"Perutmu berkata sebaliknya." Edward kembali fokus mengemudi, tapi bukan ke apartemen Rosie melainkan ke restoran favoritnya yang kebetulan jaraknya dekat.
Rosie membuang muka. Menatap ke luar jendela sambil merutuki perut sialannya yang tidak bisa diajak kompromi. Mukanya merah padam dan dia bersyukur Edward tidak bisa melihatnya.
Tentu saja salah besar. Karena Edward bisa melihat pantulan wajah Rosie dari kaca pintu mobil.
"Manis." Pikir Edward dalam hati. Rosie yang tidak tahu menahu aksi sang calon kakak tirinya masih saja menampakkan wajah salah tingkah dengan pipi yang merah padam. Terkadang, ia mengetuk kepalanya seraya menggerutu. Dan, itu semakin terlihat manis di mata Edward.
***Mereka sudah sampai di restoran khas perancis favorit Edward. Sebenarnya favorit Alice juga. Malah, Alice sendiri yang memberitahu Edward restoran ini lebih dulu. Tapi, hal itu kini tidak terpikir oleh Edward. Di benaknya saat ini hanya ada Rosie dan cara untuk mendapatkan maafnya.Pelayan muncul dengan membawa buku menu. Edward memesan hidangan favoritnya yang biasa tanpa melihat menu. Sedangkan Rosie masih sok serius membaca buku besar bersampul kulit hitam di depannya.
Semua menu tertulis dalam huruf latin, bukan Indonesia. Otak pas-pasannya langsung menciut ketika mencoba membaca satu menu yang tertulis paling atas. Apa lagi membayangkan rupa dari makanannya? Otaknya langsung panas.
Gadis itu menyerah dengan menu sialan itu. Dia membanting buku besar itu ke meja berlapis taplak putih lalu menampilkan ekspresi sombong untuk menutupi rasa gugup.
"Aku pesan makanan yang paling mahal di sini." Titahnya sok berkelas. Menyeringai pada Edward sebagai betuk kepuasan diri telah berhasil terlihat seperti orang kaya sungguhan.
Pelayan mengulangi pesanan mereka. Lalu, pergi meninggalkan meja setelah tidak ada tambahan pesanan. Lima belas menit kemudian makanan tiba. Rosie menjilat bibirnya, sudah tidak sabar menyantap makanan super mahal di restoran mewah ini.
Ketika piring disajikan di depannya, Rosie terperangah melihat rupa makanan yang tadi dia pesan dengan kesombongan selangit.
Ada sepiring siput atau apapun namanya mahluk menjijikkan yang tersaji di dalam piringnya. Rosie menahan mual karena belum pernah menyaksikan hal menjijikkan luar biasa seperti ini. Apa mungkin ini adalah bagian dari prank Edward? Mana mungkin restoran kelas atas seperti ini menghidangkan siput untuk tamunya?
Tapi, sepertinya ini bukan lelucon Edward. Mana mungkin pemuda itu masih punya keberanian mengerjainya disaat dia sangat membutuhkan maaf Rosie. Jadi
dengan perlahan dan terpaksa, Rosiemengangkat garpu dan pisau di samping piring untuk menyantap hal mengerikan itu."Rosie, kau baik-baik saja?" tanya Edward yang merasakan wajah calon adik tirinya begitu pucat.
"Ah. I-iya...aku b-baik..."
Edward langsung bisa membaca bahwa Rosie sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya gadis itu tidak tahu apa yang telah dia pesan dan menyesalinya. Escargot bukanlah makanan yang familiar bagi kebanyakan orang. Itu enak tentu saja, Edward sudah beberapa kali mencicipinya dan da cukup suka, namun untuk orang awam itu bisa terlihat menjijikkan.
Edward menukar piring Rosie dengan
piringnya. Itu membuat gadis itu kaget sekaligus heran."Itu dari daging sapi. Enak kok." kata Edward tidak menghiraukan kebingungan di wajah gadis remaja itu. Dia yakin beef burguignon pesanannya lebih bisa dinikmati Rosie dari pada bekicot aneh di
depannya.Edward langsung mulai menyantap
makanannya supaya Rosie juga mulaimakan. Dia berlagak seperti hal itu bukan masalah besar agar Rosie tidak merasa malu karena telah salah pesan makanan."Ini, apa nama makanan ini?" tanya Rosie lugu setelah beberapa suapan.
