"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!"
Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang. Kemarin, mendengar mama berbicara melalui sambungan telepon entah dengan siapa. Beliau bilang pengen makan nasi ladang, karena aku berkata kalau hari ini gajian, maka aku akan membelikan mama dan mas Anjar nasi padang sebagai oleh-oleh. Untuk Meri, semenjak insiden itu aku tidak lagi memberikan secuil apa pun untuknya."Uda, nasi rendang plus dadar satu, nasi rendang plus perkedel satu, nasi rendang plus limpa satu. bungkus, ya." "Siap, Uni," canda Uda Hadi.Aku sudah berlangganan dengan warung padang ini, semenjak masih belajar jualan sayur sampai sekarang sudah mahir, kalau kepengen nasi padang pasti ke tempat ini. "Bungkusin lele dua, ayam goreng tiga sama paru, ya, Uda. Satu saja parunya," ucapku sambil terus fokus ke ponsel di genggaman. Saat aku membalas chat salah satu pelanggan yang memesan beberapa sayuran, aku di kagetkan dengan suara berisik tepat di meja paling ujung. "Tadi kamu yang janji mau traktir, kenapa malah nggak dateng? Aku sudah pesan banyak gimana dong?" Aku hapal degan suara tersebut. Meri, ternyata teman yang akan mentraktirnya tidak jadi datang. Aku melirik ke arah mejanya.Yaa Allah, penuh dengan makanan."Uni, ini pesannya sudah siap," ucap pria pemilik warung makan ini. Setelah memberikan sejumlah uang untuk membayar pesanan, aku beranjak untuk keluar toko."Mbak Maryuni!" teriak Meri. Aku pura-pura tidak mendengar panggilan Meri. Biar dia mempermalukan dirinya sendiri. [Uda, tolong kalau perempuan yang memanggil aku tadi tanya2, bilang nggak kenal, ya.]Send.+++Melihat mama dengan lahap menyantap makanan yang kubawa membuat mata ini berembun. Seandainya simbok masih ada, ingin rasanya aku mengajaknya jalan-jalan dan menuruti semua keinginannya, tetapi semua itu sudah tidak mungkin terjadi. "Ma, mau paru?" tanyaku sembari mengeluarkan bungkusan itu dari dalam plastik."Udah ini saja, makasih, ya, Mar," ucapnya kemudian."Iya, sama-sama, Ma. kapan-kapan kita jalan-jalan, yuk," ajakku.Sekilas mama menatapku, lalu kembali fokus menyantap makanan di hadapannya. "Nggak usah sok perhatian sama mama!" teriak Meri yang masih berada di ruang tamu. Aku dan mama terperanjat oleh teriakan Meri. Sepertinya dia sudah bisa membayar makanannya setelah aku tinggal tadi. "Apa masalahnya? Kalau aku perhatian sama orang lain itu baru salah. Wong perhatian sama mertua, kok, salah," ucapku datar. Aku berupaya keras agar tidak terpancing oleh Meri. "Sudah! Kalian yang akur. Mama harap kalian baik-baik saja, biar nanti kalau mama sudah nggak ada nggak khawatir lagi," ucap Mama sembari tetap menyantap makanan di hadapannya."Mama benar-benar sudah terpengaruh oleh perempuan kampungan ini! Dasar tukang cari muka!" bentak Meri lalu pergi begitu saja. Seandainya Meri sudah tidak punya seorang ibu, mungkin dia akan berlaku sama. Tapi apa mungkin dia akan berubah. Entahlah. "Aku masuk dulu, ya, Ma." Kutinggalkan mama sendirian, kenyang rasanya setiap kali mendengar ucapan Meri, seketika membuat napsu makan ini menghilang. "Lo, bukannya belom habis?" "Sudah kenyang," kilahku.Kusimpan makanan untuk mas Anjar di dalam kamar, karena jika aku tinggal di atas meja makan. Pasti mas Anjar tidak akan kebagian. Aku heran dengan Meri, badan dia kecil, nggak kurus-kurus amat, si. Akan tetapi, dia doyan banget makam. Banyak lagi. Pengen sekali seperti itu. Bukanya itu salah satu impian para emak-emak. Makannya banyak tapi timbangan stay terus nggak geser nganan. Yaa sudahlah, mungkin nasib orang memang berbeda-beda. Sambil meninggi mas Anjar pulang, dibersihkan badan yang terasa semakin lengket, di tambah tadi makan sambel banyak sekali bareng mama. Segarnya bila terus bertemu dengan air dingin yang mengalir. Dari pada membayangkan lebih baik aku segera mandi, agar setelah mas Anjar pulang aku sudah dalam keadaan bersih. +++"Dek, gaji kamu berapa? Jadiin satu aja, ya?" pinta mas Anjar usai menyantap nasi padang yang aku beli. "Bukanya dari awal aku sudah bilang nggak mau, kenapa sekarang mas bahas itu lagi?" Malas rasanya.Aku bersikukuh untuk tidak memberitahukan berapa gajiku sebulan ini. Serta menolak permintaannya yang teramat sangat aneh. Mas Anjar keluar kamar tanpa berkata apa-apa setelah mendapat penolakkan dariku. Aku tidak peduli dengannya.Satu jam lebih mas Anjar belum juga masuk kamar, aku heran pergi kemana dia. Sebaiknya aku keluar sebentar. Samar-samar aku mendengar obrolan di ruang tamu, pelan aku hampiri mereka. "Sekarang gaji mas kan udah banyak, jadi tidak perlu mengusik gaji Yuni." Suara mas Anjar tidak begitu keras, tetapi tertangkap oleh indera pendengaranku."Paksa dia dong, Mas. Aku tidak mau kalau dia sampai seperti mantan istri kamu!" Suara Meri seperti menahan amarah. Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Menajamkan pendengaran dan menjernihkan pikiran yang aku lakukan saat ini. Aku ingin mendengar apa saja yang ingin mereka bicarakan, bisa jadi di luar pikiranku."Kamu sabar dulu, jangan gegabah," lanjut mas Anjar."Makasih buat semuanya, ya, Mas." Meri beranjak lalu mencium pipi suamiku.Astagfirullah. Aku bersandar di dinding agar Meri tidak melihat keberadaanku. Kini jarak antara Meri dan mas Anjar sangat dekat, bahkan mas Anjar balik mencium kening Meri. Apa seperti ini yang mereka lakukan setiap kali aku tidak ada. Bukankah mereka saudara kandung? Yaa Allah, nyeri sekali dadaku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Kenapa mereka melakukan hal yang sangat menjijikan. Bahkan mereka melakukan selayaknya orang pacaran? Apakah hal ini yang membuat mas Anjar bercerai dengan istrinya? Kepalaku berdenyut nyeri memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar nalar. Tidak terasa tanggul yang sengaja da
"Maryuni, kamu dari mana?" Suara lembut itu membuatku menoleh ke sumber suara. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini, tetapi dia bisa tahu namaku."Dia siapa?" batinku bermonolog.Perempuan berjilbab lebar itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya menyapaku. "Hai, perkenalkan aku Naomi mantan istri Anjar," sapanya ramah.Sejenak aku tertegun dengan ucapannya barusan, dia adalah mantan istri mas Anjar? Apa tidak salah mas Anjar menceraikannya? Wanita ini sungguh terlihat luar biasa. Bukan hanya parasnya, tetapi tuturnya pun lembut tidak di buat-buat. "Kok, malah bengong," imbuhnya sambil tersenyum renyah. "Em ... Saya Maryuni, Mbak. Dari mana mbak tau kalau saya istri mas Anjar? 'Kan kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku penasaran. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di sana," ajaknya menuju sebuah warung kopi.Aku menurut saja, mengikuti langkahnya sedangkan aku menyalakan motor menuju warung itu. "Kopi guday karebian satu pake es, ya, Pak. Kamu mau minum apa,
Setelah menyerahkan tas, mas Anjar bergegas memasuki kamar kami, tetapi dia berpapasan dengan Meri. "Kamu sudah jadi masak, Mer?" Meri gelagapan mendapat pertanyaan dari mas Anjar. "Belum, Mas. Meri capek banget rasanya hari ini, jadi seharian hanya tiduran saja di kamar," jawab Meri. Aku tahu ucapannya itu hanya alibi saja, toh, tadi siang dia sedang bermain dengan sangat liar, jadi mungkin kelelahan. "Trus aku makan apa? Aku belum makan dari siang, kamu yang aku titipi malah nggak masak!" sungutnya."Aku bawa ayam goreng, apa mau?" tanyaku."Yang penting bisa segera makan, tolong siapkan, ya, Dek. Aku mau mandi dulu," pamitnya. Setelah mas Anjar masuk ke dalam kamar, aku membalas tatapan tajam Meri. "Kenapa kelelahan, ya? Berapa kali?" sindirku."Apa maksudmu!" bentak Meri seolah tidak terima. Aku menyusul mas Anjar memasuki kamar, lauk dan nasi yang aku bungkus sengaja kubawa sekalian ke kamar, agar Meri tidak ikut serta menikmatinya.Sembari menunggu mas Anjar selesai de
"Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Dek!" teriak mbak Naomi seraya melambaikan tangan. "Oke!" Sebenarnya ada hal penting apa? Apakah mbak Naomi ingin menceritakan masa lalunya? Apakah menyangkut mas Anjar dengan Meri? Entahlah, Aku tidak mau menduga-duga dan membuat kepalaku nyeri karena kebanyakan mikir. Beberapa saat aku termenung, tetapi mengingat chat yang mencurigakan milik mas Anjar segera aku bangkit dan meneruskan langkah. Perumahan ini tidak terlalu jauh dari pasar, jadi aku tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat itu. Dengan mengendarai motor maticku sampailah aku di perumahan yang cukup mewah, bagiku tentunya, tetapi mungkin akan murah bagi kalangan orang berada. Setelah bertemu dengan salah satu satpam, aku bertanya perihal berapa saja harga perumahan yang ada di sini. Ternyata berbeda-beda, tetapi kisaran di atas empat ratus juta. Wow!Harga yang lumayan bagi kalangan sepertiku. Lalu aku bertanya tentang rumah bernomor dua belas, dengan sistem ap
