"Larissa!"
"Larissa, keluar kamu!""Larissa!""Ada apa ini?"Seorang wanita berusia 25 tahun menuruni anak tangga dengan gaya anggun. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh tatapan kebencian yang dilayangkan pria di depannya.Sudah biasa. Ya, Larissa sudah terbiasa mendapatkan tatapan seperti itu dari Arjuna Wiratama, sang suami yang menikahinya tiga tahun yang lalu. Belum pernah sekalipun pria itu bersikap lembut padanya, kecuali ketika di depan Alkana, putra semata wayang mereka yang berusia dua setengah tahun. Arjuna senantiasa bersikap dingin dan datar. Memandang Larissa bak seorang musuh yang sangat ingin ia lenyapkan.Larissa sadar, tidak ada yang bisa diharapkan dari pernikahan tanpa cinta, apalagi dirinya yang telah sengaja menjebak Juna agar mau menikahinya. Juna yang awalnya bersikeras menolak, terpaksa menuruti keinginan Larissa yang mengancamnya akan menyebar foto- foto mereka saat di Hotel. Hingga tiga tahun usia pernikahan mereka, kebencian Juna tidak pernah hilang, bahkan setelah Alkana lahir. Kesalahan yang dilakukan Larissa tidak akan bisa Juna maafkan. Terlebih, wanita itulah yang menyebabkan Renata--kekasihnya terluka."Ada apa? Kenapa sampai berteriak seperti itu? Anakmu sedang tidur, Mas. Aku tidak mau dia sampai bangun karena mendengar suara kerasmu itu!" Larissa membalas tatapan juna tanpa rasa gentar sedikitpun. Ingin menegaskan bahwa kemarahan pria itu sama sekali tidak membuatnya takut."Kamu benar-benar keterlaluan, Larissa. Aku tidak pernah menyangka ternyata kamu lebih jahat dari yang aku kira." Kali ini, Juna mengurangi volume suaranya agar tidak terlalu keras. Pria itu takut mengganggu tidur sang putra yang sangat ia sayangi. Meski ia membenci Larissa, tidak lantas membuatnya mengabaikan Alkana. Sang putra adalah satu-satunya alasan mengapa ia masih mempertahankan pernikahan bak neraka. Tidak ingin putranya tumbuh tanpa kasih sayang orang tua yang lengkap, itulah yang selalu ditekankan Juna pada dirinya di saat keinginan untuk bercerai begitu kuat."Bukankah dari dulu kamu sudah tahu kalau aku ini jahat? Lantas kenapa kamu masih mempertanyakan hal itu, hmm?" Larissa mendekat, mengelus rahang Juna yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Dalam jarak yang hanya beberapa inchi saja, Larissa bisa melihat dengan jelas betapa tampannya sang suami. Pun sebaliknya. Juna akui sang istri sangat cantik dan mempesona. Namun, kecantikan tersebut sama sekali tidak mampu meluluhkan hatinya yang sudah tertambat kepada Renata. Hanya wanita itu yang pantas memiliki hati Juna, bukan wanita lain, bahkan Larissa yang berstatus sebagai istrinya."Kamu yang mengirim orang-orang itu untuk mencelakai Renata?"Pertanyaan Juna membuat Larissa ingin tertawa. Sejahat itukah dirinya hingga setiap kejadian buruk yang menimpa Renata langsung dihubungkan dengannya?"Jawab, Larissa! Jangan membuatku bertambah marah." Arjuna makin geram melihat sang istri yang menanggapi pertanyaannya dengan santai. Sama sekali tidak takut atau gentar, padahal nada bicara Juna sarat akan amarah."Memangnya kalau aku jawab bukan aku pelakunya, kamu akan percaya?" Larissa mengurai tawa getir. "Percuma aku mengatakan yang sebenarnya. Toh kamu selalu menganggap aku ini wanita jahat. Jadi, silakan tuduh aku semaumu. Aku tidak akan mengelak