Part 7
"Yang masalah pekerjaan. Sekarang ibu nangis. Dia merasa pengorbanannya sebagai ibu tak dihargai," ujar Mas Herdy.Aku memutar bola mata mendengar ucapan Mas Herdy. Sandiwara apa lagi ini?"Maksud ibu, biar uang gajiku tetap untuk biaya kuliah Devi. Dan kalau bisa kamu cari kerja lagi, Mut.""Astaghfirullah, aku gak bermaksud menyinggung seperti itu, Mas. Aku tahu kok, meski sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kamupun harus ingat kalau kau juga bertanggung jawab menafkahiku bukan hanya keluargamu saja. Aku ini istrimu, Mas. Aku tulang rusuk bukan tulang punggung. Jadi wajar kan kalau misalnya aku minta nafkah dari kamu. Selama lima tahun aku sudah rela berkorban, membantumu, menggantikanmu jadi tulang punggung keluarga, memperbaiki ekonomi keluarga kita.""Kenapa kamu mengungkitnya, apa kamu gak ikhlas?"Braakk, kugebrak meja di hadapanku membuat lelaki itu terkejut."Keterlaluan kamu menilaiku seperti itu, Mas! Kalau aku gak ikhlas, sudah dari dulu aku tak mau kerja jadi TKW. Sekarang, aku cuma ingin istirahat dulu. Aku capek, Mas. Aku lelah hati dan pikiran tapi kalian bahkan kamu sendiri pun tak mau mengerti apa yang kurasakan!"Mas Herdy memijat pelipisnya dan mendesah pelan. "Ah, maaf, aku salah bicara. Bukan maksudku seperti itu, Mut!"Nada suaranya mulai melemah, tapi hatiku sudah terlanjur emosi dengan kata-katanya. Apa selama ini aku masih kurang sabar?"Lima tahun bukan waktu yang sebentar, Mas. Dan selama itu pula aku kehilangan banyak momen kebersamaanku dengan Adinda. Tapi apa yang kudapat sekarang? Aku kehilangannya. Apa kau bisa mengembalikan Adinda ke hadapanku sekarang?"Mas Herdy menatapku, ia menggeleng pelan lalu menunduk."Aku mempercayakan semuanya padamu, tapi kau justru mematahkan harapanku. Sakit, Mas. Di sini," ujarku seraya menunjuk ke ulu hati. "Dan luka kehilangan ini takkan pernah bisa sembuh.""Iya, maafkan aku, Mut.""Dimana perasaanmu sebagai seorang suami? Kamu justru menyuruhku untuk kerja lagi dan kamu juga menuduhku membantah ucapan ibu? Itu sangat keterlaluan!"Mas Herdy mengembuskan nafas panjangnya. Lalu meraih tanganku. "Iya. Maafin aku. Aku sudah salah. Maafin aku, Mut. Aku hanya mendengar ucapan ibu saja tanpa mendengar penjelasan dari kamu dulu. Tolong maafin aku ya."Kutarik tanganku dari genggamannya. Entah kenapa rasanya sudah muak."Nanti aku cari kerja tambahan biar bisa memenuhi kebutuhan kita sekeluarga.""Itu kan memang tugas kamu, Mas. Pokoknya untuk sekarang aku cuma ingin istirahat dulu, menenangkan hati dan pikiran."Lelaki itu menggut-manggut setuju, tapi entah apa yang ada di pikirannya, aku pun tak tahu.Akhirnya kuurungkan niatku untuk pergi ke rumah Santi. Biar besok saja, semoga ada waktu dan tak ada drama lagi seperti ini.