Share

BAB 4 : STATUS PERKAWINAN

"Hah?"

"Mama udah gak sayang Dila, ya?" Maya bisa melihat bibir mungil itu melengkung ke bawah.

Apa yang harus Maya lakukan? Menjawab? Wanita itu saja tidak tahu apa-apa.

Sebagai gantinya, Maya memeluk gadis kecil itu. Bagi Dira, itu jawaban iya. Namun, tidak berarti apa-apa bagi Maya. Hanya pelukan yang menenangkan.

Selebihnya mereka bercanda bersama dan menghabiskan camilan yang ada sambil menunggu ayah Dira tiba.

Angga menepati janjinya dengan menjemput Dira dua jam kemudian. Ah, padahal nambah satu jam lagi tidak masalah bagi Maya.

“Dila gak mau pulang, Yah!” Dira merapatkan badannya pada Maya, tidak mau melepaskan tangan wanita itu.

Maya mengusap rambut Dira yang halus dan lembut. Menatap Angga dengan sorot kemenangan. “Ya sudah, biarkan aja dulu Dira main sama aku.”

Dan Maya akan menghitung setiap detiknya untuk ditukar rupiah!

“Ketemu mama besok lagi, Dira. Sekarang waktunya kita pulang. Ini jam tidur siangmu.” Angga berjongkok, memberikan pengertian pada Dira. Maya kembali berdesir ketika menaruh minat pada suara bariton milik laki-laki itu.

“Enggak, mau, Ayah!” Dira bersikeras. “Kecuali mama ikut. Baru Dila mau pulang!”

Angga melirik Maya, bertanya lewat tatapan mata; ‘Bagaimana? Mau pulang bersama kami?’

Maya termenung beberapa saat. Pulang dengan Dira ke rumahnya akan menambah jumlah cuan yang dikantongi. Namun, risikonya juga lebih besar. Dia akan bertemu dengan istri Angga atau yang paling parah, dianggap pelakor!

Terpaksa Maya melupakan sumber penghasilan dadakannya ini. “Dira, ayok pulang dulu. Kata Ayah ‘kan harus tidur siang. Nanti kalau gak tidur siang, digigit nenek ompong, lho. Emangnya Dira mau?”

Anak kecil itu menggeleng. “Dila gak mau, Mama.”

“Ya sudah, kalau begitu Dira harus pulang, oke?”

Maya melihat kesedihan di mata anak itu. “Maunya sama Mama. Mama pulang sama Dila, ya, ke lumah?”

Maya tersenyum. “Enggak bisa, Dira.”

“Kenapa?” Dira kelihatan bingung. “Lumah Dila bagus, Mama.”

Angga menghela napas. Urusan ini tidak akan selesai kalau terus begini. Laki-laki itu memegang kedua bahu Dira. “Sayang, Mama masih ada urusan di sekolah. Besok saja kalau mau bertemu lagi. Oke?”

Ini kenapa bapaknya ikut manggil-manggil mama, sih? Kalau iseng emang gak tanggung-tanggung. Maya membatin.

“Besok kita ketemu lagi ‘kan, Ma?” tanya Dira penuh harap. Tanpa pikir panjang Maya mengangguk.

“Hore …! Kalau begitu Dila mau pulang, deh.” Dira melepaskan pegangan tangannya. “Ayok, Ayah.”

Angga bangkit, berjalan bersisian dengan Dira dari kantin menuju mobil. Maya mengikuti. Masalahnya belum tuntas dengan bapak satu anak itu.

Setelah menutup pintu mobil untuk Dira di kursi belakang, Maya melipir ke jendela pengemudi yang terbuka. Berdeham beberapa kali untuk membuang harga dirinya karena telah bertindak sejauh ini demi uang.

“Aku udah jagain anakmu, tuh. Jadi, mana bayaranku? O, ya, tadi Dira juga beli minuman di kantin. Harus diganti lima kali lipat, ya.” Tanpa segan Maya mengulurkan tangan.

“Sayangnya saya gak bawa uang tunai. Kalau mau, kamu bisa masuk ke mobil biar kita ke atm sekarang.” Angga menepuk kursi di sebelahnya.

Maya berdecak, merasa itu hanya akal-akalan Angga. Dia tidak mau terjebak. “Gak perlu. Aku perlu bayaranku sekarang!”

“Saya gak bawa uang tunai, Lia.”

Maya bergidik ketika Angga memanggilnya demikian.

“Jangan panggil aku Lia!” Maya menatap nyalang Angga. “Pokoknya aku perlu bayaran sekarang!”

“Kita harus ke atm dahulu.”

“Gak mau tau!”

“Masuk, gih.” Angga belum menyerah. Dia kembali menepuk kursi di sampingnya. “Saya gak akan macam-macam. Sehabis ke atm, kita kembali lagi ke sekolah.”

Mana bisa Maya percaya begitu saja.

Tapi kali ini dia merasa tertantang. Wanita itu mendekatkan wajahnya ke jendela mobil. “Emang dibayar berapa kalau aku duduk di situ?”

