***
Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena.
"Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya.
"Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi.
"Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sambil membisikkan sesuatu yang erotis. Ketika itu Irena segera memberikan penolakan dengan halus.
"Apa pun alasannya. Putuskan dia! Aku tidak mau ada lelaki lain di sekitarmu," tegas Yohan.
"Hari ini sudah jadwalmu untuk konsultasi ke dokter. Kau harus pergi ke rumah sakit hari ini," balas Irena mengalihkan pembicaraan dengan nadanya yang tenang. Dia tidak mudah termakan emosi.
"Irena! Kau---!" geram Yohan kehabisan kata-kata. Sedetik kemudian sentuhan lembut telapak tangan Irena menggenggam tangan tegang Yohan di atas meja. "Percayalah padaku. Akhir pekan kita bisa berlibur bersama," kata Irena mencoba memadamkan api di benak Yohan saat ini. Dia tidak mau berdebat pagi-pagi. Terlalu awal untuk berpusing ria.
"Baiklah. Siang ini aku akan pergi ke rumah sakit untuk kontrol," final Yohan menurut. Dia mengharapkan janji Irena untuk pergi berlibur itu.
***
Kayla sedang absen hari ini, entah karena alasan apa. Membuat meja di samping Irena tampak kosong. Irena juga menanyakan kabar Kayla melalui pesan singkat, akan tetapi tidak ada balasan dari pemilik nomor. Sedangkan Zen yang sempat menjadi korban Yohan tetap berangkat bekerja meski Irena harus melihat pelipisnya ditempeli plester transparan. Rekan kerjanya mengira Zen habis berkelahi. Irena meraih ponsel. Mengetikkan permintaan maaf atas tindakan Yohan di klub semalam.
Siang hari, Irena pergi ke taman atap sendirian. Dia duduk memangku bekal makan siang buatan Yohan. Satu pesan masuk berdering membuat Irena terkesiap membukanya. Irena pikir mendapat pesan dari Kayla. Ternyata bukan. Yohan mengiriminya pesan:
'Kau sedang apa? Jangan makan siang berdua dengan lelaki itu!'
Yohan semakin posesif kepadanya. Anehnya Irena tidak merasa risih. Lalu dia membalas pesan itu dengan tanggapan positif. 'Aku tidak bersama siapa pun saat ini.'
'Aku percaya itu. Apa sore perlu kujemput?'
'Mmm, kurasa tidak.'
'Kau! Berniat mau pergi dengan Zen lagi?'
'Tidak Yohan. Tunggu aku saja di rumah.'
"Kau sedang apa?" teguran suara khas itu menyentak fokus Irena seketika. Dia mendongak ke asal suara. "Zen?" kagetnya, lalu dia melirik ke sekitar dengan awas. Zen tak memedulikan kecemasan Irena yang tak ingin karyawan lain tahu hubungan mereka. Lelaki itu malah duduk dan bersikap santai di sebelahnya. "Kekasihmu terluka, kau malah asik bermain ponsel di sini," sindir Zen.
Irena memelotot. "Apa yang kau lakukan di sini?" bisiknya pelan.
"Tentu saja bertemu dengan kekasihku. Memangnya tidak boleh?" jawab Zen semakin membuat Irena panik. "Pelankan suaramu! Nanti ada yang dengar!" Irena mengatakannya dengan rahang yang tidak terbuka.
"Tenang saja, tempat ini hanya ada kita berdua," sahut Zen mempermainkan Irena. Memang benar di sekitar taman atap yang cuma sepetak ini hanya ada mereka berdua. Zen melirik bekal di pangkuan Irena. "Karena itulah kau jarang ke kantin, kau sering membawa kotak makan siang," komentar Zen.
"Ah, ini dibuatkan oleh Yohan."
"Adikmu? Aku jadi ingin mengenal adikmu. Kau tidak ada lembur hari ini kan?"
