Tringg!
Suara gelas dipukul sendok. Ara tengah mempersiapkan makan malam untuk menyambut kepulangan Fery sehabis kerja. Rasa gembira terpancar dari raut wajahnya.“Ini hari anniversary pernikahanku dan mas Fery yang ke-2, semoga aja dia suka,” ucapnya seraya mengecek kembali semua persiapan supaya tak ada yang kurang mengingat bahwa ini adalah acara makan malam spesial.Akhir pekan biasanya Fery sudah pulang lebih awal, mungkin sekitar pukul delapan malam suaminya akan segera tiba. Makanan tersaji dengan rapih di meja, terlihat nuansa romantis yang tercipta dari lilin yang berjejer.“Tiga puluh menit lagi Mas Fery pulang, sebaiknya aku mandi dulu biar wangi,” gumamnya sembari berlari ke kamar.Setelah selesai mandi, sengaja ara hanya memakai nightdress tanpa lengan setinggi lutut. Karena pakaian seksi itu, tercetak bulat bagian dadanya membusung. Farfum pun disemprot ke sekujur tubuh.Dengan santai, Ara menyetel televisi menunggu kedatangan Fery disana.***Hari ini Fery memang pulang lebih awal, ia mencegat taksi sebab tidak membawa mobil karena tadi pagi mendadak mogok sebelum pergi.“Mau ke mana, Pak?” tanya Pak Sopir.Setelah Fery menyebutkan alamat rumahnya, sang sopir langsung melaju menuju tujuan.Namun, ketika di perjalanan, Fery menghentikan sang sopir, ia merasa lupa sesuatu. Ya, dirinya lupa bahwa hari ini adalah peringatan hari jadi pernikahan yang ke-2. Fery meminta sang sopir memutar arah menuju mall terbesar di Jakarta ingin membeli hadiah untuk Ara.“Beli apa, ya, buat Ara? Pasti sekarang dia lagi nungguin di rumah,” gumam Fery.Ia menilik-nilik tiap barang di setiap toko. Lelaki itu ingin memberikan hadiah spesial pada istrinya. Matanya menyapu setiap sudut tempat dengan teliti dan terhenti ketika netranya tertuju pada sebuah toko perhiasan branded yang pasti harganya selangit.Namun, bukan hal besar bagi Fery mengeluarkan banyak uang selama Ara senang. Meskipun sebenarnya Ara tidak pernah menuntut untuk dibelikan barang-barang mahal seperti wanita lain.“Selamat malam,” sapa ramah dari pramuniaga yang menjaga toko perhiasan tersebut, tidak lupa senyum pun tersungging dari bibirnya.Fery menyahuti sapaan tersebut kemudian melihat-lihat etalase yang terpajang di setiap sudut toko.“Apa ada yang anda butuhkan?” tanya seorang pramuniaga lelaki pada Fery ketika dirinya sedang melihat-lihat etalase berisi kalung.“Saya sedang cari kalung untuk istri saya, kebetulan rencananya ini untuk hadiah pernikahan kami,” terang Fery masih bingung harus memilih yang mana. Ia tak terlalu hafal model apa yang Ara suka.Terlihat sang pramuniaga mengambil satu kalung yang diambil dari etalase. Tampak begitu berkilau dengan liontin permata dibalut emas putih.“Yang ini desain baru, bisa dilihat dulu,”Fery memandang benda berkilau tersebut dengan teliti, dirinya tidak tahu apa bedanya. Bagi Fery, semua yang terpajang terlihat bagus saja.“Ini perbedaannya apa, ya dengan yang lain?” tanya Fery.“Yang ini, edisi terbatas. Didesain langsung oleh desainer Eropa terkenal, hanya ada empat di dunia,” paparnya.Fery mengangguk, tanpa pikir panjang lagi ia putuskan untuk membelinya.Seusai dari toko perhiasan, Fery juga sempat mampir ke toko bunga dan membeli buket mawar merah untuk Ara. Dirasa sudah lengkap, segera Fery kembali naik taksi yang tadi dan bergegas pulang. Ia tersenyum sendiri kala bayangan wajah Ara seolah menari-nari di pikiran.Fery melirik jam tangan, waktu masih menunjukan pukul delapan lewat dua puluh. Perjalanan kini terasa lama, ada rasa rindu tiba-tiba menyerang hati.