4 tahun lalu
“Eh! Lo yang namanya Jaya?!” Seorang lelaki dari SMA sebelah bernama Ridho datang menghampiriku ketika jam sekolah telah berakhir. Sambil petantang-petenteng, Ridho tersenyum kecut dan memberikan tatapan seolah menantang.
“Iya. Kenapa? Lo dari SMA sebelah yang mau balasin dendam anak-anak buah lo?” Aku yang tadinya berdiri di depan gerbang sekolah pun melangkah maju lebih dekat di hadapan Ridho. Aku sama sekali tak takut dengan gelagat yang lelaki ini tunjukkan.
“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngebantai temen-temen gua. Udah merasa kuat lo?!” Ridho menatap tajam padaku dengan wajah beringasnya.
“Kenapa? Lo juga mau gue bantai habis-habisan di sini? Jangan mentang-mentang lo bawa temen sekompi kayak gini gue bakalan takut sama lo. Gue nggak akan mundur!” Aku balik menatap Ridho dengan beringas. Menyeringai.
Di belakang Ridho, sudah ada sekompi pasukan yang siap bertempur m
“Wooooo! Gue lulus!” Risna terpekik kegirangan ketika namanya tertera pada sebuah surat kabar kelulusan SMA. Ia meloncat-loncat kegirangan sembari memutar-mutar secarik kertas di tangannya.Perasaan berdebarnya terbayarkan sudah karena mengetahui dirinya lulus dari Sekolah Menengah Akhir. Begitu pun denganku yang sama girangnya, berekspresi hanya dengan mengangkat tangan kanan yang terkepal.Dengan hanya melihatnya bahagia saja, sudah mampu memahat sebuah senyum di wajahku. “Segitu senengnya, ya?”Risna menghentikan aktivitasnya. “Ya, iyalah! Setelah ini kita bakal masuk universitas! Elo gimana? Lulus, nggak?”“Luluslah. Kan, kita tiap hari belajar terus bareng-bareng.”“Asyik! Sini, gue corat-coret baju lo terus tanda tangan!”“Di mana? Di punggung aja kali, ya?”“Jangan! Di depan aja!” Risna kemudian mengeluarkan sebuah spidol di dalam tasnya. Ia men
“Wooooo! Gue lulus!” Risna terpekik kegirangan ketika namanya tertera pada sebuah surat kabar kelulusan SMA. Ia meloncat-loncat kegirangan sembari memutar-mutar secarik kertas di tangannya.Perasaan berdebarnya terbayarkan sudah karena mengetahui dirinya lulus dari Sekolah Menengah Akhir. Begitu pun denganku yang sama girangnya, berekspresi hanya dengan mengangkat tangan kanan yang terkepal.Dengan hanya melihatnya bahagia saja, sudah mampu memahat sebuah senyum di wajahku. “Segitu senengnya, ya?”Risna menghentikan aktivitasnya. “Ya, iyalah! Setelah ini kita bakal masuk universitas! Elo gimana? Lulus, nggak?”“Luluslah. Kan, kita tiap hari belajar terus bareng-bareng.”“Asyik! Sini, gue corat-coret baju lo terus tanda tangan!”“Di mana? Di punggung aja kali, ya?”“Jangan! Di depan aja!” Risna kemudian mengeluarkan sebuah spidol di dalam tasnya. Ia men
“Sayang! Kamu, kok, ngelamun aja dari tadi? Dimakan dong baksonya.” Risna menarikku keluar dari fantasi kenangan beberapa tahun yang lalu.“I-iya.”Aku merasa hubunganku dengan Risna begitu aneh. Setelah lama kami menjalin hubungan pertemanan, kini kami diharuskan terbiasa untuk menjalani hari-hari yang dramatis dalam nuansa percintaan. Aku takut jika pada akhirnya asmara yang terjalin di antara kami berakhir tidak seperti yang diharapkan. Jika hal itu terjadi, apakah hubungan pertemanan kami akan dilanjutkan?Tentu saja perihal cinta yang tidak berjalan sesuai keinginan akan membuat kami tenggelam dalam kecanggungan. Maka, tidak ada yang bisa diubah lagi. Sudah terlambat sebab Risna telah merasakan apa yang pernah kurasakan dulu.Memiliki orang yang begitu cinta dan perhatian padaku memang adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup ini. Namun, cinta itu kadang membingungkan. Bahkan meskipun diriku mengaku ahli dalam perihal romansa,
