Irina menatap wajah Polo penuh selidik saat pria itu mengatakan hal yang menarik perhatiannya tentang sosok Marco dan kemampuan yang dimilikinya.
Mata Irina kembali ke tablet yang menangkap pergerakan Marco saat ia mengendap ke balik semak tanpa diikuti oleh dua pria yang menjaganya.
Mata Irina melebar ketika ia melihat pergerakan kameranya seperti sempat kabur beberapa detik lalu kembali jelas dan berubah kabur saat Marco bergerak.
"Apakah kita mengalami gangguan sinyal?" tanya Irina sembari membenarkan sebuah parabola portabel yang tersambung ke tablet dalam genggamannya.
"Itulah salah satu kehebatan dari Marco. Dia gesit dan sangat hebat dalam menyelinap. Ia juga bisa mencium bau dari jarak 1 kilometer. Oleh karena itu, dia tertarik padamu. Sepertinya baumu lain dari manusia yang pernah ia temui sebelumnya," sahut co-pilot yang tiarap di atas helikopter, membidik siapapun yang berusaha menyerang timnya.
"Wow! Apakah ..
Wajah semua orang serius seketika."Silent Gold?" sahut Polo seakan tak percaya dengan yang diucapkan oleh Irina dan Marco.Polo segera berdiri dan mendekatkan bilah pedang itu ke bawah cahaya lampu untuk melihat lebih jelas tentang senjata yang ditemukannya."Apa itu Silent Gold?" tanya Robin—pria berkulit hitam—yang ikut mengambil sebuah belati dan menggenggamnya erat."Aku hanya pernah mendengar kisahnya. Namun, ibu dulu mengatakan jika itu sebuah dongeng zaman peperangan. Apa jangan-jangan ... ah! Itu hanya mainan!" pekik Marco menyangkal ucapannya sendiri."Agh!" rintih Polo dan erangannya mengejutkan semua orang."Ada apa? Kau kenapa?" tanya Robin panik dan bergegas mendekati Captain-nya."Oh! Kau berdarah!" pekik Chen. Pria berwajah Asia itu segera membuka tas ransel untuk mengambil perlengkapan medis.Kening Irina berkerut. Ia melihat darah Polo berwarna merah kebiruan. Irina menat
Kesedihan dalam heningnya bunker menyelimuti hati semua orang. Irina berusaha untuk mengendalikan dirinya yang dirundung kesedihan. Marco menatap wajah Irina tajam yang berusaha tegar dengan terus menggergaji gembok untuk membuat suara berisik di dalam ruangan itu.Hingga akhirnya, Marco berhasil membuka seluruh gembok dari peti-peti yang berhasil diturunkan. Lucas dan Chen menyingkirkan peralatan makan mereka untuk bisa melihat lebih jelas isi dari peti-peti tersebut."Ini seperti membuka kado Natal, Polo. Jangan merusak kesenanganku, aku ingin membuka semuanya," ucap Marco dengan keringat membasahi keningnya."Oke, oke," jawab Polo pasrah mengangkat kedua tangan. Irina tersenyum melihat Polo begitu sabar menghadapi tingkah saudara kembarnya.Marco menggosokkan kedua tangan sambil menjulurkan lidah terlihat begitu bersemangat. Ia berjongkok di salah satu peti berwarna hitam yang memiliki tanda titik cet berwarna di bagian penutupnya.KLEK!
Semua orang terkekeh. Suasana dalam bunker ramai seketika. Polo meminta kepada Marco agar merelakan sepatu yang sudah dipakai oleh Chen dengan dalih pria Asia itu lebih membutuhkannya. "Kau pilih kasih, Polo! Mereka mendapatkan barang bagus, sedang aku hanya menjadi tukang congkel sedari tadi tanpa upah sedikitpun," ucapnya protes. Semua orang menahan tawa. "Hei! Barter kita belum selesai. Aku masih ingin tahu tentang kalian berdua. Aku sangat yakin, jika Marco dan Polo, bukan manusia biasa. Jangan bohong padaku," ucap Irina tegas seraya turun perlahan dari tiang besi tempatnya berpijak. Semua pria di sana ikut menunjukkan wajah serius di mana mereka juga ingin mengetahui lebih dalam tentang dua pria bermanik merah dan biru tersebut. "Wah, kita dikeroyok, Polo. Namun ... aku suka mendengar dongeng. Ceritakan mereka dengan petualangan kita," ucap Marco kembali tersenyum sembari mendatangi sebuah peti untuk melihat isinya. Polo mendesah
Robin memimpin di depan. Ia mengajak semua orang dalam kelompoknya untuk merangkak melewati sisi Timur dari Gym agar bisa memasuki kediaman Marco-Polo yang ditinggalkan selama puluhan tahun silam.Mata Polo mengawasi dari teropong senapan laras panjang berikut dua kawannya yang berada di atas helikopter. Mereka ikut melindungi meski jarak bidik terpaut cukup jauh.Marco memanfaatkan peluang dengan kembali menyemprotkan cet di sisi Selatan meski ukuran dinding kaca lebih luas. Ia berharap, ketika ia dan timnya kembali ke helikopter, pergerakan mereka tak ketahuan oleh para monster."Hah, kami berhasil, kami berhasil! Ya Tuhan, jantungku rasanya mau meledak," ucap Robin dengan nafas menderu, terdengar begitu santer dari sambungan radio."Hati-hati. Aku sudah menggambarkan peta rumahku. Itu sudah yang paling bagus sejak terakhir kali aku menggunakan telunjuk untuk melukis," jawabnya teringat ketika Fabio memberikan sebuah tablet untuknya un
