"Dulu, sebenarnya kakakmu ke mana? Kenapa datang dan pergi begitu saja?"
Lamunan Zia terhenti ketika mendengar temannya menggerutu. Pasalnya, kakak wanitanya itu memang sudah pergi dari rumah selama beberapa tahun. Lebih tepatnya ketika hari pernikahan antara kakanya dan Amran hanya tinggal menghitung hari tanpa kejelasan.Waktu itu ... orang tuanya Zia juga mengerahkan banyak orang untuk menemukannya, begitu juga Amran. Namun semua usaha tidak mendapatkan hasil apa pun. Bahkan mereka mendengar kabar kalau kakaknya Zia pergi dengan pacar simpanannya yang seorang bule.Mendengar kabar itu, Amran marah bukan main. Begitu juga dengan keluarganya. Berhubung orang tua Amran sejak awal sudah menyukai adiknya, yaitu Zia. Mereka pun meminta orang tua Zia untuk menikahkan putri bungsunya dengan Amran.Anehnya, keluarga Zia bahkan menyetujuinya dengan cepat tanpa menunggu jawaban dari yang bersangkutan. Sayangnya ... Zia juga tidak bisa menolak, jadi dia menerimanya dan menjadi istri Amran.Sekarang pernikahan mereka sudah menginjak usia tiga tahun pernikahan, namun kehidupan mereka tidak ada yang berubah. Di luar, mereka berpura-pura sebagai pasangan yang romantis dan punya kehidupan yang sangat membahagiakan.Namun aslinya ... Zia sangat tertekan dengan pernikahan itu karena Amran tidak pernah memperlakukan dirinya sebagai seorang istri. Mereka masih tidur di kamar yang terpisah yang bahkan lantai mereka berbeda.Amran, wilayahnya adalah lantai atas dan kamarnya ada di sana. Sementara Zia ada di lantai bawah. Mereka menjalani kehidupan masing-masing.Zia juga sudah memintanya untuk mengubah kebiasaan itu karena ingin menjadi seorang istri yang seutuhnya, namun Amran selalu menolaknya dengan alasan dia masih membutuhkan waktu dan tidak mudah baginya untuk menerima orang baru."Lo kok kayaknya kaget banget? Emang gak tahu kalau Kak Rania sudah balik?" tanya Gea tak percaya ketika melihat Zia menggeleng. "Kayaknya keluarga Lo sengaja, deh. Enggak kasih tahu agar Lo emang gak tahu apa-apa."Pikiran Zia mulai berkenalan ketika mendengar ucapan Gea, namun dia berusaha menepisnya dan masih duduk tenang. Namun Gea segera menunjukkan sebuah video sambutan yang cukup meriah dari keluarganya dengan kedatangan Rania.Kedua tangan Zia mengepal dan dia pun segera mengambil tas selempangnya dan berlari ke arah luar kafe, lalu menaiki taksi yang ada di depan."Rumah nomor satu, jalan Mawar Indah, ya, Pak," ucapnya cepat dengan napas yang terengah-engah akibat berlari terlalu cepat."Oke, Bu."Selama di dalam mobil, Zia tidak bisa tenang. Zia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran keluarganya. Padahal, kakaknya sendiri yang sudah membuat kehidupan Zia berantakan seperti ini. Namun sekarang ketika dia datang, keluarganya malah memberikan sambutan yang sangat mewah.Zia segera turun setelah memberikan selembar uang biru, lalu berlari ke arah rumah orang tuanya yang masih melakukan penyambutan. Tanpa mendengarkan sapaan dari keluarganya, Zia terus melangkah lebar hingga dia menemukan sosok wanita yang membuatnya marah, kesal, dan semua perasaan tidak enak menjadi satu."Apa maksud Lo?" teriak Zia tanpa basa-basi hingga membuat fokus orang-orang tertuju ke arah mereka."Hai, Zia! Apa kabar adikku sayang?" Rania bertanya dengan ramah dan menatapnya dengan mata berbinar, namun Zia tidak menyambutnya."Jangan basa-basi! Jelaskan kenapa Lo yang ngilangin tiga tahun lalu tiba-tiba datang setelah semuanya sudah kacau? Ke mana saja selama ini?" teriak Zia mengeluarkan segala unek-unek yang tertahan di dadanya selama ini, namun dia malah mendapatkan tamparan yang menyakitkan."Jaga cara bicaramu! Ini bukan hutan dan dia juga kakakmu!" teriak papanya membuat wajah Zia bengkak dan hatinya juga ikut terluka.Selama ini dia memang selalu