ataupun membela diri. Di matamu, Renata adalah wanita sempurna tanpa cela. Tapi kamu lupa bahwa kecantikan fisik tidak menjamin seseorang mempunyai hati yang cantik juga."Larissa mendekat, memangkas jarak hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Arjuna."Tidak ada wanita baik-baik yang menjalin hubungan dengan pria beristri. Kalau Renata-mu sesempurna apa yang kamu katakan, tidak akan ada perselingkuhan di antara kalian," bisiknya yang sukses membuat tubuh Arjuna menegang.Larissa menarik diri dan bergegas kembali ke kamar sang putra. Tidak ingin meladeni Arjuna yang selalu saja memancing pertengkaran di antara mereka. Larissa terlalu lelah untuk berdebat dan untuk kali ini, ia akan membiarkan Arjuna menang dengan menganggap apa yang pria itu tuduhkan adalah benar.Namun, langkah wanita berusia dua puluh lima tahun itu terhenti di undakan tangga ke tiga saat suara Arjuna kembali terdengar di telinganya."Justru kamu yang menjadi orang ketiga di antara kami. Beberapa bulan lagi aku akan menikahi Renata. Dengan atau tanpa persetujuan darimu, aku akan tetap menikahinya."Larissa mematung. Perkataan Arjuna memaksanya kembali mengingat kejadian tujuh tahun yang lalu. Hal yang sama telah ayahnya katakan kepada ibunya. Mengutarakan niat ingin menikahi wanita lain yang ternyata selingkuhan ayahnya.Mata Larissa terpejam. Berusaha menghalau rasa sakit yang kembali menghujam dada. Ia hapus lelehan bening yang mulai keluar dengan gerakan sedikit kasar, sebelum berkata."Silakan. Bukankah hal itu yang kamu inginkan sejak dulu? Bersatu dengan wanita yang kamu cintai dan membuangku sejauh-jauhnya. Aku tidak akan melarang apalagi memohon padamu untuk mengurungkan niat. Lakukan apa pun yang bisa membuatmu puas."Setelahnya, Larissa kembali melangkah menuju kamar sang putra. Satu-satunya tempat yang menjadi pilihan ketika dirinya tengah dilanda kesedihan. Hanya dengan memandang wajah sang putra maka setiap beban hidupnya seperti terangkat. Alkana adalah penguat di kala ia hampir saja menyerah."Jangan pernah tinggalkan Mama ya, Sayang. Jadilah penguat untuk Mama," bisiknya seraya mengecup lembut kening putranya.🍁🍁🍁"Ada apa? Kamu ingin mengatakan soal rencana pernikahanmu dengan suamiku?" tanya Larissa setelah mengambil tempat duduk di depan Renata.Kekasih suaminya meminta untuk bertemu di Cafe yang tidak jauh dari Klinik Kecantikan miliknya. Larissa terpaksa menyetujui meski sebenarnya ia malas berurusan dengan wanita di depannya itu."Ya. Ini tentang Mas Arjuna."Larissa menganggukkan kepala dengan santai. Kedua tangannya bersedekap di atas meja dengan tatapan fokus ke arah Renata."Silakan. Apa yang ingin kamu katakan tentang dia? Kalau soal rencana pernikahan kalian, aku sudah mendengarnya langsung dari Mas Arjuna dan aku memberinya izin untuk menikahimu. Lalu apalagi? Bukankah aku cukup baik dengan mengizinkan suamiku menikahi selingkuhannya?""Kami bukan pasangan selingkuh! Kami sudah menjalin hubungan sejak dulu dan justru Mbak yang hadir menjadi orang ketiga di antara kami."Renata tersinggung mendengar Larissa menyebutnya selingkuhan Arjuna. Tidak. Dalam hal ini bukan dirinya yang menjadi orang ketiga. Justru Larissa yang tiba-tiba hadir dan menjebak Arjuna dengan cara yang sangat keji hingga pria itu terpaksa menikahi wanita di