***"Begini, Mut. Kemarin, biaya pengurusan jenazah dan pemakaman Adinda pakai uangnya Tantri, karena suamimu gak pegang duit. Kebetulan, ini kan ada uang kematian dari para tetangga, tapi jumlahnya masih kurang banyak kalau buat gantiin uang Tantri," ujar ibu tiba-tiba saat kami menyantap makan sore bersama. Sepertinya ibu sudah melupakan masalah tadi pagi.Ada Mbak Tantri dan Mbak Fitri yang menatapku hati-hati sembari mengunyah makanan. Sedangkan Mas Herdy hanya tertunduk. Tangannya memainkan sendok di piring."Habis berapa, Bu?" tanyaku."Habislah tiga jutaan. Buat beli papan kayu, kain kafan dan tetek bengek lainnya, belum buat bayar tukang gali kuburnya. Terus belanja buat masakin tukang gali kubur. Buat ngasih uang rokok ke Pak Lebe sama beli jajanan. Banyak sekali pengeluarannya, Mut."Aku terdiam untuk beberapa saat."Iya bener Mut, kemarin pakai uang mbak dulu, soalnya si Herdy bilang gak ada uang. Kamu pulang dari LN pasti bawa uang 'kan?" timpal Mbak Tantri kemudian."Maaf ya, sebenarnya kami gak enak bilang ini sama kamu, tapi mau ngomong ke siapa lagi.""Iya, nanti aku ganti uangmu, Mbak. Aku gak mau ada utang atas nama biaya pemakaman Adinda.""Ah, kalau begini ibu jadi lega. Takutnya kamu gak percaya sama ucapan kami," sahut ibu lagi.Aku melirik ke arah Mas Herdy yang tak berani menatapku. Kamu cuma omong kosong saja, Mas, lagi-lagi aku yang diandalkan.Hari kedua mengadakan doa dan tahlil untuk Amanda akhirnya berjalan dengan lancar.***Kami masih saling diam meski berada di satu kamar yang sama. Mata hanya menerawang ke langit-langit kamar, larut dalam pikiran masing-masing. Cukup lama hanya tarikan nafas dan detak jarum jam saja yang terdengar.Entah kenapa tak ada rasa rindu yang menggelora di hati ini pada sosok suami yang kini tengah berbaring di sampingku. Rasa rinduku seolah terkikis begitu saja bersamaan dengan kehilangan Adinda."Maaf ya, kamu jadi harus bayarin Mbak Tantri. Aku memang gak becus jadi suami, uang segitu saja tidak punya.""Baru sadar kamu sekarang, Mas?""Heh?"Aku tersenyum masam melihat ekspresinya. Tetiba ponsel Mas Herdy berdering berkali-kali."Itu ada telepon, kenapa gak diangkat? Siapa tahu penting," ujarku.Mas Herdy beranjak duduk dan mengambil ponsel di nakas. Ia sempat menatapku sejenak, lalu mengangkat panggilan telepon itu."Hallo, iya Mbak Diana. Emmh iya, saya izin libur hari ini, bapak sudah ngizinin. Iya, besok pasti tidak akan lupa. Ya, baiklah. Waalaikum salam."Mas Herdy mematikan panggilan telepon itu. "Dari Irdiana, besok minta diantar ke kampus," tutur Mas Herdy menjelaskan tanpa kuminta.Aku hanya memandangnya sekilas."Kuharap kamu tidak cemburu dengan Irdiana, Mut. Dia cuma anak majikanku. Aku antar jemput dia tiap dia membutuhkan jasaku. Jadi hanya murni pekerjaan, tak lebih dari itu.""Hmmm ...," sahutku malas.Mas Herdy kembali berbaring dan mendekat ke arahku. Ia menatapku dan membelai rambutku pelan meski sudah kutepis beberapa kali."Mut, Mas kangen banget sama kamu. Bisakah--""Aku masih capek, Mas. Biarkan aku istirahat sampai badanku kembali fit," sahutku.***Pagi-pagi sekali Mas Herdy sudah rapi dan wangi. Penampilannya pun tampak parlente. Celana jeans, kemeja lengan panjang yang ditekuk sampai siku, arloji yang melingkar di tangan juga rambut yang klimis karena memakai pomade, aroma parfum pun tak ketinggalan menguar di tubuhnya. Boleh dikata saat ini suamiku memang tampan juga keren. Tapi benarkah ia sama sekali tak punya uang? Hanya menang di penampilan saja?Sungguh, ia sangat berbeda penampilan tak seperti dulu saat dia kerja serabutan. Ternyata lima tahun kutinggalkan, banyak sekali yang berubah."Mas