Irena mengangguk.
"Akan kuantar pulang."
"Eh?" Irena terkejut. Yohan mungkin akan mengeluarkan aura permusuhan pada Zen. Ditambah dengan kejadian semalam. Yohan tidak segan-segan untuk meninjunya lagi. "Kurasa itu bukan ide bagus," ringis Irena.
"Kau jangan khawatir, aku ingin menyapanya saja," timpal Zen menyakinkan.
"Baiklah," desau Irena pasrah. "Apa tinjuannya masih terasa sakit?" Diperhatikannya sisi wajah Zen dengan khawatir.
"Ini hanya memar sedikit, besok juga akan hilang," jawab Zen.
"Tapi semalam dia memukulmu keras sekali."
"Aku sungguh baik-baik saja."
"Benarkah?" Irena mengerucutkan matanya.
Tiba-tiba Zen menaruh telapak tangannya di atas kepala Irena. "Aku tidak selemah itu, sayang," ucap Zen dengan suaranya dalamnya, sedalam tatapan cokelatnya yang berubah. Irena terpegun. Dengan gugup dia menyingkirkan tangan Zen yang mengusap rambutnya.
***
Siang ini tidak ada jadwal kelas lagi, jadi Yohan berniat untuk pergi ke rumah sakit untuk bertemu psikiater sesuai apa yang diminta Irena tadi pagi. Di tengah jalan lambaian tangan ceria terarah kepadanya dari depan. Yohan menatap datar gadis itu. Liliana.
Liliana berlari kecil menghampiri. Lalu berhenti dihadapannya. "Apa kau ada kelas lain?" tanya Liliana riang.
"Tidak ada."
"Oh! Lihat di sana! Sepertinya mereka sedang menjual aksesoris!" pekik Liliana menunjuk lurus ke kumpulan orang di taman kampus. "Ayo kita lihat apa yang mereka pamerkan!" Tanpa aba-aba lagi dia menarik tangan Yohan. Yohan terseret olehnya dan mereka menyeruak kerumunan mahasiswa itu. Beragam aksesoris dihamparkan. Awalnya Yohan tidak tertarik dengan perhiasan sederhana itu sebelum pandangannya terhipnotis oleh sebuah kalung dan dia terpesona.
***
Malam itu mobil Zen berhenti di depan rumah Irena. Mereka turun bersama. Niatnya Irena ingin mengajak Zen masuk, tetapi harus pupus ketika mereka disambut muka judes Yohan di depan pintu. "Mengapa kau bawa lelaki itu ke rumah kita?" ujar Yohan sinis.
Rupanya Yohan masih memusuhi Zen. Irena hanya bisa meringis bingung. Tidak seharusnya Yohan bersikap kasar begitu kepada orang yang lebih tua, bukan? Tapi Yohan tetaplah Yohan, tidak mudah membuat pemuda itu akrab dengan Zen setelah semua yang terungkap. Irena tahu itu. "Kau Yohan, ya? Kita bertemu lagi. Tenang saja, aku hanya mengantar Irena ke rumah," kata Zen dengan santai. Sikap Yohan di pintu rumah bagaikan bulldog yang mengancam setiap tamu. Zen merasakan bahwa Yohan seperti dinding besar yang harus dihancurkan bila dia ingin mendapatkan Irena.
Yohan terus memelototinya tajam. Dibalas dengan senyuman ramah dari Zen. Irena yang di tengah kedua lelaki itu jadi bingung harus bagaimana. "Nng, Zen sebaiknya kau pergi, aku ingin istirahat," ujar Irena. Hanya itu yang dapat Irena katakan untuk mengakhiri perang mata mereka. Lalu Zen beralih padanya. Dia menunjukkan senyum manis. "Baiklah. Sampai jumpa di kantor," pamit Zen, berbalik pergi.
"Kita juga masuk ke rumah," giring Irena pada Yohan.