‘Apa, sih? Kayak orang baru pacaran aja!’ batinnya seraya mengulum senyum.Sang sopir sesekali melirik dari cermin, memperhatikan penumpangnya tanpa kata. Mungkin penumpangnya akan melakukan acara lamaran, pikir si sopir kala melihat Fery memegang buket bunga merah cukup besar.Di perjalanan, Fery melihat ke arah luar jendela kaca mobil, di area Bar. Netranya tertuju pada seorang wanita yang tampak tidak asing. Ia menilik-nilik dengan cermat kemudian menyadari bahwa itu adalah Ria, mantan kekasihnya. Fery berusaha memalingkan wajah tidak ingin rasanya Ia melihat sosok Ria dan menyuruh sopir taksi untuk mempercepat laju kendaraan.Namun, tiba-tiba Fery meminta menghentikan kendaraan sang sopir tidak jauh setelah melewati Bar tersebut. Entah mengapa lelaki itu melakukannya. Fery turun dari mobil dan pergi begitu saja tanpa menghiraukan sang sopir yang memanggil.***“Hey, mau kemana, cantik? Kita, kan belum senang-senang,” goda pria bertato, tangannya menggapai Ria dan menarik paksa.“Apa, sih, lo? Gue kenal juga nggak!” sanggah Ria menepis tangan lelaki itu.“Kalo gitu, kenalan dulu, dong. Kamu Siapa?” Pria itu mendekati Ria dengan tatapan garang.“Nggak! Apa-apaan, sih! Gak usah deket-deket!” Ria mendorong pria tersebut secara kasar.“Yaelah, jangan sok jual mahal, kali!” balasnya seraya kembali menarik lengan Ria.Bahkan lelaki bertato itu berusaha memeluknya, lalu membekap mulut Ria agar tidak berteriak.“Ikut, yuk. Kita buat pesta,” bisiknya seraya menyeret Ria ke gang sempit yang sepi.Ria meronta, tetapi wanita itu kalah kuat. Seretannya berhenti kala gang tersebut menemui titik buntu.“Tolong!” teriak Ria, tubuhnya gemetar.Lelaki itu malah tersenyum licik, lalu membuka gesper yang terpasang pada celana seolah sudah siap melecehkan Ria yang meringsut di pojokan.“Jangaan! Kumohon!” teriak Ria histeris.Niat buruk si lelaki ternyata berhasil digagalkan oleh seseorang yang tiba-tiba datang. Bahkan, si lelaki bertato itu habis dihajar olehnya, hingga meminta ampun.Setelah itu, si lelaki bertato pun lari terbirit-birit meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan Ria masih meringsut ketakutan, dirinya menyilangkan tangan memeluk diri.“Enggak apa-apa. Dia sudah pergi,” ucap pria itu berjongkok dihadapan Ria.Sesaat Ria terdiam, dirinya merasa sangat familier dengan suara itu. Setelah mengumpulkan keberaniannya, Ria mendongak melihat siapa yang menolongnya.“Fe-fery?” Ria termangu, lalu memeluk lelaki berstatus mantan itu dengan tangis besar.Ya, Fery menolongnya. Lelaki itu berubah pikiran.Sebenarnya, Fery risi dengan pelukan Ria. Dirinya mencoba melepas pelukannya pelan-pelan.“Sudah, ayo pulang,” ajak Fery sambil membantu Ria berdiri.Ria berdiri terhuyung, dengan sigap Fery menangkap tubuhnya yang akan jatuh, lalu memapah hingga jalan raya dan mencegat taksi untuknya.“Fery, tolong temani aku,” bujuk Ria dengan ekspresi memohon.“Maaf, tidak bisa.” Fery langsung menolak.“Pliiis! Paling tidak, temani sampai aku tenang. Aku takut sendirian,” sambungnya.Wajah memelas Ria berhasil membuat Fery iba padanya. Lelaki itu memutuskan untuk ikut masuk ke dalam taksi. Ia memikirkan Ara selama perjalanan, dirinya tahu kini tengah melakukan kesalahan. Namun, entah kenapa Fery tidak bisa membiarkan Ria begitu saja setelah dirinya melihat apa yang baru saja terjadi padanya.***Sementara di rumah, Ara masih menunggu di ruang televisi tanpa ber-prasangka buruk pada Fery. Karena kedinginan, Ara akhirnya mengganti pakaiannya yang sexy dengan piyama panjang.“Mas Fery kemana, sih? Belum pulang, juga,” gerutunya agak kesal.“Emh sabar, Ra. Mungkin Mas Fery lagi siapin kejutan buat kamu, kayak tahun lalu,” gumamnya berusaha berpikir positif.Ara kembali selonjoran di sofa tanpa tahu bahwa kini suaminya tengah bersama Ria. Jika ia mengetahuinya, entah apa yang akan terjadi pada Fery.Taksi yang dikendarai Fery dan Ria telah sampai di depan halaman rumah Ria. Setelah membayar si sopir, keduanya turun.“Sampe sini saja, ya,” ucap Fery celingukan takut ada yang melihat, nanti malah jadi bahan gosip lagi seperti sebelumnya.Namun, Ria malah menggelayut di lengan Fery. Dengan adanya kejadian tadi, Ria memiliki kesempatan untuk mendekati Fery kembali, wanita itu tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini, Ria pun kini bersiasat lain.