"Itu beef burguignon."
"Be...beef...bur...bur..." Rosie mencoba mengulangi.
"Itu..." Edward berpikir mencari kata
yang tepat untuk menjelaskan tanpa harus menyinggung Rosie."Kari, ini seperti kari sapi." sergah Rosie akhirnya mampu menemukan nama makanan yang ia rasa mirip dengan makanan tersebut.
Dia tersenyum puas dengan penggambarannya sendiri.
"Iya benar. Kau bisa menyebutnya kari sapi ala perancis." Entah kenapa Edward juga tersenyum. Mungkin karena senyum manis nan tulus yang baru pertama kali dia saksikan di wajah cantik calon adikt tirinya.
'Dia benar-benar manis.'
***Sudah jam setengah delapan malam. Mereka akhirnya sampai di depan apartemen Rosie. Tadi Bibi Eliza menelpon karena khawatir, tapi pemuda itu menyakinkan wanita itu kalau ia dan Rosie sedang dalam perjalanan pulang.Rosie dan Edward sedang berlajan
berdampingan menuju pintu depanapartemen. Tidak ada kata yang terucap dari kedua muda-mudi. Masing-masing tengah sibuk tenggelam dalam pikirannya sendiri.Si gadis bermata hazel berhenti. Dia sudah sampai tepat di depan pintu apartemen. Rosie berbalik tapi tak mengatakan apapun.
"Aku mengantarmu sampai sini. Sampaikan salamku pada ibumu. Maaf karena mengajakmu keluar sampai larut."
Rosie hanya mengangguk pelan. Mulut yang biasanya cerewet tak karuan kini seperti terkunci rapat.
"Aku masuk." Rosie berbalik dengan
cepat. Entah kenapa merasa canggungluar biasa. Namun, lengan Edward meraih lengannya kemudian membaliknya untuk kembali bertatapan.''Pemuda tadi, David. Apa dia kekasihmu?"
Manik hazel berkilau diterpa lampu
apartemen membuat Rosie terlihat bak malaikat tanpa sayap. Pancaran keluguan bercampur aura kuat yang selalu dibawa gadis itu sejenak melempar Edward ke khayalan dari relung hati terdalamnya tentang Rosie Wilkins. Khalayalan yang tidak pernah dia sadari sebelumnya telah tercipta dan melekat di dirinya.Gadis itu mendekat. Matanya mengunci pada netra hitam Edward yang kini bergetar.
"Bukan urusanmu! Kenapa kau selalu
mau ikut campur urusan orang sih?!MENYEBALKAN!"Gadis pemarah itu berbalik dan langsung masuk apartemen.
***Sepuluh hari kemudian, acara yangditunggu-tunggu terjadi juga. Pernikahan antara Eliza Wilkins dan Lewis Quin hanya berupa pemberkatan sederhana. Tanpa hiruk pikuk sorotan kamera wartawan, yang harusnya aneh bagi orang seperti Lewis. Karena meskipun seorang pengusaha, tapi keluarga Quin sangat terkenal seantero Indonesia.Setelah prosesi pemberkatan yang khusyuk dan hangat, tamu undangan-jumlahnya tidak lebih dari lima puluh orang berisi keluarga inti dan kerabat dekat-digiring ke restoran bintang lima dekat gereja.
Ayah dan Ibu, masih canggung
menyebut Tuan Quin sebagai Ayah, namun Rosie harus mulai terbiasa. Rosie sibuk menyalami tamu undangan lain, meninggalkannya sendiri di meja bundar utama tempat keluarga inti seharusnya duduk. Gadis yang hari ini terlihat super menawan dengan gaun broken whiteberenda itu meneguk jus jeruk yang secara rahasia ia campur dengan white wine. Dia menyernyit sebentar, menikmati rasa manis, asam, dan sedikit pahit, karena campuran rahasia-mengalir ke tenggorokannya."Rosie."