merasa kalau kedua orang tuanya pilih kasih, seolah hanya Rania yang menjadi anak mereka. Sedangkan dirinya tidak pernah. Namun Zia baru sadar sekarang dan sebelumnya dia tidak pernah punya pikiran yang negatif terhadap kedua orang tuanya."Dia juga baru pulang dari luar negeri menyelesaikan pengobatannya. Atas dasar apa kamu memperlakukan anakku seenaknya?" Mamanya Zia juga ikut mendekat dan mendaratkan tamparan kedua, karena yang pertama dari papanya.Zia semakin terluka, terlebih ketika mamanya mengatakan kalau Rania adalah anaknya."Ma ... apa hanya dia anak Mama?" tanya Zia sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Rania. "Apa aku bulan anak Mama dan Papa? Kenapa perlakukan kalian sangat berbeda sekali? Kenapa hanya aku yang diperlakukan tidak adil seperti ini?" cecar Zia dengan air mata yang tidak berhenti keluar, sementara para kerabatnya hanya menonton karena tidak tahu harus berbuat apa.Semua orang tahu identitas Zia, begitupun dengan Zia sendiri. Namun dia ingin membuktikan semua perkataan Gea kalau orang tuanya selama ini memang tidak pernah mencintainya. Mama yang ada di hadapannya memang bukan ibu kandungnya, karena ibu Zia sudah meninggal. Jadi papanya menikah lagi dengan Ibunya Rania.Usia mereka hanya berbeda dua tahun, namun perlakuan khusus keduanya hanya terarah pada Rania. Tidak pada dirinya. Bahkan sejak Rania dan Ibunya datang, kehidupan Zia seperti sudah direnggut setengahnya."Cukup! Hentikan omong kosongmu itu!" teriak papanya lagi membuat hati Zia semakin teriris. "Kamu harusnya introspeksi diri, bukan malah menyalahkan orang lain!""Coba Papa sebutkan sikapku yang mana yang kelewatan?" tanya Zia sambil melangkah mendekat ke arah pria yang sejak ia kecil selalu berkata akan terus mencintainya dan melindunginya. "Apa pernah selama ini aku tidak melakukan apa yang Papa perintahkan?""Apa pernah aku datang ke rumah ini dan meminta Papa untuk menghiburku ketika aku sedang terluka, sedih, atau kesal? Apa aku pernah minta dibelikan sesuatu? Enggak! Aku bahkan lupa bagaimana caranya sedih karena Mama dan Papa selalu memintaku untuk terus tersenyum apa pun yang terjadi, katanya agar tidak membuat malu kalian. Namun sekarang apa yang terjadi?" cecar Zia mengeluarkan segala hal yang tersimpan di dadanya.Kerabat dari ayahnya mulai berdekatan ke arah Zia dan berusaha untuk memberikan pelukan, namun orang tuanya Zia meminta orang-orang itu untuk tidak memperlakukan Zia dengan spesial."Nanti dia akan menjadi anak pembangkang dan sikapnya lebih dari sekarang," ucap mamanya Rania membuat hati Zia semakin tersayat. Ditambah ketika kedua netranya menatap sayup ke arah pria yang katanya selalu menjadi cinta pertama anaknya, namun malah tatapan bengis yang dia dapatkan.Karena dadanya semakin sesak, dia pun memutuskan untuk pergi dari rumah itu dengan berlari ke jalanan, lalu naik taksi hingga di rumah Amran dengan harapan Amran mau mendengarkan curahan hatinya atas apa yang terjadi hari ini."Amran," panggil Zia ketika melihat suaminya itu tengah duduk di ruang keluarga. "Amran ... keluargaku ....""Apa yang kamu lakukan? Kenapa membuat keributan di tempat penyambutan Rania?" tanya Amran dengan wajah penuh emosi setelah melihat Zia.Deg.'Apa yang sebenarnya terjadi?Kenapa orang-orang berada di pihak wanita yang pandai berbohong itu?'"Kamu pikir aku di sana membuat keributan?" Zia bertanya dengan jari jemari tangan kanan menyentuh lehernya. "Apa di matamu aku terlihat seperti orang yang suka membuat keributan?"Amran membulatkan kedua matanya dengan penuh emosi, lalu mendekat ke arah Zia dan mengangkat tangannya. Namun ketika dia hendak melakukan suatu, dia pun tersadar kalau apa yang akan dilakukannya salah."Kenapa? Kalau mau tampar, tampar saja. Sama seperti yang dilakukan Mama sama Papa. Kamu juga mau mengikuti jejak mereka? Lakukan!" teriak Zia bener-bener emosi karena sikap suami dan juga kedua orang tuanya sama.Padahal, selama ini dia tidak pernah membantah perkataan ketiga orang itu dan bahkan dia sendiri menyampingkan keinginannya hanya untuk membuat mereka senang."Aku sungguh tidak habis pikir ternyata Di matamu aku terlihat seperti orang yang suka membuat masalah? Padahal, selama ini aku selalu melakukan yang kalian katakan! Sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiran kalian," teriak Zia lagi lalu
