Share

Bab 5. Sebuah alasan

Part 5

"Mas janji akan langsung pulang cepat, semoga gak ada tugas tambahan dari Pak Kades."

Aku mengangguk. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan. Tapi aku memilih bungkam dan akan menanyakannya lain waktu.

Aku bangkit dan mengikuti langkahnya dari belakang. Tikar sudah digelar di ruang tamu. Sebentar lagi adzan isya berkumandang. Aku melihat Mas Herdy dan Irdiana menuju mobil yang terparkir di halaman samping rumah ibu mertua. Tak lama mobil itu keluar dari halaman dan melaju di jalanan.

Aku kembali masuk menuju dapur, saudara ipar dan ibu mertua tengah berada di sana seraya menyiapkan teh dan juga jamuan orang-orang yang datang nanti.

"Kalian harus baik di depan Muti, jangan seperti tadi. Dia itu pasti bertanya-tanya tentang kematian anaknya. Janganlah membuat curiga. Kita harus menutup rapat-rapat masalah ini."

Deg! Seketika langkahku terhenti mendengar suara itu. Suara dari seorang wanita yang kuhormati.

"Tantri, kamu juga jangan keterlaluan menghina dia. Bagaimanapun dia menantu ibu yang bisa diandalkan."

"Lumbung padi yang subur!" timpal Mbak Tantri.

Terdengar suara tawa dari mereka semua, entah itu cibiran atau ejekan untukku.

"Mut, ngapain berdiri disitu, ayo sini bantuin!" ajak Mbak Fitri yang menyadari kehadiranku.

Mereka tampak canggung saat menyadari aku berada di sana.

"Kalian ngomongin apa, kok ada lumbung padi segala?" tanyaku pura-pura.

"Hahah, ini sebenarnya cita-cita ibu pengin punya lumbung padi yang besar, kalau bisa sekalian buka usaha penggilingan padi, ya kan Bu?"

Ibu mertuaku hanya tersenyum menanggapi ucapan anak sulungnya.

Acara tahlil pun dimulai. Tapi tak ada tanda-tanda Mas Herdy pulang di malam pertama kematian anak kami. Apakah jadi sopir Pak Kades sesibuk itu? Bahkan dia tak menemani maupun menghiburku yang baru balik dari luar negeri.

"Bu, Mut, kami balik dulu ya. Semua sudah selesai, gampang besok kami bantuin lagi," pamit Mbak Tantri dan juga Mbak Fitri. Mereka bersama anak-anaknya pulang membawa bungkusan kresek berisi sisa-sisa cemilan menu hidangan tadi dan juga kresek yang lain berisi baju-bajuku yang mereka pilih. Ke empat anak saudara iparku pun tampak begitu riang gembira, pulang bersama berjalan kaki.

"Ya, besok kalian kesini lagi ya," sahut ibu.

Jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul 10 malam, aku menunggu di ruang tengah kepulangan suamiku. Sementara di luar, para tetangga sudah bubar, hanya lampu yang masih menyala benderang.

"Mut, kamu istirahat saja. Biar ibu yang nunggu Herdy pulang," ucap ibu mertuaku dengan manis.

"Memangnya Mas Herdy biasa pulang malam ya, Bu?"

"Kadang-kadang kalau ada pekerjaan dari Pak Kades."

"Pak Kades padahal tahu kan anak kami sedang meninggal, kenapa tega sekali menyuruh Mas Herdy kerja, bahkan sampai tak ikut tahlilan malam ini?"

"Mungkin kerjaannya penting, Mut. Pak Kades bukan ngurusi kemajuan desa ini saja, soalnya beliau juga punya usaha lain. Herdy mungkin disuruh antar barang kesana," sahut ibu lagi dengan santai. Tak seperti aku yang begitu gelisah.

"Sudah, kamu tidur saja sana, kamu pasti capek, habis menempuh perjalanan jauh. Sisa-sisa ini biar ibu yang beresin."

"Baik, Bu. Aku ke kamar dulu."

Kurebahkan diri di atas kasur. Ingin memejamkan mata tapi tidak terasa kantuk. Justru beban pikiran makin menjadi. Banyak sekali pertanyaan yang berjejalan di kepala.

Kenapa dengan Adinda?

Ada apa dengan Mas Herdy?

Ada apa dengan keluarga suamiku?

Semua masih menjadi teka-teki. Bagaimana aku tahu tentang mereka? Haruskah aku bertanya pada tetangga? Tapi siapa yang bisa dipercaya?

Semakin dipikirkan membuat kepala ini terasa semakin pusing dan berdenyut.