“Fery, sebentar saja, kumohon ....” Ria memohon.“Jangan begini! Nanti di lihat orang gimana?” Fery berusaha melepaskan tangan Ria.“Aku takut sendirian.”Fery terdiam.“Maaf gak bisa, istriku sudah menunggu di rumah,” ucap Fery menekankan.“Aku gak bisa sendirian sekarang, Fery.” Ria malah memeluk Fery tanpa rasa malu.Fery melihat sekeliling lagi, lau dirinya berusaha melepaskan pelukan Ria, tetapi sulit.“Ya sudah! Cuma 5 menit, sekarang lepas!” dengkus Fery kesal. Terpaksa ia menuruti permintaan Ria agar bisa lepas dari pelukan Ria.Benar
Ara terbangun di pagi hari, hidungnya mencium aroma enak menyeruak menggugah selera, ia melirik ke samping tidak mendapati Fery.“Pasti dia lagi masak,” gumamnya seraya mengulum senyum.Setelah mengenakan cardigan yang diambil dari lemari, Ara pun turun ke lantai bawah menuju area dapur.“Emhh, imutnya suamiku pake celemek kayak gini.” Ara memeluk Fery yang tengah sibuk mempersiapkan makanan.“Udah bangun? Cuci muka belum, nih?” Fery sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia memandang ke samping tepat pada wajah Ara yang menggantung di bahu kekarnya.“Belum, mau liat kamu dulu.” Ara makin erat memeluk Fery. Entah mengapa, pagi itu Ara terasa ingin terus bermanja-manja pada Fery.“Eiihh jorok, cuci muka dulu, gih! Nanti kita sarapan bareng. Ayo cepetan. Ini udah selesai kok.”“Hmm, iya sebentar.” Ara masih enggan melepas pelukan.Hangat terasa pada tubuhnya membuat Ara nyaman dan masih ingin memeluk Fery, bahkan sesekali Ara menghirup aroma khas suaminya itu.“Emh, ayo. Tadi malam, kan sud
Ara menekuk lutut di sofa ruang tamu. Ia tak berani membuka pintu karena takut dengan kiriman menyeramkan itu.Tak lama terdengar deru mobil di halaman. Itu pasti Fery! Ara pun berdiri, melangkah cepat menuju jendela. Saat mengintip di celah gorden, ternyata iya itu adalah mobil suaminya.“Mas Fery, akhirnya kamu pulang juga,” gumamnya pelan. Bibir Ara semringah, hatinya merasa lega.Setidaknya ketakutan itu berkurang sekarang.“Sayang.” Fery turun dari mobil dengan Vina terburu-buru.Mata mereka langsung tertuju pada kotak di teras, juga kelopak bunga yang berserakan di lantai tak jauh dari kain kumal, persis seperti apa yang Ara laporkan.“Mas!” Ara membuka pintu dan menunjuk ke lantai.Vina menganga di tempat usai melihatnya dengan mata kepala sendiri.“Ini cuma orang jahil aja, Ra. Lihat, deh. Yang kata kamu darah, bukan kok. Cuma pewarna aja,” jelas Fery sambil meraih kain itu.Bibirnya tersenyum simpul. Sedangkan Ara memiringkan bibir, merasa jijik melihat suaminya main pegang-p
Ara setengah kaget dengan kedatangan Fery ke kamar secara tiba-tiba tanpa suara. Ia terlonjak.“Maaf, Sayang. Kamu kaget, ya?” Fery melompat naik ke atas ranjang sembari tertawa.“Kamu dari mana, sih, Mas? Lama banget.” Bibir Ara mengerucut lucu. Membuat Fery gemas bukan main.“Habis buang yang tadi. Jauh,” jawabnya singkat. Fery mendekat pada Ara.Cup!Fery pun malah mencium bibir ranum Ara tanpa izin dari pemiliknya. Membuat pipi wanita itu memanas merah muda.“Dih, Mas. Main cium dadakan aja.” Ara merasa geli, tapi ia suka dengan perlakuan hangat Fery.Fery menyunggingkan senyum lebar, ia menarik Ara ke tengah ranjang.“Mas, ngapain ih, geli,” cegah Ara menarik diri.“Kamu kira ngapain lagi, ya mau bikin anak, lah. Siapa tahu kali ini berhasil,” bisik Fery mengedip mata nakal.“Ini baru jam berapa, Mas. Kalau ada orang bertamu gimana?” Ara meringsut mundur, tetapi ia masih belum bisa menghentikan kenakalan suaminya.“Siapa emangnya yang bakal datang ke sini jam segini, hm?”Fery ta