"Dek, pulanglah! Tolong mama!" teriaknya mengagetkanku. "Mama kenapa, Mas?" Dadaku berdebar dan terasa nyeri. Takut terjadi sesuatu dengan mama. "Tolong pulang, sekarang," ucap mas Anjar lalu menutup sambungan telepon sepihak.Jelas aku sangat khawatir dengan keadaan mama saat ini, meski bagaimanapun aku pernah kehilangan seorang ibu, bahkan aku tahu rasanya jadi mas Anjar saat ini. "Pak, sebelumnya saya minta maaf, saya harus segera pulang. Mertua saya dalam keadaan tidak baik-baik saja," ucapku sembari mempersiapkan tas kecil serta ponselku agar tidak tertinggal. "Tidak apa-apa, Mbak. Lalu bagaimana dengan pencuri ini," tanyanya sembari menoleh ke arah Desti, sementara Desti layaknya pesakitan, terdiam membisu gerakknya terkunci oleh tatapan-tatapan intimidasi. "Mbak Wati, datang kerumahnya, lalu katakan semua kelakuan dia kepada keluarga tanpa ada satu apa pun yang di tutup-tutupi. Kalau dia menolak, saya akan meminta teman saya yang seorang polisi untuk mengunci pergerakannya
"Bukan itu. Dia ... Dia melakukannya ...!" jerit mama tertahan. "Maksud mama apa?" Aku pura-pura bingung dan tidak tahu bagaimana kelakuan Meri selama ini. "Mama memergoki Meri dengan seorang laki-laki di dalam kamarnya dan mereka tidak mengenakan pakaian," jelasnya pilu.Mama semakin terisak, mungkin mama tidak mengira jika anak gadis kesayangannya bisa melakukan hal tidak senonoh. Melakukan hal yang sepatutnya hanya di lakukan oleh sepasang suami istri. "Apa Meri tau kalau mama memergokinya?" tanyaku penasaran. "Meri tidak tau, sebelum mereka sadar dengan keberadaan mama, mama langsung keluar dan tiba-tiba kepala mama nyeri sekali dan napas terasa sesak, hingga mama tidak sadarkan diri," papar mama dengan berurai air mata. Aku memeluk dan mengusap punggungnya, hatiku pun ikut merasa nyeri, siapa yang tidak merasa kecewa dengan kelakuan salah satu keluarga yang mencoreng nama baik yang selama ini selalu di jaga."Kenapa mama tidak menegurnya? Atau bertanya langsung tentang kebe
"Kalau kamu menyuruh wanita ini untuk mengubah surat itu, kenapa tidak kamu lakukan sendiri untuk dirimu dulu waktu masih bersamanya! Jangan pernah mengusik rumah tangga orang lain! Sekalipun, kamu paham dengan seluk-beluknnya!" Suara bariton dari arah belakang mbak Naomi membuat dia menghentikan perkataannya.Siapa laki-laki ini? "Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?" tanya mbak Naomi kepada lelaki berperawakan tinggi tersebut. "Tidak perlu kamu tau, Naomi. Yang terpenting jangan pernah mengurusi rumah tangga mantan suami kamu!" bentaknya. Pria itu menarik paksa lengan mbak Naomi, ada ketakutan yang terpancar dari matanya. "Pak, maaf! Apa nggak bisa dengan cara baik-baik, tidak perlu menarik mbak Naomi. Dia pasti akan menurut, lagian apa nggak malu di lihat banyak orang?" tanyaku mencoba menahan langkahnya. "Mbak, lebih baik jauhi Naomi. Jangan pernah dengarkan apa yang dia katakan. Jadilah diri sendiri, Mbak. Pertahankan rumah tanggamu. Maaf permisi," pamitnya menggandeng tan
Aku berlari sekuat tenaga, saat seekor an jing mengejarku secara tiba-tiba. Bagaimana aku tidak takut dengan hewan satu ini? Hewan yang akan menyalak apa bila ada orang baru yang dia lihat. Dikiranya aku orang jahat mungkin. "Bagaimana, Mar? Apa kamu bisa masak?" tanya Bu Sela--mertuaku.Aku yang baru saja masuk membawa barang belanjaan dan berpeluh-peluh karena di kejar hewan si alan itu tidak menjawab, sebab masih sibuk mengatur napas. "Kamu di tanya malah kayak orang habis kena asma!" sentaknya membuatku sedikit kaget dengan suaranya. "Maaf, Ma. Yuni habis di kejar an jing." Aku membela diri."Ya, sudah habis ini kamu masak, sesuai yang aku tulis di kertas yang tertempel di kulkas," perintahnya. Siap, Maryuni bisa masak apa saja, asal ada bahan-bahan yang tersedia.Mama mertua berlalu meninggalkan aku yang masih selonjoran di lantai dapur karena kelelahan. Aku masih belum paham dengan karakter mama, apa dia baik atau julid seperti mertua tetangga di kampung dulu, entahlah. Se