Angga memperhatikan Maya dengan saksama. “Semua tergantung status. Kalau bersedia menjadi Nyonya Bagaskara, setiap kali duduk di samping saya akan dihargai uang tidak terbatas.”

“Kurang ajar!”

Maya menendang ban mobil itu. Rugi waktu dan uang sekarang tidak berarti lagi. Sudah cukup dengan status mantan, si pemilik yayasan, dan pengasuh anak. Berani-beraninya Angga ingin menjadikannya yang kedua!

***

“Duda!”

Maya sampai terlonjak dari tempat duduknya. Pekikan Salsa sangat cocok dijadikan pengeras suara.

Maya menoleh sinis. Fokusnya mengoreksi ulangan buyar. “Kenapa, sih, Sal?”

Wanita bergaya chic itu berseru keras seperti ingin menyerukan pada seluruh dunia. “Bu Maya! Ternyata Pak Angga itu duda! Artinya saya punya peluang jadi Nyonya Bagaskara.”

Maya menarik diri sedikit ke belakang ketika Salsa memperlihatkan ponselnya. Ada sebuah artikel dan Maya melihat foto mantannya itu beserta penjelasan kalau Angga Bagaskara adalah pengusaha sukses dan seorang duda.

Astaga berita murahan macam apa ini?!

Maya mendesis. Hanya rumor. Gosip. Tidak ada penjelasan yang membuktikannya fakta. Lucu ketika guru Bahasa Indonesia itu malah kegirangan.

“Bohong, nih. Jangan mau percaya.” Maya menjauhkan tangan Salsa yang ada di hadapannya.

“Ini serius, Bu Maya! Bukan cuma satu artikel. Ada banyak artikel yang lainnya!” Salsa manyun. “Cuma, ya, itu. Siapa mantan bininya gak disebutkan.”

Tapi beberapa saat kemudian, wajah Salsa kembali ceria. “Gak nyangka kepala yayasan kita seorang publik figur! Pantas waktu liat Pak Angga rasanya lagi liat artis. Apalagi liat Dira. Rasanya pengen jadi ibu tiri yang baik, deh!”

Maya hanya diam. Merenung. Seterkenal itu ‘kah Angga hingga masuk portal berita? Selama ini Maya tidak pernah mengecek atau mencari tahu. Kalau pun dilakukan, Maya tetap tidak menyangka orang itu adalah mantannya hingga melihat langsung hari ini.

Angga dulu dan sekarang sangat kontras sekali.

“Bu Maya bakalan ngedukung saya, ‘kan?” Salsa mengguncang pundak kiri Maya tanpa merasa bersalah.

“Iya, iya, aku dukung.” Maya pasrah, kalau tidak diiyakan Salsa bakal ngelunjak.

“Aduh, sayang Kak Maya banyak-banyak!” Salsa memeluk Maya dari belakang. Wanita itu tahu kelemahan Maya yang paling tidak tahan dipanggil kakak.

Maya mengulum senyum. “Ya udah sana, deh. Kembali ke kursi kamu. Aku mau ngelarin ulangan dulu.”

“Oke, Kak Maya yang senantiasa awet muda dan cantik!” pujinya. Tidak perlu menunggu untuk diusir kedua kali, Salsa cepat kembali ke tempatnya.

Sepeninggal Salsa, Maya tidak dapat fokus mengecek ulangan siswa. Pikirannya menewarang pada kalimat ‘pengusaha sukses’ yang ada di artikel tadi. Bagaimana Angga bisa mengambil posisi besar di perusahaan yang disebut dalam berita? Apakah dia merintis merintisnya dari awal? Laki-laki itu pasti bekerja sangat keras.

“May, kok melamun?” Bisma menegur.

“Eh?” Maya mengembalikan kesadarannya. “Kenapa, Bis?”

“Kok melamun?” tanya Bisma lagi. Laki-laki itu menarik kursi di dekat Maya. “Ceritain, dong. Lagi mikiran apa?”

“Itu ….” Maya mengetukkan jari ke meja. “Kamu tau siapa Angga Bagaskara?”

Bisma menaikkan sebelas alis. “Kepala yayasan kita yang baru ‘kan?”

“Iya …. Emang kepala yayasan yang lama kenapa?”

“Tumben kamu peduli masalah beginian.”

“Jawab aja setahu kamu,” desak Maya. Laki-laki itu kelihatan berpikir.

“Sejak awal kamu mendaftar sekolah ini pun pasti sudah tahu siapa pemilik sekolah ini ‘kan?” Bisma malah balik bertanya.

“Iya, aku tau milik PT. Perwira. Terus apa hubungannya dengan Angga Bagaskara, hah?!” tanya Maya tak sabar. Rasa penasaran sudah membuncah di kepala wanita itu.

Bisma menginstruksi Maya agar tenang sebelum menjawab. “Yang kutahu, sih, Pak Angga memang punya ikatan keluarga dengan pemimpin PT. Perwira.”

Maya membatu. Tidak mungkin!

"Jangan becanda, Bis. Kulempar pakai KUHP nih mukamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status