berangkat dulu ya, takut telat," ujar Mas Herdy seraya menyodorkan tangannya untuk kusalami.Aku mengangguk pelan. "Kau gak sarapan?""Tidak, nanti sarapan di jalan saja. Aku berangkat dulu, Mut. Assalamu'alaikum.""Waalaikum salam."Setelah kepergian Mas Herdy, akupun segera bersiap-siap hendak pergi ke rumah Santi.Kuambil tas dan memasukkan buku diary juga tabunganku, tak kutinggalkan barang berhargaku di rumah itu. Aku tak ingin seseorang kembali menggeledah kamar menilik sikap saudara iparku yang begitu lancang."Kamu mau kemana?" tanya ibu mertua saat memergokiku di jalan."Mau pergi dulu sebentar, Bu.""Kamu gimana sih, Mut, suami pergi kamu ikut pergi juga.""Mau cari info kerja," jawabku kemudian cukup bisa menutup mulut ibu mertua.Aku melangkah meninggalkan wanita tua itu, menuju ke kompleks RT sebelah, rumah ibunda Santi.Aku menatap takjub bangunan rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang dulunya bilik kini berganti bangunan berdinding tembok dengan cat warna krem. Desain modern dan tampak elegan. Di depan halaman ditanami aneka tanaman hias."Benar 'kan ini rumah Santi?" aku bertanya-tanya sendiri.Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah, mata kami saling bertatapan sejenak. Ah ternyata benar, itu Bu Eni. Aku menghampirinya dan langsung menyalami tangannya."Mutiara?" sapanya."Iya, Bu."Bu Eni tersenyum dan mempersilakanku masuk. Rupanya, Santi sudah tak ada di rumah, ia pergi cari kerja kemarin siang. Kami mengobrol sejenak mengenai pekerjaanku."Bu, apa ibu tahu sesuatu tentang Adinda selama aku pergi keluar negeri?"Part 8“Bu, apa ibu tahu sesuatu tentang Adinda selama aku pergi keluar negeri?”Bu Eni memandangiku dengan tatapan iba. Lalu menggenggam tanganku sejenak. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Ibu turut berduka dengan kepergian Adinda, Nak. Ibu tahu, pasti ini sangat berat untukmu. Tapi semua sudah terjadi, kamu harus ikhlas, agar Adindamu tenang di surga Allah.”Aku mengangguk, tanpa terasa butiran bening kembali menitik. “Insyaallah aku ikhlas, Bu. Tapi aku ingin tahu penyebab Adinda sampai meninggal. Apa benar Adinda sakit seperti yang suamiku bilang? Atau adakah hal lain yang terjadi?”Bu Eni masih menatapku dan mendengarkan aku bicara.“Apakah selama ini dia tak diurus dengan benar? Beberapa kali aku mendengar selentingan kabar yang membuatku ragu untuk mempercayai suamiku dan keluarganya."“Nak Muti, kalau ibu mengatakan hal yang ibu lihat apa kamu akan percaya? Ibu justru takut kamu akan menilai ibu memfitnah keluargamu,” jawab Bu Eni pelan. Bu Eni menghela nafas dalam-dalam.Aku m
Part 9 Pov Herdy“Mu-mu-tiara, ka-kau pulang?”Sungguh aku tak percaya dengan kepulangan Mutiara yang sangat mendadak. Dia tiba-tiba datang begitu saja tanpa memberitahuku. Apalagi kejadian di rumah tak baik-baik saja. Ia pulang bertepatan dengan kematian Adinda. Gadis kecil yang nakal juga bandel. Itulah laporan yang selalu kuterima dari ibu dan kakak-kakakku. ***Beberapa hari sebelumnya...“Mentang-mentang bukan anakmu jadi gak bisa diatur! Masa Mbak lihat dia lagi ngemis di jalanan. Dih, malu-maluin aja! Suruh diem di tempat Mbak bantu-bantu nyiram tanaman kek malah kagak mau!” sungut Mbak Tantri kesal.Aku menghela nafas berat kala mendengar penuturan Mbak Tantri. Lalu menatap gadis kecil yang tengah ketakutan itu.“Kamu bener kabur dari rumah budhe? Ngapain sampai ngemis di jalan?”“Tidak, Yah, aku disuruh nenek sama budhe,” sahut anak kecil itu dengan gemetaran. Aku hanya mengusap wajah kesal mendengar Adinda justru menuduh neneknya sendiri yang menyuruhnya. Tentu saja ibu d