Yang dipanggil berbalik untuk menemukan Alice berjalan ke arahnya sambil menggandeng, menyeret lebih tepatnya, Edward mendekat. Senyum cerah di wajah
Alice sangat berbeda dengan ekspresidatar yang Edward pasang.Sepasang kekasih duduk di sebelah Rosie tanpa dipersilakan.
"Halo, Kak Alice, Kak Edward." Rosie berdiri sebentar untuk memberi salam lalu duduk kembali. Senyumnya penuh paksaan.
"Halo, Rosie. Kau cantik sekali," puji Alice kagum pada rambut hitam Rosie yang berkilau dan terlihat lembut, juga wajah ber-make up tipis yang justru menonjolkan kecantikan natural gadis itu.
"Tidak. Kau jauh lebih cantik," balas Rosie berbasa-basi. 'Tentu saja aku cantik. Kau pasti buta kalau tidak menyadarinya,' cibir Rosie dalam hati.
"Ah, aku minta maaf untuk kejadian
waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itumemancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanya akting.Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidak
nyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'
Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yang
sangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal."Ah, aku minta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku benar-benar tidak bermaksud..." mata hazel bening itu memancarkan rasa bersalah. Tentu saja itu hanyaakting.Alice meraih tangan calon adik iparnya seraya berkata, "Tidak perlu minta maaf, Rosie. Aku tahu kamu tidak sengaja. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah memaksamu, kau pasti merasa tidaknyaman."Kedua gadis itu saling tersenyum. Tapi dalam hati Youngjae membatin, 'Berhenti bersikap sok baik, Alice. Kau membuatku makin muak!'Rosie membenci Alice meski mereka baru dua kali bertemu. Baiklah, mungkin bukan Alice yang dia benci, melainkan kepribadiannya. Terlalu baik dan ramah pada semua orang, lugu, langsung percaya pada orang baru, bersikap layaknya dunia ini adalah surga. Sikap Alice mengingtkannya pada seseorang yangsangat ia benci. Orang yang harusnya dia singkirkan sejak awal.***Rosie membuka matanya. Masih belum terbiasa dengan ranja
Sudah jam sepuluh malam. Ayah dan Ibunya pasti sudah tidur karena seharian tadi banyak kerabat dari jauh yang datang memberi selamat. Seharian rumah penuh dengan orang yang tidak dia kenal tapi untungnya mereka tahu diri dan pergi tiga jam lalu.Rosie menenteng heels-nya, berjalan membungkuk seperti maling menuju dapur. Saat baru dua hari pindah ke sini, dia menemukan pintu rahasia di halaman belakang dekat dapur yang tidak pernah terkunci. Pintu itu sudah tua dan karatan. Tersembunyi di balik tanaman tinggi menjulang. Jalan rahasia keluar masuk yang sempurna.Saat ia masuk ke area dapur dengan percaya diri karena yakin seribu persen tidak akan ada mahluk lain berkeliaran jam segini, ia malah melihat Edward. Pemuda itu memakai kaos longgar hitam, sedang menuang air putih ke gelas."Rosie?"Sejenak gadis itu membeku. Terkejut."Edward!"' sahutnya tersenyum kikuk."Apa yang kau lakuka
"Ros, berapa lama orang tuamu pergi bulan madu?" Claire berguling ke arah Rosie untukmenatap langsung gadis itu."Seminggu. Ada apa?""Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu."Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis."Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka.""Tidak akan pernah."Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwaRosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rum
"Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."Rosie mendengus murka. Deru nafas cepatmiliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut."Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adeganyang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.***Tidak ada pesta? Tidak ada keluar sampai malam? Harus memberi kabar? Cih! Rosie pastisudah sinting kalau mengikuti maunya Edward. Dia pikir Rosie akan gentar dengan gertak sambal murahan begitu?