Ara masih melamun di atas bed besar yang ada di kamarnya. Matanya sesekali melirik foto yang sebelumnya sudah ia remas-remas. Keraguan tumbuh di hatinya pada Fery yang begitu ia cintai.Inginnya menghubungi Fery dan menanyakan perihal foto itu, tetapi ia akhirnya berusaha menenangkan diri dan akan menanyakan langsung nanti sepulang kerja.“Apa iya kamu mengkhianati aku, mas?” tanyanya yang entah untuk keberapa kalinya itu. Ara menatap bingkai foto pernikahannya kosong. Seketika gambar pada bingkai seolah berubah menjadi foto Fery bersama Ria.Prank ...!Ara membanting foto tersebut hingga pecah menjadi beberapa bagian. Tampak berserakan di dekat nakas samping bed. Sesaat di mata Ara, foto itu kembali menjadi wajah dirinya dan fery, Ara mengapit kepala dengan kedua tangannya. Ia terlihat frustrasi.Tring ...!Ponsel yang ada di atas ranjang pun berdering singkat, tanda notifikasi pesan masuk. Ara melirik kaget seakan baru disadarkan dari pikirannya yang kalut. Ia pun segera meraih bend
Fery memijat pelipis dengan jari, merasakan pusing sebab banyaknya pekerjaan yang belum juga selesai. Tiba-tiba saja sekretarisnya mengabarkan informasi tentang adanya masalah dalam proyek baru Fery dan mengharuskannyamengurus semua saat itu juga.“Padahal kepengen cepet pulang. Ampun, deh!”Sesaat teringat Ara, ia pun mengambil ponsel berniat menghubunginya sekadar melepas kangen. Lelaki itu benar-benar kasmaran pada istrinya. Seolah masih pengantin baru saja.‘Panggilan di alihkan ....’Fery heran, tidak biasanya Ara mengalihkan panggilan.“Pak, ada wanita yang ingin bertemu,” ucap sekretaris Fery setelah mengetuk pintu ruangan dan masuk.“striku?” tanya Fery seraya bangkit dari kursi. Bibirnya sudah semringah saja.“Bukan, Pak. Tapi ....” Ucapannya terpotong kala seseorang menerobos masuk tanpa permisi.Senyum Fery langsung pudar begitu saja.“Hai, Fery ... duh, sekretarismu ini rese! Mau masuk nggak boleh, biasanya juga aku sering kesini, kan?” cerocosnya.Ria yang datang ternyata
‘Beginikah rasanya dikhianati?’ batin Ara. Air matanya terus jatuh dan sulit sekali untuk dihentikan.Setelah memergoki suaminya tengah bermesraan dengan Ria yang ia sebut sebagai perusak rumah tangga orang, hatinya bagai dihujam ribuan jarum tajam. Sangat menyakitkan.Wanita itu kini sibuk memasukkan pakaian dan barang-barang pribadinya ke dalam koper tanpa mempedulikan gedoran pintu disertai panggilan Fery dari luar kamar.“Ara! Buka dulu, kita bisa bicarakan baik-baik,” bujuk Fery penuh sesal.“Ra ...!”“Maaf, mas khilaf. Ara, tolong maafkan sekali saja,” pinta Fery. Gedoran di pintu pun mulai melemah.“Sayang, mas sangat menyesal. Tolong, bicaralah. Tidak apa kalau kamu tidak mau melihat mas, tapi setidaknya bicaralah, sayang.”Fery masih membujuk istrinya dengan putus asa. Ia tahu, meski semua terasa sia-sia, setidaknya dengan terus mencoba bicara dari hati akan sedikit didengar Ara walau wanita itu tak menyahuti barang sedikit saja.“Mas tidak pernah berniat mengkhianati kamu, S
Fery benar-benar mengikuti taksi yang ditumpangi Ara hingga sampai. Setelah Ara turun dan berjalan masuk ke gang menuju rumahnya sambil membawa koper, Fery langsung ikut turun dan berjalan perlahan di belakang Ara.Sunyi, hanya suara langkah kaki sendiri saja yang terdengar. Ara berada di depannya dengan jarak sekitar sepuluh meter. Fery terus memandang punggung Ara lurus.‘Ara ...,’ batin Fery begitu sedih.Terlihat Ara berhenti sejenak. Wanita itu menyentuh tumit kaki yang mungkin sedikit pegal.‘Dia memang ceroboh, ke kampung pakai high heels. Udah tahu jalannya jelek.’Ternyata bukan hanya pegal, tapi tumitnya sedikit lecet. Ara berjongkok memeriksa kaki sebelahnya lagi. Sama, keduanya sedikit lecet dan membuat perih di kaki.“Apakah sakit di hatiku belum cukup? Aku sudah merasa sakit yang tidak tertahankan. Sekarang, fisikku juga ikut terluka? Nasib macam apa ini?” gumamnya merutuk sembari menatap rembulan di atas langit.Ara kembali mengeluarkan air mata sembari mengipas-ngipas