Share

BAB 5 : MANTAN

"Siapa yang becanda, sih? Aku serius."

"Ish!" Refleks Maya menelungkupkan wajahnya ke meja, merasa kepalanya dihantam batu besar. Dia masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik.

Sandiwara apa yang sedang dan telah dimainkan Angga?

Angga mengangkat wajahnya sedikit hanya untuk bertanya. "Bis, guru-guru di sini dipilih langsung sama kepala yayasan 'kan?"

Bisma mengangguk. "Iya, May."

"Ish!" Maya ingin kembali menghantam wajahnya ke meja, tapi lebih dahulu ditahan Bisma dengan telapak tangannya.

"Jangan lukai wajahmu, May. Kita sama-sama tahu operasi plastik mahal. Penyok dikit keluar duit banyak." Bisma menasehati dan sukses membuat Maya menegakkan kepala.

Bisma memperhatikan Maya dengan saksama. Wanita itu tampak lesu. "Kamu kenapa, sih? Kayaknya lagi banyak masalah."

Maya pucat. Tidak ada darah yang mengalir di raganya. Suaranya melemah. "Kamu tahu 'kan rata-rata pendidikan guru di sini S2?"

Bisma menganggu lagi. "Iya, tau. Tapi bisa juga sambil nyelesaian S2 kayak Salsa. Kalo aku semalam daftar habis lulus S2, sih."

Setelah mengatakan itu, Bisma langsung menyadari sesuatu. Dahinya berkerut dalam. “Eh, May, bukannya kamu masih S1, ya?”

Nah, itu dia masalahnya! Pantas dari awal diterima beberapa bulan lalu, Maya merasa tidak masuk akal. Sebenarnya ketika mendaftar, satu kualifikasi tentang melanjutkan kuliah ke jenjang strata dua tidak wanuta itu isi. Waktu di wawancara pun, Maya itu gagap menjawab.

Lalu kenapa dia bisa diterima? Sedangkan dia yakin ada banyak pesaing dengan kompetensi mempuni?

Maya memejamkan mata. Bertepatan dengan pendaftarannya, memang ada pergantian kepala yayasan. Namun, Maya memilih tidak peduli. Dia mengira hanya sama nama. Siapa sangka, ternyata benar mantannya?

Apakah Angga terlibat dalam keberuntungan Maya? Tapi untuk tujuan apa?

Sentuhan ringan dibahu membuat Maya terlonjak. Dia hampir tidur panjang dan tidak ingin kembali lagi. Sayang dia malah dibangunkan untuk menghadapi kenyataan.

“Kamu kenapa, sih, May? Bahkan sejak kedatangan Pak Angga jadi aneh gini.” Bisma memegang dagunya yang habis dicukur, mengamati Maya. “Hati-hati, loh. Stres bisa bikin mukamu dipenuhi keriput.”

“Ish!” Maya bersungut sebal. Diambilnya cermin kecil dari dalam tas, lanjut menekuri setiap inci wajahnya.

Bisma tertawa, puas mengerjai wanita yang lima tahun lebih tua darinya itu. “Ya, lagian kamu kelihatan aneh banget, May. Gak biasanya aku liat kamu gini. Paling banter juga gak mood karna hari Senin."

Maya diam. Tidak menyahut. Bukannya mencairkan suasana, Bisma malah membuatnya berkali-kali lipat stres.

Kerutan adalah masalah serius!

Bisma bertanya lagi. Kali ini tidak main-main.

"Kamu punya hubungan apa sih sama Pak Angga sampai segitunya, May? Belum lagi 'kan anaknya manggil kamu mama."

“Hah? Dira manggil Bu Maya mama?!” Salsa yang diam-diam mendengarkan langsung merapatkan diri kembali ke meja Maya. “Maksudnya apa, Pak Bisma? Kenapa Dira manggil Bu Maya mama? Kok bisa?”

Bisma mengendikkan bahu tak tahu.

"Bu Maya! Jelaskan!" Tajam tatapan Salsa merubah atmosfer Maya menjadi penuh tuntutan.

Astaga, Maya rasanya ingin menghilang sekarang untuk mendapat kedamaian. Wanita itu mengembuskan napas kasar. “Aku juga gak tau kenapa Dira malah manggil mama. Waktu ditanyain juga jawabannya gak jelas. Bapaknya juga sama aja.”

“Wait.” Salsa bertingkah seperti detektif yang menemukan kesimpulan dari suatu perkara. Wanita itu berkacak pinggang. “Apa hubungan Bu Maya sama Pak Angga yang sebenarnya? Kok aku ngerasa kalian akrab? Belum lagi di saat kami nyebutnya Pak Angga, Bu Maya malah bablas manggil Angga doang.”

