Share

Bab 6. Drama ibu mertua

Part 6

Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut."

"Apa maksudmu?"

Mendadak Santi tersenyum. "Tidak apa-apa, Mut, lain waktu kamu main ke rumah ya!" jawabnya.

Aku menoleh ke belakang. Rupanya ada ibu mertuaku yang datang menghampiri.

"Ini Santi, kan? Santi putrinya Bu Eni? Pangling ya, jadi makin cantik!" puji ibu mertuaku.

Santi tersenyum dan menyalami tangan ibu mertua. "Haha makasih ya, Bu. Menantu ibu juga makin cantik, Bu. Maaf baru datang, baru tahu kalau Adinda--"

"Iya, tidak apa-apa, ayo masuk, San."

"Tidak usah, Bu. Sebenarnya aku buru-buru. Nanti siang mau pergi lagi."

"Haha ya sudah, ibu tinggal ke warung dulu," ujar ibu mertua.

Santi mengangguk. Tapi aku masih menatapnya. Keningku berkerut, apa maksud ucapan Santi tadi.

"Hei, jangan bengong melulu!" tepuk Santi di pundakku.

"Tadi maksudmu apa ya, San?" tanyaku lagi.

"Tidak, bukan apa-apa kok."

"San? Apa kau tahu sesuatu tentang kematian anakku?"

"Aku sih tidak tahu pasti, kan aku juga sama sepertimu, jadi TKW."

"Terus apa maksudnya tadi?"

"Ya, aku ikut sedih atas kematian Adinda, Mut. Nggak nyangka aja ya, Adinda berpulang lebih cepat. Memang sih, takdir tak ada yang tahu."

Aku terdiam.

"Mungkin kapan-kapan kau bisa datang ke rumah. Biar ibuku yang cerita," bisiknya di telinga.

Sepertinya aku akan mendapatkan titik terang, semoga saja ibunda Santi tahu sesuatu mengenai Adinda.

"Mut, aku pulang dulu ya. Kamu yang sabaar. Aku tahu, kamu pasti kuat. Semoga kesedihanmu cepat berlalu dan berganti kebahagiaan."

"Iya, makasih ya, San, sudah berkunjung kesini dan menghiburku."

"Oh iya ini ada buah dan kue, Mut," ujar Santi seraya mengambil bungkusan kresek berwarna ungu.

"Makasih ya."

"Maaf ya, Mut, gak bisa nemenin kamu lebih lama. Aku ada urusan, mau cari-cari info kerjaan di kota," sahut Santi.

"Mau merantau lagi?"

"Enggak, cuma di kota sebelah aja yang dekat biar bisa pulang tiap bulan. Ya sudah, kalau ada waktu mainlah ke rumah. Maaf kemarin aku gak ikut takziah."

Aku mengangguk lagi dan tersenyum. Santi pun melenggang pergi.

Santi, dia adalah teman yang mengajakku menjadi TKW. Sejak aku diboyong tinggal di desa ini, hanya dia satu-satunya orang yang dekat denganku. Mau berteman denganku meski keadaan ekonomi kami sulit, dia juga sering membantuku. Santi adalah seorang janda tanpa anak, suaminya meninggal karena kecelakaan, enam tahun silam, dan dia tak pernah ada niatan untuk menikah lagi. Tapi karena adik-adiknya banyak dan masih butuh biaya, ibunya hanya seorang single parrent yang hanya jadi buruh cuci dengan penghasilan tak seberapa. Untuk itulah dia pergi mengadu nasib di luar negeri.

"Muti, kok kamu bengong aja? Santi udah pulang?" tanya ibu mertua, ia datang membawa belanjaan di tukang sayur.

"Iya sudah, Bu. Katanya lagi ada urusan."

"Santi bawa apa tadi?" tanya ibu mertua

"Ini, Bu."

Ibu mertua langsung menyambar kresek ungu itu dan membawanya masuk. "Oh iya Mut, kamu ikut ibu, ada yang ingin ibu tanyakan," ujarnya sambil berjalan.

Mau tak mau aku mengekor di belakangnya.

Ibu menaruh kresek itu di meja, lalu membongkar isinya. Matanya tampak berbinar. Ada jeruk dan juga apel serta satu kotak kue lapis legit.

"Ada apa, Bu? Katanya ibu mau bicara sesuatu?"

Ibu hanya diam seraya merapikan bahan belanjaannya. Wajahnya tampak ditekuk entah kenapa sekembalinya dari warung wajah ibu berubah jadi tak bersahabat.