Part 10“Enggak dong, Sayang. Takkan ada yang berubah kok. Aku akan tetap menyayangi dan mencintaimu.”“Bohong!” pungkasnya dengan bibir cemberut, membuatnya makin terlihat menggemaskan. Ia sedang merajuk rupanya.“Enggak,” sahutku lagi. Kubelai rambutnya sejenak dan merapikannya ke belakang telinga.“Yakin? Kalau begitu buktikan dong!” ketusnya lagi. “Hmmm ... aku harus bagaimana, Sayang?” tanyaku lagi. Dia memandangku seraya menggigit bibir bawahnya. “Jangan pulang dulu, temani aku sampai puas," ujarnya seraya menggelayut manja di lenganku.Aku tampak berpikir, kalau aku tak menuruti permintaannya, ia sudah pasti akan merajuk berhari-hari. Sebenarnya aku bimbang, di rumah ada tahlilan Adinda, tapi demi gadisku tercinta aku mengabaikannya.“Ya, baiklah, aku akan menemanimu. Toh Adinda bukan anak kandungku," jawabku lagi.Dia tersenyum manis dan menggelayut di lenganku. Mobil masih melaju dengan pelan, tujuan yang seharusnya berbelok arah menuju ke rumah Pak Kades, justru aku memacu
Part 11"Maaass, buruaaan!!" Teriakan Irdiana mengagetkanku. Aku tergagap dan langsung memasukkan ponsel ke tas waitsbagku. Aku menoleh, Irdiana dan ketiga temannya sudah berdiri di dekat mobil. Mereka semua membawa tas ransel yang berisi perlengkapan kemping.Aku membuka pintu mobil, mereka semua segera masuk. Aku membantu menaruh ransel mereka di bagasi mobil. Ketiga teman Irdiana terlibat obrolan sendiri."Hey, gak ada yang ketinggalan 'kan?" tanya Irdiana seraya menoleh ke belakang."Tidak ada, Ir, semuanya aman.""Yang lain gimana?""Emmhh ... teman-teman yang lain udah berangkat duluan. Kita akan bertemu di lokasi," sahut salah satu temannya.Irdiana mengangguk mengerti. "Ayo, Mas, jalan!" pungkas Irdiana.Aku mengangguk dan mulai melajukan mobil ke tempat tujuan mereka.Hanya butuh dua setengah jam perjalanan akhirnya sampai di lokasi. Tempat khusus untuk perkemahan sekaligus tempat wisata alam. Karena lokasinya di puncak bukit, udara terasa dingin meski di siang hari. Terben
Part 12“Ternyata kamu di sini, Mut!” seru seseorang mengagetkanku. Wanita itu berjalan menghampiriku dan ikut duduk bersimpuh di samping pusara Adinda. “Kata ibu kamu habis dari rumah? Aku baru saja pulang dan langsung mencarimu.”“Iya, San. Ibu sudah cerita semuanya, aku sudah tahu yang keluargaku lakukan pada Adinda. Ah, aku tak habis pikir kenapa mereka jahat sekali. Tapi gimana ya cari bukti biar bisa jeblosin mereka ke penjara? Aku ingin Mbak Tantri dan Mbak Fitri kena sanksi, lalu Mas Herdy juga ibu mertuaku, si Imas. Aku sakit hati, San. Sakit ...”Santi mengelus pundakku pelan. “Tenangkan hatimu dulu. Tak baik bila hati penuh amarah dan dendam. Kita perlu berpikir jernih untuk menyusun rencana. Kamu tak boleh gegabah. Yang kau hadapi adalah keluarga ular. Sangat berbisa, mereka bisa memutarbalikkan fakta. Bahkan mereka tega menyakiti darah daging sendiri, apalagi kamu yang hanya orang lain?”“Kau benar, Santi. Lalu apa yang harus kulakukan?”“Saranku, untuk sementara ini be