“Lo emang nggak pernah ngertiin gue!”“Apa?! Gue nggak pernah ngertiin lo? Maksud lo apa, Sya?! Saat lo lagi sibuk sama temen-temen lo, apa gue pernah nyalahin lo? Apa gue pernah larang-larang lo? Lagian, gue selalu ngasih apa pun yang elo mau.” Sorot mataku menatap tajam pada seorang perempuan bernama Tasya, sang pujaan hati.Aku dan Tasya sudah menjalin hubungan semenjak tiga tahun yang lalu, tepatnya saat kami baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas, yang mana pada saat itu Tasya dirundung sebuah nestapa. Ibunya meninggal. Ya, dan akulah satu-satunya orang yang menyelamatkan Tasya dari neraka bernama kesepian.Sejak saat itu juga, Tasya selalu menggunakan bahuku untuk menyandarkan kepalanya di saat dia mengalami masalah yang menghancurkan hatinya. Kami berbagi kasih dan sayang. Juga berbagi kesedihan.“Bukan itu maksud gue, Jaya! Bukan itu! Gua tahu kalau lo selalu pengertian sama gue.” Tasya menggeleng pelan. Jel
Sekian bulan berlalu semenjak hari di saat aku bertengkar hebat dengan Tasya. Aku tidak pernah mendengar kabar lagi darinya. Semua pesan yang kukirim dari berbagai media sosial diabaikan olehnya. Begitu pun jika aku mencoba untuk meneleponnya. Tidak digubris sama sekali.Tak dimungkiri, aku menjadi lelaki yang amat sangat kesepian. Aku merasa kehilangan sosoknya yang selalu menghiburku saat pikiran begitu lelah dengan berbagai masalah. Kini, tiada lagi senyuman itu menghiasi hari-hariku.“Eh! Kenapa lo ngelamun?” Seorang lelaki tiba-tiba menarikku dari dunia imaji.“Nggak kenapa-kenapa. Gue ngantuk, mau tidur!” Kuletakkan ponsel di atas nakas, lalu membaringkan badan, memeluk guling.“Eh, eh, eh! Jangan tidur dulu, Jay! Gue mau curhat sama lo. Bentar aja!” Tio menyatukan kedua tangan, memohon.“Curhat soal apaan?” tanyaku, tanpa mengubah posisi.“Gue lagi jatuh cinta, Jay.”A
“Jay! Kenapa lo ngelamun gitu? Ntar kesurupan setan lo!” Tio baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengelap rambutnya yang basah karena sehabis mandi.“Nggak ada. Gue pengin ngelamun aja, sih.”“Jay!” Tio duduk di atas ranjang, sementara aku tidur telentang menghadapkan wajah ke langit-langit. “Kalau lo ada masalah, cerita sama gue. Lo, kan, udah bantuin gue juga deket sama si Tasya.” Tio tersenyum meyakinkan.Sangat menyebalkan sebenarnya bila mendengar nama Tasya dari mulut Tio. Meskipun dia teman ataupun sahabatku, tetapi tetap saja bila melihat Tasya bersama dengannya, aku ingin sekali berteriak dan memaki mereka berdua. Sangat kejam memang. Terlebih lagi, walau Tasya tahu kini aku adalah sahabat Tio, aku yakin sekali bahwa ia tidak akan pernah berhenti. Ia akan menyiksaku secara terus-menerus dengan cara seperti ini.Sebab ini merupakan kesempatan baginya untuk membalaskan dendam sakit hatinya. Aku tak
Aku menghela napas gusar untuk kesekian kalinya. Dengan wajah kusut dan kepala dipenuhi pikiran kacau tentang Tasya dan Tio. Sejak sejam yang lalu, aku hanya menatap layar smartphone, melihat berbagai status penghuni media sosial. Kugestur ke bawah, memberikan tanda jempol, dan begitu seterusnya hingga berhenti ketika mendengar ketukan pintu dari ruang tamu. Aku berjalan gontai dan membuka pintu. Setelah melihat siapa yang datang, aku tertegun dan membelalak.Sebetulnya, kalian pun bisa menebak siapa yang datang karena wajahku pasti sudah memberikan jawabannya. Sepertinya, aku memang harus terbiasa dengan kehadiran Tasya di dunia yang sudah berubah di mana aku hanya tokoh figuran ini. Dia untuk orang lain, bukan untukku. Karena memang seperti itulah kenyataannya.“T-Tasya?” Cukup senang sebenarnya melihat Tasya datang ke kost lagi hingga jantungku pun berontak. “L-lo tumben. Ada—““Gue nggak dateng buat lo! T
“APA?! Lo bilang gitu sama Tasya?!”“Gue nggak punya cara selain itu, Na. Gue nggak mau persahabatan gue sama Tio berantakan cuma gara-gara gue masih sayang sama Tasya. Toh, perasaan gue ke Tasya juga udah nggak berguna. Dia udah benci banget sama gue sebelum gue ngucapin kata-kata ngeri itu ke dia.”“Bodoh! Bener-bener bodoh, Jay! Dari mana, sih, keyakinan lo itu kalau Tasya benci banget sama lo?!”“Ya ... coba aja lo tanya ke dia. Pasti dia bilang gue cowok paling dia benci di dunia, bahkan sealam semesta.”Risna meletakkan kedua tangan di pinggang, lalu mengeleng-geleng. “Gue udah ngomong sama Tasya kemarin. Dan dia bilang masih cinta sama lo.”“Hah? S-serius lo? Alah, palingan bohong.” Aku memiringkan senyuman.“Nih, lo denger sendiri!” Risna memberikan smartphone miliknya.“Buat apa?” tanyaku, belum mengerti dengan maksud Risn