"Apa yang kau lakukan?!" pekik gadis itu murka setelah dia mampu bangun dan duduk. Manik hazel miliknya bisa memancarkan laser untuk membor kepala Edwardhingga bolong."Menunjukkan padamu kalau aku tidak main-main.""Sial!" umpat Rosie sembari berusaha bangkit.Tapi, Edward menahannya. Pemuda itu memegangikedua tangan Rosie di atas kepalanya, tubuhn besarnya sendiri melayang di atas gadis itu. Rosie benci tempat ini. Baunya seperti Edward Quin. Aroma mint bercampur dengan, entahlah sesuatu yang manis."Kau akan tidur di sini malam ini. Dan renungkan kesalahanmu supaya mulai besokkau bisa menjadi gadis baik,"Edward selesai bicara, tapi penganggannya di tangan Rosie masih mengungci erat. Dia menunggu Rosie berhenti menggerak-gerakkan tangannya dan menggeliat tak sabar di bawahnya."Kenapa aku harus dikurung di sini?" Rosie masih saja mencari-cari alasan, tak t
Ada sesuatu yang mengganjal. Alice menarik kain hitam dari balik selimut. Sebuahmini dress yang sangat seksi.Gemuruh di hatinya kembali lagi. Lebih dahsyat dari ketika dia menyaksikan Rosie memakai kaos Edward. Pikiran negatif tentang Rosie dan Edward terbentuk di benaknya, membuatnya sedikit marah.Alice bangkit dari kasur, berjalan menghampiri Edward yang sedang mengacak-acak laci meja."Edward, apa ini?" dia mengangkat dress itu.Edward berhenti mencari-cari dan berbalik. Pupil matanya membesar melihat benda yang ada di genggaman kekasihnya. Alice bisa melihat itu, pria itu sedang kaget.Pikiran di benak Alice makin liar. Gadis itu mencoba tetap tenang meski rasanya ingin berteriak."I-tu jangan salah paham, Alice. Semalam terjadisesuatu yang mengharuskan Rosie tidur di sini. Tapi aku tidur di ruang keluarga kok. Kami t-tidak tidur sekamar," Edward berkata deng
"Edward, kapan kau akan menikahi gadis cantik ini? Kalian sudah cukup lama menjalin kasih. Apa lagi yang di tunggu?" canda Bibi Faye disambung dengan kikikan palsu."Edward harus menyelesaikan kuliah dulu. Nanti kalau kami sudah lulus kuliah baruakan membicarakan masalah itu,"Alice kembali bicara sembari meremat genggamaan tangannya dengan Edward."Ya. kami sepakat menyelesaikan pendidikan lebih dulu," jawaban Edward terdengar setengah hati tapi tak ada yang menghiraukan."Betul-betul. Pendidikan itu memang penting. Karena akan menjadi penilaian untuk keluarga calon pasangan kalian nantinya."''Aku setuju denganmu, Kak Marsha. Untung saja Edward pandai memilih calon istri, tidak seperti Ayahnya." perempuan yang dipanggil Bibi Jane melirik Rosie dari sudut matanya dengan sinis.Sejak tadi Rosie sudah muak mendengarkan orbrolan penuh kepalsuan. Tapi kalimat terakhir yang dia de
Setelah kejadian tidak mengenakkan yang menyudutkan anak bungsu mereka, Tuan dan Nyonya Quin memperlakukan Rosie jauh lebih baik. Mereka sangat amat menyesal setelah tahu alasan sebenarnya Rosieberlaku kasar pada orang yang lebih tua, itu semua semata untuk membela ibunya.Nyonya Quin merasa telah jadi ibu yang buruk, jadi dia meminta maaf sambil mengangis memeluk putri kesayangannya beberapa jam setelah meneriaki gadis malang itu.Tuan Lewis juga meyakinkan Rosie untuk mengatakan apapun perasaan yang dia rasa tanpa sungkan. Pria itu tidak mau Rosie merasa terasing atau bahkan merasa bukan bagian dari keluarga ini.Hubungan mereka lebih dekat dan erat berkat kejadian buruk itu. Seperti keluarga normaldan bahagia pada umumnya.Tapi, tidak demikian dengan hubungan Rosie dengan kakak tirinya tersayang. Kedua kakak beradik masih tidak akur. Mungkin mereka terlihat baik-baik saja, tapi keduanya tahu bah