Part 13“Dasar wanita murahan!”Deg! Jantungku berpacu dengan cepat, bisa-bisanya Mas Herdy menghinaku serendah ini. Apalagi di depan ibunya. Benar-benar tak punya hati.“Apa maksudmu mengatakan hal itu, Mas? Kenapa kau berpikir kalau Adinda bukan anakmu? Kenapa? Padahal jelas-jelas hanya kamu satu-satunya pria yang berhubungan denganku!”“Halaah, jangan bohong kau, Mut! Mana ada maling ngaku, ketahuan aja baru mengelak!”“Fitnah apalagi yang kau tujukan padaku, Mas?”“Ini bukan fitnah, tapi kenyataannya begitu! Ada buktinya kenapa aku bilang begini!”“Bukti? Bukti apa?”Dan ... tanpa dinyana, Mas Herdy membeberkan semuanya, bahwa ia mendapatkan berita itu dari saudara-saudara iparnya. Katanya dulu saat aku masih hamil Adinda, aku sering dibonceng pria. Hampir setiap hari. Padahal lelaki itu hanya tukang ojek saat aku jadi buruh cuci di pasar. Aku jadi mengingat Kang Naim, ia selalu mengantarku tanpa mau dibayar, alasannya kasihan karena sama-sama orang susah, ia kasihan melihatku se
Part 14 Pov Herdy“Mut, buka pintunya, aku tahu kamu belum tidur!”Kukepalkan tangan melihat sikap istriku yang mulai membangkang. Dia bukan Mutiara yang dulu. Arrrggghh ...! kesal sekali dibuatnya.Ibu menepuk pudakku dengan pelan, lalu menggeleng. “Ayo ikut ibu!” ujar wanita yang telah melahirkanku itu. Aku mengikuti langkahnya ke rumah ibu. Tampak Devina yang tengah cekikikan di ujung telepon, tengah asyik ngerumpi bersama teman-temannya. Aku menghela nafas dalam-dalam.“Her, kamu jangan terlalu kasar dengan istrimu,” ujar ibu usai menyuguhkan kopi untukku.“Kenapa ibu bicara begitu? Bukankah ibu sudah lihat sendiri bagaimana sikap Mutiara tadi?” pungkasku kesal.“Iya, ibu lihat. Tapi ingat Herdy, tidak semua masalah diselesaikan dengan otot, pikirlah pakai otak," sahut ibu lirih.“Tapi dia sudah berbohong, Bu. Aku sudah tanya sama si Santi, ternyata dia pergi diajak bosnya ke kota. Mau ngapain coba kalau tidak—““Sudah, jangan biarkan prasangkamu mengalahkan kewarasanmu. Mumpung
Part 15Pagi ini aku berhasil melarikan diri dari Mas Herdy. Aku sungguh muak dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah. Kadang marah-marah tak jelas lalu tiba-tiba bersikap lembut. Ah entahlah. Memikirkannya saja membuat kepalaku terasa pusing.Aku berjalan hendak ke rumah Santi. Perempuan itu tersenyum kala aku datang. Kami pun berjalan bersama ke tempat kerja yang baru. Aku tak jadi menitipkan sertifikat dan surat penting lainnya, masih kusimpan sendiri di kamar.Sampai di lokasi, kami langsung bekerja di tempat masing-masing. Rupanya hari ini Pak Arya tidak datang, tak terlihat batang hidungnya dimanapun. Padahal aku ingin meminta izin padanya, inginnya besok tak berangkat kerja lebih dulu, tapi lihat sikon lagi. Meskipun seharusnya tak masalah, karena kami pekerja harian, tapi upah kami dibayarkan tiap dua minggu sekali, itu kata seseorang yang lebih dulu kerja di tempat itu.“Kamu kenapa hari ini ngelamun terus? Ada masalah?” tanya Santi saat makan siang bersama. Ia membagi bekal