"Mama!"Amran berteriak dengan suara yang melengking hingga membuat Via ataupun Zia berhasil menutup telinganya dan sama-sama menatap kaget ke arah Amran."Kenapa kamu membentak Mama seperti itu, Mas? Apa kamu sudah lupa dari mana kamu dilahirkan dan tumbuh menjadi pria yang durhaka?" Zia berdiri di tengah-tengah antara Via dan Amran, menurutnya suaminya itu sudah sangat keterlaluan."Tapi Mama sudah melakukan kesalahan. Bukannya introspeksi diri, Mama malah berniat untuk membuat semuanya semakin kacau," terang Amran memberikan penjelasan, namun Via tidak terima."Kesalahan mana yang sudah Ibu lakukan?" hardik Via tak terima sambil berjalan mendekat ke arahnya. "Apa kamu pikir Ibu akan diam saja ketika ada wania yang disakiti psikisnya seperti itu?""Tidak ada yang aku sakiti! Mama berpikir terlalu berlebihan lagi dan aku tidak suka itu," sentak Amran berusaha mendorong mamanya untuk keluar, namun lagi-lagi Zia menahannya."Apa yang kamu lakukan ini, Mas? Kenapa kamu selalu mendorong M
"Enak?" tanya Amran kepada Zia yang sedang makan sayuran buatannya.Ini pertama kalinya dia memasak dan khusus untuk Zia. Bahkan dia tidak pernah memasak untuk Rania ketika mereka menjalani hubungan selama beberapa tahun.Zia hanya mengangguk, hal itu itu membuat Amran marah."Kamu bisa nggak sedikit saja menghargai aku? Kenapa selalu ingin membuatku marah?" ucap Amran tak terima."Lalu aku harus bagaimana? Aku udah jujur kalau makananmu enak bukan dan memakannya lahap. Lalu kenapa kamu marah-marah?" Begitulah jawaban yang biasanya Zia katakan ketika Amran setengah memintanya jawaban.Namun kali ini Zia hanya diam sambil terus memakan makanannya tanpa mengatakan satu kata pun. Hal itu membuat Amran semakin marah dan membanting makanannya yang ada di atas meja, namun Zia sama sekali tidak menggubrisnya.Zia makan dengan sangat tenang, lalu kembali masuk ke kamarnya seolah tidak ada yang terjadi. Sedangkan Amran segera ikut masuk ke sana dan memeluknya erat lalu menciumi tengkuknya deng
"Aku minta maaf atas apa yang sudah dilakukan istriku," lirih Amran sambil memberikan sebuah dress kepada Rania.Awalnya dress itu hadiah yang akan ia berikan kepada Zia, karena warnanya juga adalah warna kesukaan Zia. Namun Amran malah memberikannya kepada Rania."Makasih, ya. Aku ganti dulu." Rania masuk ke kamar mandi yang ada di kamar Amran, padahal dari dulu Zia selalu berpesan jangan pernah ada wanita lain yang masuk ke kamarnya, namun lagi-lagi Amran melanggar.Rania membuka paper bag yang diberikan Amran. Dia pun tersenyum lebar ketika melihat warna dress yang ada di dalamnya."Sama seperti yang aku katakan dulu, Zia. Semua yang menjadi milikmu akan menjadi milikku," ujarnya sambil menatap pantulan diri di cermin, lalu tersenyum menyeringai, "sejak awal kamu memang sudah kalah telak."Rania hanya terkena jus yang ada di lantai, namun Amran langsung memberikan baju ganti. Sedangkan Zia yang tersiram hanya memberikannya seorang diri. Ditambah mendapatkan tatapan tajam dan tuduha