Begitu tiba di dalam rumah, meja makan sudah penuh dengan makanan. Uap tipis tampak membumbung dari panci sayur. Sepertinya Yohan baru selesai memasak makan malam. Irena jadi terharu. Setelah mengganti pakaiannya, Irena duduk di kursi makan bersama Yohan. "Masakanmu selalu enak," puji Irena dengan mulut penuh sesuap lauk. "Bagaimana siang tadi? Sudah ke dokter?"
"Ya. Aku lebih baik dari sebelumnya. Dokter menyarankan untuk menjaga emosiku dengan baik. Aku berusaha yang terbaik dalam proses penyembuhan ini," kata Yohan.
"Ya itu harus. Pastikan kau tidak mudah tersulut amarah seperti tadi," komentar Irena mengangguki.
"Aku tidak marah!"
"Lihat..."
Yohan bungkam. "Itu tergantung pada dirimu," tandas Yohan kemudian melahap brokolinya.
******Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
***Flashback.Irena berlari di bandara disusul Yohan. Dia berhenti di depan papan pengumuman yang sudah didesaki orang-orang. Irena gelisah dan menyelinap paksa hingga tiba di depan papan. Daftar nama yang tertera di papan, dia mencari nama orang tuanya. Irena tercengang. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Yohan baru tiba di sampingnya, dan cekatan menangkap Irena yang limbung. "Irena!" kagetnya."Yohan, ini tidak mungkin kan?" lirih Irena lemas. Yohan kemudian mengarahkan pandangan ke papan nama penumpang. Seperti yang ditakutkan Irena, nama orang tuanya terdaftar dalam peristiwa kecelakaan pesawat hari ini. Yohan lebih tegar dari Irena. Jadi dia menuntun Irena menjauh dari kerumunan dan didudukkan ke salah satu kursi tunggu. Memberikan Irena air mineral agar tenang. "Minumlah dulu," ujar Yohan menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah dibuka.Irena meraihnya dengan tanpa te
***Kedua kelopak mata Irena bergerak membuka. Seperti biasanya, pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur, Yohan. Irena terdiam sejenak. Sejak kapan Yohan tidur di sampingnya? Irena tak ingat semalam Yohan tidur bersamanya. Diperhatikannya sekali lagi. Wajah yang sering menampakan kecemburuan itu kelihatan tenang seperti bayi tidur. Irena tersenyum lembut. Dapat dia rasakan dekapan lengan kokoh Yohan di pinggang. Yohan memeluknya sambil berbaring miring.Tiba-tiba Irena teringat percakapan mereka semalam. Yohan menanyakan apakah dirinya sudah pernah tidur dengan Zen? Irena tentu saja menjawabnya dengan jujur. Bahwa dia belum pernah tidur bersama Zen. Setelahnya, Yohan bersemringah. Membuat Irena mengeryit heran melihat reaksinya.Diingatkan dengan jadwal kerja, Irena hendak bangun dengan memindahkan perlahan lengan Yohan dari pinggangnya. Pada saat yang sama suara lenguhan terdengar seiring mata Yohan terbuka pelan. "Kau sudah bangun?" s
***Liliana mengikuti diam-diam punggung Yohan dari kejauhan tiga meter. Dia ingin tahu mau ke mana lelaki itu akan pergi setiap selesai kelas. Liliana sadar kalau dirinya kurang kerjaan mengikuti orang lain seperti saat ini. Yah memang dia tidak punya kesibukan. Oleh sebab itu membuntutinya menjadi kegiatan sibuk baginya. Ketika tiba ditikungan, Liliana mengerjap kaget. "Hilang?" Lalu dia berlari kecil dan berhenti di perempatan tikungan gang perumahan. "Pergi ke arah mana dia?" gumam Liliana celingukan."Hey, wanita~" Suara pria terdengar dari arah belakang. Liliana tersentak berbalik. Dapat dia lihat lima pria dengan penampilan sangar membuat