liliana menarik langkah mundur. Siapa yang tahu niat mereka? Yang pasti dia harus pergi dari jangkauan mereka sekarang. Setidaknya berada di tempat yang ramai maka akan aman. Sementara tempat ini sep
***Menghela napas panjang, kepala mendongak lemas menatap plafon ruangan. Ruangan berkonsep minimalis modern tampak sepi. Lampu di atas menyala begitu terang. Namun, tidak menerangi hatinya yang sekarang. Wanita itu harus merasakan kekecewaan berulang kali. Bayangan tentang Yohan masih berputar di dalam benaknya. Dia mencintai lelaki itu. Tapi cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh usaha ekstra untuk mengalihkan dunia lelaki itu kepadanya. Bagaimana caranya?Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar di keheningan ruangan. Disusul langkah sepatu berjalan mendekat. "Apa yang kau lamunkan?" kata Zen dengan jas di lengan kirinya sambil mengendurkan dasi di leher. Wanita itu tidak menoleh. Menatap langit-langit ruangan saat memikirkan Yohan. "Apa kau pernah merasa kecewa pada orang yang kau cintai?" tanyanya."Pernah. Kenapa? Kau sedang patah hati?" sahut Zen santai. Dia berjalan menuju dapur yang terhubung dengan ruang tengah."Pat
***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil
***Berkali-kali Yohan melirik jam dinding dengan resah. Setelah mengetahui Irena pergi tanpa pemberitahuan, Yohan jadi tidak bisa mengerjakan skripsinya dengan tenang sekarang. Apalagi wanita itu pergi larut malam. Pergi kemana kakak perempuannya itu? Yohan mencoba meneleponnya. Satu kali tidak dijawab, dua hingga lima kali panggilan, tidak kunjung ada jawaban dari pemilik nomor. Yohan khawatir sehingga dia berpikir mungkin telah terjadi sesuatu pada kakak perempuannya itu. Bergegas Yohan mengambil jaket lalu menyambar mantel. Pemuda itu hengkang dari rumah mencari Irena. Di sisi lain, Irena berjalan lunglai. Pandangannya hampa. Bar minuman di pinggir jalan menjadi tempat singgah langkah Irena. Dia memesan wiski pada bartender. Segelas habis, dia meminta tambah sampai beberapa botol berada di mejanya sekarang. Dia butuh melupakan pemandangan yang dia lihat tadi. Sungguh, kalau perlu, terbentur sesuatu dan hilang ingatan itu lebih baik. Tapi Irena tidak suka rasa sakit. Alhasil dia