"Ini kamu pulang cuti kerja apa gimana? Kapan berangkat lagi?"

"Bukan cuti, Bu, tapi masa kontrak kerjaku sudah habis."

"Masa kontrak kerja habis? Gak diperpanjang lagi?"

"Enggak, Bu."

"Makanya kalau kerja itu yang bener, biar kepake terus sama majikan. Ibu pikir kamu hanya cuti kerja saja dan bakal berangkat lagi," celetuk ibu.

"Iya, tapi aku juga gak ingin selamanya jadi pembantu di sana, Bu. Aku ingin di rumah saja, aku juga rindu keluarga, rindu kampung halaman."

"Halaah, rasa rindu itu gak bisa bikin perut kenyang. Kalau kayak gini gimana nanti kalian makan? Tuh rumah aja belum sepenuhnya beres, masih ada yang harus diperbaiki. Masih butuh biaya banyak."

"Bukankah sekarang Mas Herdy juga kerja, Bu?"

Ibu mertuaku menghela nafas panjang lalu menoleh ke arahku.

"Gaji sopir pribadi itu dikit gak sepadan dengan pengeluaran kita. Lagian gaji Herdy itu buat biaya kuliahnya Devi aja masih kurang. Kamu ingat kan Mut, kalau anak lelaki itu tetap milik ibunya? Jadi Herdy masih bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan kami."

"Tapi, Mas Herdy juga seorang suami yang wajib menafkahi istrinya, Bu. Bukan aku yang harus jadi tulang punggung keluarga."

Ibu mertua menatapku tajam, mungkin terkejut karena kali ini aku membantah ucapannya, tak seperti dulu yang terus menerus jadi penurut, bak kerbau yang dicucuk hidungnya.

"Ini kamu yang masak ya, ibu capek. Masak yang banyak. Tantri sama Fitri pasti bentar lagi datang," tukas ibu.

Setelah mengucapkan hal itu, ibu keluar dari pintu samping yang terhubung ke rumahnya.

"***

"Dek, kamu mau kemana?" tanya Mas Herdy.

Aku menoleh sebentar melihat lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya tampak segar karena butiran air itu masih membasahi rambutnya. Sepertinya dia baru mandi setelah enak tidur sampai siang.

"Aku mau ke rumah Santi dulu sebentar, Mas," jawabku singkat.

"Bukankah tadi pagi dia udah kesini? Mau apalagi kamu kesana?" tanyanya dengan kening mengkerut.

"Silaturahmi. Tugasku di rumah sudah selesai, Mas. Masakan sudah siap, bersih-bersih rumah juga sudah. Kalian tinggal makan saja kalau lapar. Jadi biarkan aku pergi sebentar saja."

"Apa kamu gak capek? Lagi pula suasana di rumah lagi berduka kamu malah mau pergi main?"

"Kenapa tak boleh? Semalam saja kau pergi tak ingat waktu."

"Tapi itu kan karena aku kerja, Mut. Aku sudah minta maaf semalam."

Aku mendengus.

"Kita kan sudah lama gak ketemu, apa kamu gak kangen sama aku, Mut? Aku aja kangen sama kamu," ujar Mas Herdy seraya mencium pipiku.

"Ya elaaah, masih siang sudah mesra-mesraan!" celetuk seseorang.

Tetiba Mbak Tantri nyelonong masuk dari pintu depan. Ia langsung memanggil adiknya dan membawanya pergi ke rumah ibu. Entah apa yang mereka bicarakan.

Sungguh, sebenarnya ada yang mengganjal di hati ini, untuk tak percaya pada keluarga suami. Apakah benar ada sesuatu yang mereka sembunyikan?

Aku mengambil tas dan memasukkan handphone ke dalamnya. Hari ini aku harus mendapatkan informasi mengenai Adinda. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, agar aku bisa menentukan sikap selanjutnya.

"Muti, tunggu!!" panggil Mas Herdy. Ia berlari ke arahku yang sudah sampai di jalan.

"Ada apa?"

"Masuk ke rumah sebentar, ada yang ingin mas bicarakan," ujarnya seraya menarik tanganku.

"Ada apa sih, Mas?"

"Tadi ibu negur aku, katanya kamu mbantah ucapan ibu?" tanya Mas Herdy.

"Hah? Mbantah apa?"

"Yang masalah pekerjaan. Sekarang ibu nangis. Dia merasa pengorbanannya sebagai ibu tak dihargai."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status