Pukul 23.00 WIB, terdengar suara langkah kaki mendekati kamar. Gagang pintu bergerak naik turun lalu diketuk.

"Mut, kau sudah tidur?" tanya Mas Herdy. "Mut, buka pintunya."

Aku beranjak bangkit dan membuka pintu. Menatap wajah lelaki yang sudah menikahiku dengan kecewa. Dia lebih mementingkan pekerjaan dan orang lain dari pada berkirim doa untuk anak kami.

"Maafin aku, Dek. Tadi dikasih kerjaan sama Pak Kades suruh anterin beliau ke lokasi usahanya," jelas Mas Herdy tanpa kuminta. Entah dia sedang membela diri agar tak disalahkan atau entahlah.

"Apa Pak Kades tidak tahu kalau anak kita meninggal, Mas? Harusnya kan--"

"Beliau tahu kok, makanya dia minta maaf dan meminta waktuku sebentar. Katanya ini sangat penting. Oh iya ini, Pak Kades menitipkan ini buat kita," ujar Mas Herdy seraya menyerahkan amplop cokelat.

"Katanya uang bela sungkawa atas kematian anak kita, beliau belum bisa kesini karena ada urusan penting."

Aku masih diam, rasanya ingin sekali protes, tapi Mas Herdy lebih dulu menyanggahnya.

"Kenapa gak dibuka amplopnya?" ujarnya lagi.

Aku menggeleng. Justru dia yang berinisiatif membuka amplop itu, ia menghitungny, amplop itu berisi lembaran biru sebanyak 20 lembar.

"Lumayan, Mut, ini ada satu juta dari Pak Kades saja," ujar Mas Herdy. "Tadi aku sudah bilang. Kalau besok izin dulu tidak kerja, syukurlah beliau mengizinkan," lanjutnya.

"Ya sudah kamu tidur saja, Mut. Kamu pasti lelah sekali kan?" tanya Mas Herdy.

"Aku tidak bisa tidur, Mas, meski badan ini begitu lelah. Tapi pikiran tak bisa dikompromi."

"Kenapa? Masih memikirkan Adinda?"

"Iya. Kelihatannya kamu tak bersedih sama sekali ya, Mas?"

Mas Herdy menatapku. "Bukan tak bersedih, Mut. Orang tua mana yang tak bersedih kalau anaknya meninggal. Pasti semua orangpun merasakannya. Hanya saja aku berusaha menutupinya dan bersikap biasa saja. Sudahlah, kamu gak perlu berpikir yang tidak-tidak, kenapa pikiranmu jadi sensitif seperti ini?"

"Baik, kalau begitu katakan, kenapa Adinda bisa meninggal?"

Mas Herdy menghirup udara dalam-dalam. "Adinda sakit, Mut."

"Sakit karena kau tak mengurusnya?" tanyaku.

Mas Herdy kembali menatapku.

"Kau boleh marah padaku sepuasnya. Aku memang tidak becus sebagai ayah untuk menjaganya. Maafkan aku."

Lelaki itu kemudian memilih berbaring dan meninggalkanku yang diam terpaku. Mas Herdy sudah berbeda. Ya, kini dia berbeda tak seperti dulu lagi.

***

Pagi-pagi sekali, aku menyapu halaman yang kotor akibat sisa sampah semalam.

"Mut!" panggil sebuah suara. Aku tersenyum saat menyadari wanita itu adalah Santi, temanku yang juga pernah menjadi TKW pada waktu yang bersamaan. Rupanya dia juga sudah pulang juga ke Indonesia, mungkin masa kontrak kerjanya habis, sama sepertiku.

"Kamu apa kabar, Mut? Aku baru tahu kalau kamu pulang, Mut. Aku juga baru tahu kalau anakmu meninggal. Maafin aku ya, Mut. Aku ikut berduka cita atas kepergian Adinda. Kuatkan hatimu ya," ucapnya. Dia langsung memelukku memberi kekuatan.

"Are you okey, Mut?" tanya Santi. Dia menoleh ke kanan dan kiri.

Aku mengangguk dan tersenyum kecil. "Seperti yang kamu lihat, San. Sejak kapan kamu balik, San?" tanyaku.

"Baru 10 hari yang lalu aku pulang. Tapi dua hari kemarin aku main ke tempat saudara, tadi malam baru pulang."

"Ya sudah, ayo masuk! Kita ngobrol di dalam!" ajakku.

Tapi Santi menahan gerakan tanganku. "Aku ikut sedih atas apa yang menimpa Adinda, Mut."

"Apa maksudmu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status