jantungnya berdetak takut. "Mau apa kalian?" kata Liliana waspada. Mereka bergerak maju, dan Liliana menarik langkah mundur. Siapa yang tahu niat mereka? Yang pasti dia harus pergi dari jangkauan mereka sekarang. Setidaknya berada di tempat yang ramai maka akan aman. Sementara tempat ini sep
***Menghela napas panjang, kepala mendongak lemas menatap plafon ruangan. Ruangan berkonsep minimalis modern tampak sepi. Lampu di atas menyala begitu terang. Namun, tidak menerangi hatinya yang sekarang. Wanita itu harus merasakan kekecewaan berulang kali. Bayangan tentang Yohan masih berputar di dalam benaknya. Dia mencintai lelaki itu. Tapi cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh usaha ekstra untuk mengalihkan dunia lelaki itu kepadanya. Bagaimana caranya?Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar di keheningan ruangan. Disusul langkah sepatu berjalan mendekat. "Apa yang kau lamunkan?" kata Zen dengan jas di lengan kirinya sambil mengendurkan dasi di leher. Wanita itu tidak menoleh. Menatap langit-langit ruangan saat memikirkan Yohan. "Apa kau pernah merasa kecewa pada orang yang kau cintai?" tanyanya."Pernah. Kenapa? Kau sedang patah hati?" sahut Zen santai. Dia berjalan menuju dapur yang terhubung dengan ruang tengah."Pat
***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil
***Berkali-kali Yohan melirik jam dinding dengan resah. Setelah mengetahui Irena pergi tanpa pemberitahuan, Yohan jadi tidak bisa mengerjakan skripsinya dengan tenang sekarang. Apalagi wanita itu pergi larut malam. Pergi kemana kakak perempuannya itu? Yohan mencoba meneleponnya. Satu kali tidak dijawab, dua hingga lima kali panggilan, tidak kunjung ada jawaban dari pemilik nomor. Yohan khawatir sehingga dia berpikir mungkin telah terjadi sesuatu pada kakak perempuannya itu. Bergegas Yohan mengambil jaket lalu menyambar mantel. Pemuda itu hengkang dari rumah mencari Irena. Di sisi lain, Irena berjalan lunglai. Pandangannya hampa. Bar minuman di pinggir jalan menjadi tempat singgah langkah Irena. Dia memesan wiski pada bartender. Segelas habis, dia meminta tambah sampai beberapa botol berada di mejanya sekarang. Dia butuh melupakan pemandangan yang dia lihat tadi. Sungguh, kalau perlu, terbentur sesuatu dan hilang ingatan itu lebih baik. Tapi Irena tidak suka rasa sakit. Alhasil dia
Irena membuka matanya, bahkan sebelum alarm berbunyi. Jendela di sampingnya sudah menampakan langit pagi. Namun, pagi ini terasa sangat kosong. Sekosong suasana hatinya yang tak memiliki rasa apapun lagi. Pikirannya juga kosong. Kejadian semalam membuat mental Irena down. Rasanya berat untuk memulai hari, apalagi sampai pergi ke kantor lalu bertemu dengan pengkhianat. Malas sekali. Moodnya benar-benar sangat buruk hari ini. Samar-samar dia mendengar suara Yohan memasak di dapur. Pemuda itu rajin sekali dalam hal menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Tetapi, Irena tidak merasa lapar sama sekali saat ini. Perutnya seolah sudah penuh walaupun semalam tidak diisi makanan apapun. Yang dia lakukan sekarang hanya melamun. Melamun dan melamun dengan menyedihkan. Tiba-tiba bayangan semalam terlintas kembali di benaknya, dan Irena menahan napas. Rasanya menyesakkan. Sakit sekali di hati. Seolah ada lubang besar di dalam relungnya dan angin berembus keluar masuk dengan bebas. Sampai-sampai s