depannya."Oke, maaf. Kamu bukan selingkuhan Mas Arjuna." Larissa mengibaskan tangan dengan santai. "Kamu hanya wanita yang diam-diam masih menjalin hubungan dengannya di belakang istri sahnya. Bukan begitu?"Tangan Renata mengepal. Ingin sekali menampar wajah wanita bermulut pedas di depannya. Namun, sekuat tenaga ia menahan karena ia sadar sedang berada di tempat umum. Renata tidak ingin orang-orang mendengar pembicaraan mereka yang pastinya sangat merugikan dirinya. Statusnya yang hanya sebagai kekasih Arjuna tentu tidak akan mendapatkan pembelaan dari siapapun. Semua orang pasti akan lebih membela sang istri sah tanpa mempedulikan bagaimana pernikahan itu bermula."Jadi, apa yang ingin kamu katakan?" Larissa kembali mengulang pertanyaan. Jengah juga jika harus lebih lama berhadapan dengan wanita selingkuhan suaminya."Aku hanya ingin Mbak mundur. Tolong biarkan kami bersatu. Mas Arjuna memang akan menikahiku, tapi aku tidak ingin menjadi yang kedua. Soal Alkana, Mbak tidak usah khawatir. Aku tidak akan melarang Mas Juna untuk menemui putranya."Larissa menghela napas berat mendengar permintaan Renata. Sebenarnya bisa saja baginya untuk berpisah dengan Arjuna. Hanya saja, tentu tidak semudah itu karena Larissa belum puas membalaskan dendam kepada wanita di depannya. Bukankah akan sangat menyakitkan saat kita tidak bisa bersatu dengan orang yang kita cintai? Dan Larissa ingin Renata merasakan penderitaan itu."Bagaimana? Mbak bersedia mengabulkan permintaanku?" tanya Renata tak sabar.Larissa menatap lekat wajah Renata yang diakuinya sangat cantik. Ia condongkan tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu pada meja. Berbisik di depan wajah Renata, istri dari Arjuna berhasil membuat tubuh Renata menegang."Aku setuju asalkan kamu memenuhi syarat dariku. Kuberikan suamiku dan kamu ... kembalikan papaku."**Bersambung."Ma, kenapa Papa gak datang di hari ulang tahun Rissa?""Ma, siapa wanita dan anak yang bersama Papa?""Papa, jangan pergi!""Papa, jangan tinggalkan Rissa!""Aku mohon, Mas. Jangan tinggalkan kami. Bagaimana aku dan Larissa tanpa kamu?""Maaf, Rumi. Aku tidak bisa bersama kalian lagi.""Tapi kenapa, Mas? Apa kamu lebih memilih perempuan itu daripada istri dan anakmu? Apa karena dia lebih cantik dan kaya hingga kamu tega mengkhianati aku?""Bukan karena itu, Arumi. Jujur saja dia adalah cinta pertamaku. Kini dia sudah bercerai dengan suaminya dan kami kembali dipertemukan. Aku tidak bisa menampik kalau aku masih mencintainya. Wanda tidak ingin menjadi yang kedua dan aku terpaksa harus meninggalkanmu. Sekali lagi maaf. Aku berjanji akan tetap menafkahi kalian meski kita sudah tidak bersama."Larissa menghela napas berat dengan mata terpejam kala ingatannya kembali melayang ke kejadian tujuh tahun yang lalu. Ayahnya pergi meninggalkannya dan sang Mama demi wanita lain. Pramudya sama sek