Suasana duka menyelimuti ruang bawah tanah kediaman Marco-Polo. Robin dan lainnya mendekati tabung yang telah terbuka, tempat di mana Marco dan Polo tidur selama ini."Polo, sudahlah. Kita makamkan ayahmu," ucap Robin mendekati Kapten Tim seraya menepuk pundaknya pelan.Polo mengangguk dan menghapus air mata kesedihan di wajahnya. Robin dibantu oleh Hugo menurunkan mayat Brian dari atas dinding yang tertancap sebuah tombak berwarna hitam.Polo memegang tombak hitam yang terlihat tak biasa setelah ia amati. Mayat Brian yang telah mengering seperti mumi di baringkan di atas lantai ruang bawah tanah.KLEK!Polo tersentak berikut semua orang saat menyadari jika tombak itu bisa dipanjang-pendekkan. Kini, tombak hitam itu seperti sebuah tongkat sepanjang 30 cm. Ujung runcing di sisi kanan dan kiri tombak masuk ke dalam lubang tersebut.Marco mulai bisa menenangkan diri setelah Irina mengelus punggungnya lembut dan terus tersenyum padanya.
Tak terasa, hari sudah berganti lagi. Polo membagi anggota timnya untuk segera menjalankan tugas pertama dari misi yang telah ia susun.Edward dan Ritz yang berada di helikopter tetap ditugaskan untuk menjaga benda terbang tersebut. Mereka menjadi pengawas di sekitar kawasan kediaman Lopez-Brian."Oke. Tugas mengamati perilaku para Monster aku berikan pada Irina dan—""Aku, aku! Biarkan aku menemani Irina, Polo!" sahut Marco langsung mengangkat tangannya tinggi."Oh, oke," jawab Polo pasrah, senyum Marco terkembang. Irina hanya bisa diam menerima keputusan."Ayo, Irina. Kita mengamati dari Mercusuar saja. Di sana, kita bisa melihat seluruh kawasan sampai bibir pantai," ajak Marco menggandeng tangan kanan Irina dengan santai.Sedang, semua orang dibuat kaget karena Marco begitu agresif bahkan gadis cantik itu sampai tak bisa berkutik dengan sikap sok ramahnya."Lalu bagaimana dengan para monster yang berada di dalam rumah, Polo?
Seharian, Irina dan Marco mengamati perilaku para monster dari atas Mercusuar. Irina mencatat semua dalam buku dengan rapi. Marco melihat tulisan Irina yang baginya sangat indah. "Tulisanmu seperti lukisan, Irina. Aku rasa, kau pintar menggambar," ucap Marco menilai dan gadis cantik itu menunjukkan senyum menawannya, Marco terpaku. "Oke, dengarkan. Kita akan melakukan pantauan sampai satu minggu ke depan untuk mengumpulkan semua data. Kita akan membuat catatan dan perekaman dari perilaku para monster dengan berbagai percobaan yang akan kita lakukan," ucap Polo dari sambungan radio. "Yes, Sir!" jawab semua orang serempak kecuali Irina dan Marco yang terpaksa membisu agar para monster tak mengetahui keberadaan mereka. Malam itu, Irina melakukan pencatatan ulang ke komputer portabel dalam bentuk tablet. Marco menemani Irina dengan berjaga dan melakukan pengawasan dari lantai tertinggi Mercusuar. "Eh, sebentar. Kita bisa
Semua orang lemas seketika. Edward dan Ritz merasa bersalah karena tak mengecek sisa bahan bakar selama mereka berada di kendaraan terbang tersebut. "Eh, wait. Helikopter ibu. Di hanggar biasanya ada tong-tong berisi bahan bakar. Kita bisa memeriksanya, Polo," ucap Marco mendekati saudara kembarnya dengan mata berbinar. "Oh, kau benar. Masih ingat jalan ke sana?" tanya Polo dan Marco mengangguk mantab. "Oke, berkumpul, perubahan rencana," perintah Polo tegas di depan pintu belakang helikopter. Ritz dan Edward ikut merapat. "Aku, Marco, Ritz, Edward, Bruno dan Robin akan pergi ke hanggar untuk mengambil bahan bakar dengan forklift itu. Sisanya, berjaga dan masukkan semua peti ke dalam. Saat kami kembali, kita siap terbang. Mengerti?" "Yes, Sir!" tegas anak buah Polo yang ditugaskan untuk berjaga. Ritz mengemudikan forklift. Polo menumpang dengan berdiri memunggungi Ritz di belakang sembari menyiagakan senapan bius di tangan kanannya.