Zia kembali masuk ke kamarnya dan mengurung diri, sedangkan Amran juga berusaha untuk mengejarnya, namun pintunya sudah terlanjur dikunci dari dalam. Amran menggedor-gedor pintu itu, namun Zia tidak kunjung membukanya.“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan dirimu, Zia. Asal kamu tahu kalau Rania itu hanya masa lalu. Mau sebesar apa pun cintaku padanya, kenyataan itu tetap tidak akan pernah berubah.” Amran berteriak dari luar pintu, namun Zia menutup kedua telinganya.Zia merasa dipermainkan dengan kenyataan bahwa dirinya tidak pernah ada di hati Amran.“Aku mohon, keluarlah dulu. Kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Jangan seperti ini.” Amran berusaha untuk membujuk, namun Zia masih tidak ingin mendengarnya. Zia bahkan menarik beberapa benda berat seperti lemari dan sofa agar Amran tidak bisa mendobrak kamrnya.“Pergilah! Saat ini aku sedang tidak ingin berbicara denganmu!” teriak Zia membuat Amran frustasi dan tidak punya pilihan selain pergi.Amran menuruni an
Farid tidak lagi bicara, dia langsung menarik Amran menuju mobilnya, dan membawanya ke suatu tempat."Ngapain Lu bawa gua ke sini?""Sengaja. Gua bawa Lu ke sini biar Lu ingat, sedalam apa luka yang Lu dapat waktu itu ketika Rania pergi," ujar Farid dingin lalu turun dari mobil begitu saja meninggalkan Arman.Farid berjalan ke pesisir, sedangkan Amran hanya bisa mengikutinya dari belakang. Sadar Amran ada di belakang, Farid tersenyum."Lu harus selalu ingat kalau tempat ini selamanya akan tetap menjadi saksi yang paling menyakitkan," lirihnya, namun Amran masih bungkam."Di sinilah Lu terkapar, tidak bernapas, dan keadaan Lu juga berantakan. Namun saat itu Rania yang bersama pria bule itu bahkan tidak melihat ke belakang." Farid terus berbicara agar Amran mengingat kekejian apa yang sudah dilakukan Rania padanya."Semuanya hanya masa lalu," ujar Amran berusaha menutupi lukanya, namun Farid yang dingin langsung tertawa."Dengan entengnya Lu bilang masa lalu? Heh. Padahal setelah kejadi
"Apa gapapa? Saya malah takut nanti Pak Amran marah besar." Zein mulai ragu."Gapapa, Zein. Bukankah kamu pernah dengar nasihat kalau bersembunyi di tempat musuh adalah yang paling tepat?" bujuk Zia."Pepatah dari mana? Saya gak pernah dengar, yang ada malah membuat kita juga dimusuhi sama Pak Amran." Zein mulai ketakutan karena sepertinya Zia serius dengan perkataannya."Enggak akan. Kalau pun dia menjadikan aku musuh, tapi tidak akan pernah aku biarkan dia mengancam pekerjaan kamu. Pokoknya di sini tugasmu hanya perlu memberikan aku informasi tentang perusahaan Pak Barata itu. Setelahnya, serahkan saja padaku," ucap Zia mantap dengan penuh keyakinan."Tapi saya juga takut Anda kenapa-kenapa." Zein kembali mengatakan kekhawatirannya."Ya ampun, Zein. Apa kamu pernah lihat Mas Amran main tangan? Enggak pernah, kan." Zia mulai lelah. "Selama ini dia adalah orang yang suka menyiksa seseorang lewat batin, bukan fisik."Suara Zia mulai melemah, namun hal itu membuat Zein yakin kalau perka
Amran membulatkan kedua matanya tak percaya dengan apa any dikatakan sang istri. Dia pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan harapan melihat pria yang mengajak kencan Zia, namun dia tidak menemukan siapa pun.Amran segera mencekal pergelangan tangan Zia dan membawanya ke tempat sepi.“Jangan berbohong dan cepat katakan yang sebenarnya,” perintahnya dingin membuat Zia semakin enggan untuk menjawab.Zia mengeluarkan kecepatan penuh dan segera melepaskan tangannya dari Amran. “Kalau kamu memang percaya padaku, sepertinya kamu tidak akan pernah membutuhkan penjelasan dariku, Mas.”Amran diam. Dia tertampar dengan kata-kata Zia, namun dia tidak mau mengakuinya.“Percaya atau tidak, bukankah lebih baik bagi hubungan kita untuk menceritakan semuanya?" Amran melayangkan tatapan kejam.“Kita? Kamu kali, Mas. Orang selama ini kamu gak pernah percaya sama aku. Jadi rasanya percuma saja aku bicara banyak, karena semuanya tidak akan berpengaruh padamu.”Semakin emosi Amran, Zia malah sem