Juna memijat pelipisnya yang terasa pening. Semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan Larissa yang terlihat berbeda dari biasanya. Sang istri terlihat rapuh. Tidak seperti Larissa yang ia kenal selama ini. Sebenarnya ada apa dengan istrinya? Apakah Larissa pernah mengalami sesuatu yang buruk di masa lalunya?Juna memang tidak pernah bertanya tentang keluarga sang Istri. Bahkan saat mereka menikah pun hanya ada tiga orang yang hadir dari pihak Larissa, termasuk wali hakim yang ditunjuk wanita itu.Ya, Juna baru menyadari ternyata Larissa menggunakan wali hakim saat mereka menikah. Bukan ayah kandung sang istri yang bahkan Juna tidak pernah melihatnya sekalipun. Menikah karena terpaksa ditambah kebenciannya kepada Larissa, membuat Juna tidak peduli akan asal usul keluarga wanita itu. Pun dengan keluarganya yang memang tidak pernah menyetujui pernikahan mereka sejak awal.Kedua orang tua Juna tentu menginginkan putra mereka menikah dengan Renata-- kekasih Arjuna yang berasal dari ke
Luka yang masih basah itu kembali disiram air garam. Larissa merasakan perihnya menusuk hingga ke tulang dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Pramudya. Pria itu masih terlihat bugar di usianya yang sudah berkepala lima. Berbeda jauh dengan mamanya yang terlihat lebih tua dari usia sesungguhnya. Tangan Larissa mengepal. Ini tidak adil bagi mamanya. Pramudya hidup senang dengan bergelimang harta dan didampingi istri yang cantik. Sedangkan Arumi, mamanya menjadi penghuni rumah sakit jiwa akibat ulah orang-orang tidak berperasaan seperti mereka. Lelehan bening yang menerobos keluar hingga mengalir di kedua pipinya ia biarkan. Toh tidak ada yang melihat karena ia sedang menyendiri di taman belakang rumahnya. Sisi rapuh seorang Larissa hanya akan terlihat saat ia sendirian. Sedangkan di hadapan banyak orang, ia akan menjelma menjadi wanita yang tegar dan tangguh, termasuk di hadapan Arjuna. Larissa berdiri sembari memandangi langit malam dengan cahaya bulan. Gaun tidur satin yang ia ken
"Sudah baikan, hmm?"Arjuna mengusap pipi sang kekasih. Tatapan iba ia layangkan ketika melihat Renata yang masih shock setelah kejadian di rumah orang tuanya. Sungguh, Juna tidak pernah menyangka Larissa akan berani bersikap seperti itu di hadapan papa dan mamanya. Ia pikir, Larissa bisa bersikap sopan, tetapi nyatanya malah memperkeruh keadaan. Juna menyesal telah membujuk mamanya untuk mengundang Larissa. Hal itu ia lakukan agar hubungan keduanya membaik. Entahlah, semenjak melihat kerapuhan Larissa malam itu, hatinya sedikit tersentuh. Ia ingin Larissa diterima dengan baik oleh keluarganya, meski pada kenyataannya ia sendiri sering mengabaikan sang istri. "Mas.""Ya?" Lamunan Arjuna buyar mendengar panggilan dari kekasihnya."Aku ... aku ingin pernikahan kita dipercepat. Aku ingin segera menjadi istrimu. Aku tidak mau selamanya hanya menjadi kekasih gelapmu," desak Renata. Kejadian di rumah Arjuna membuatnya merasa direndahkan oleh Larissa. Ia ingin statusnya diperjelas. Ia dan
Arjuna termenung di sofa kamar dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang ke kejadian tadi siang ketika ia memergoki Larissa dengan Pramudya. Arjuna mendengar jelas setiap percakapan mereka. Ia pun melihat tangis keduanya meski Larissa berusaha menutupinya. Sorot kebencian dari sang istri untuk Pramudya makin tergambar jelas. Menambah rasa penasaran tentang hubungan yang terjalin di antara keduanya. Pramudya adalah ayah kandung Larissa.Pengakuan yang meluncur dari mulut pria itu sangat mencengangkan baginya. Selama ini Larissa tidak pernah bercerita tentang keluarga wanita itu, ah ... lebih tepatnya Arjuna sendiri yang tidak pernah bertanya atau mencaritahu. Kebenciannya kepada sang istri telah membutakan hatinya hingga ia menutup mata tentang semua masa lalu wanita itu. Ia ingin menemui Larissa dan meminta penjelasan langsung dari istrinya karena tadi siang, wanita itu pergi begitu saja tanpa mempedulikan pertanyaan darinya. Justru Pramudya-lah yang bercerita bahwa pria itu aya
Larissa menghela napas lega. Akhirnya Wanda pergi dan urung membuat kekacauan lebih jauh di tempat usahanya. Walau bagaimanapun, ia takut pelanggannya merasa terganggu atas kejadian barusan. Meski tidak dipungkiri ada rasa senang karena secara tidak langsung, Wanda telah membenarkan gosip yang beredar tentang dirinya dan Renata, tetap saja Larissa harus menjaga kenyamanan para pelanggannya. Pria yang tadi menyelamatkannya dari tamparan Wanda masih berdiri seperti mencari seseorang. Larissa mendekat untuk mengucapkan terima kasih sekaligus menawarkan bantuan. "Terima kasih Anda sudah menolong saya. Apa ada yang bisa saya bantu?" tawarnya sopan. "Sama-sama. Saya hanya tidak suka ada kekerasan apalagi di tempat umum seperti ini. Saya sedang menunggu Mama yang minta dijemput," terangnya. "Kalau boleh tahu, siapa nama Mama Anda?""Mama saya--""Regan!"Perkataan pria itu terhenti ketika seorang wanita memanggil namanya. Keduanya sontak menoleh ke asal suara. "Itu Mama saya," tunjuknya
"Mamaku berakhir di rumah sakit jiwa!"Kalimat terakhir yang diucapkan Larissa sebelum wanita itu pergi, masih terngiang di telinga Arjuna. Sungguh, kenyataan paling mencengangkan dari semua fakta yang ia dengar dari mulut sang istri. Larissa menanggung bebannya sendirian.Larissa menyembunyikan lukanya dari setiap orang.Larissa membutuhkan dukungan dari seseorang dan ia sebagai suami tidak pernah peduli akan hal itu. Arjuna mendesah. Selama ini ia terlalu sibuk memupuk kebencian kepada istrinya tersebut hingga lupa untuk mencari tahu alasan Larissa menjebaknya. Ia masih ingat kala pagi itu terbangun di kamar hotel dengan seorang perempuan yang berbaring di sebelahnya. Keadaan mereka sama-sama polos. Cukup meyakinkan Arjuna bahwa semalam telah terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan. Arjuna mengira ia seperti itu karena pengaruh alkohol yang ia minum bersama teman-temannya. Awalnya Arjuna mengira Larissa adalah korban atas kekhilafan dirinya. Apalagi setelah melihat tangis wanita i
"Apa yang sedang kamu rencanakan, Mas?"Arjuna menoleh. Pria itu paham jika Larissa terkesan curiga atas kehadirannya di tempat itu. Namun, ia mengabaikan pertanyaan sang istri dan kembali fokus pada ibu mertuanya yang tengah menatapnya bingung. "Maaf, saya baru sempat menjenguk Mama. Tapi saya janji akan sesering mungkin berkunjung ke sini bersama Larissa."Arumi menitikkan air mata. Dengan sigap Larissa menghapus lelehan bening itu di pipi sang Mama. "Mama kok nangis?"Arjuna memperhatikan sang istri yang kini berpindah duduk di samping mamanya. Menyaksikan bagaimana telatennya Larissa menenangkan sang mama dan membisikkan kata-kata penyemangat.Hati Arjuna menghangat saat melihat sisi lain dari istrinya. Larissa tidak seburuk yang ia pikirkan selama ini. Wanita itu begitu menyayangi mamanya meski sang mama belum bisa mengenali Larissa sepenuhnya. Hanya karena dendam dan rasa sakit yang membuat Larissa menjelma menjadi wanita tidak berperasaan. Melakukan segala cara demi membalas