Haruskah Maya memberitahu mereka?

Maya bertafakur sebentar. Ya, tampaknya dia harus menjelaskan agar dua orang kepo itu tidak banyak bicara lagi.

“Angga itu mantanku,” ucap Maya tanpa beban.

Salsa melongo. Bisma refleks menegakkan badan.

"Kenapa? Kalian gak percaya?”

Bisma menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pengakuan Maya telah mematikan jantungnya beberapa detik. “May, kamu gak lagi becanda ‘kan?”

Maya menggeleng. “Emang aku kelihatan becanda?”

Salsa menyenggol Bisma pelan. “Benar, Pak Bis. Bu Maya gak lagi becanda. Tuh ada garis-garis halus di mukanya.”

Maya tersedak. Well, Salsa bukan ahli mikro ekspresi. Dia semata-mata ingin mengejek Maya atas pengakuan yang mengejutkan itu.

Maya berdecak. “Aku udah bilang 'kan? Ya udah habis ini jangan ditanyain lagi.”

Bisma membasahi bibirnya yang mendadak kering. “Kok bisa, May, Pak Angga jadi mantan pacarmu?”

Maya diam, lalu tidak sengaja mendapat ide cemerlang. Baru saja hinggap di otaknya. “Itu bakal jadi kisah yang panjang. Kalau mau dengar, sini kasih dulu masing-masing lima puluh ribu.”

Tangan Maya mulai menadah bak preman yang meminta jatah.

“Yeh!” Salsa mengeluarkan uang dari saku celana bahannya. Berlaku sama dengan yang dilakukan Bisma.

“Jangan-jangan Bu Maya putus gara-gara matre, nih!” ucap Salsa ketus. Wanita itu harus rela melepaskan uangnya secara percuma. Tapi kapan lagi mendengar cerita yang bagai drama Korea?

“Mana ada matre!” Maya tersenyum senang mendapat hasil jarahan dari Salsa dan Bisma. Sesaat melanjutkan bicaranya. “Aku aja baru tau kalau dia kaya.”

“Gak mungkin." Salsa berdalih, "Pak Angga ‘kan udah kaya dari sananya. Keluarganya aja turun temurun mengelola perusahaan."

“Ya makanya dengerin dulu!” Maya bersidekap setelah memasukkan uang ke dalam tas jinjingnya. “Dulu Angga gak begitu. Badannya gendut, beda sama yang sekarang. Dia itu anak rantauan dari Jawa. Gak pernah menunjukkan gelagat anak orang kaya. "

"Terus?" Bisma menantikan, meski dalam dadanya kini terasa nyeri. Laki-laki itu akhirnya tahu siapa mantan yang telah membuat Maya enggan membuka hati lagi.

"Aku gak tahu kenapa dia malah memilih Kalimantan buat sekolah, sedangkan orang-orang maunya sekolah di Jawa."

"Fasilitasnya paling, Bu, bagusan di sini." Salsa mencari alasan.

Maya membantah mentah-mentah. "Heh. Sekolahku itu biasa aja! Lagian kalau dia emang kaya, seharusnya bisa dong sekolah di tempat bagus. Kalau perlu di luar negeri sekalian."

Salsa mengangguk setuju. "Iya, sih, Bu. Terus gimana tuh Bu Maya bisa pacaran sama Pak Angga?"

"Itu, sih, ya ... kayak orang-orang biasanya. Deket. Pacaran. Habis lulus LDR-an karena dia kuliah di Jawa. Semester lima lost contact sampai sekarang. Eh, balik-balik malah bawa anak. Mana manggil mama lagi!"

Salsa manggut-manggut sambil memainkan rambutnya yang panjang. “Ah, tau saingannya orang dalam gini gak jadi aku mencalonkan diri sebagai Nyonya Bagaskara."

Bisma tak acuh dengan Salsa. Dia cuma menaruh minat pada Maya. “Gimana perasaanmu, May, setelah tahu Pak Angga balik lagi?”

"Aku ...." Maya menggantungkan kalimatnya di udara. Sejenak menatap langit-langit atap, lalu mengepalkan tangan penuh emosi. "Angga itu tukang PHP! Katanya kalo aku jagain anaknya bakalan digaji sejam lima ratus ribu!"

Salsa memutar bola mata malas. "Kalau urusan duit aja gercep."

Maya menyeringai, membenarkan duduk agar lebih nyaman. Wanita itu memberi petuah yang kini menjadi prinsip hidupnya. "Hei, gak ada di dunia ini yang lebih berharga daripada uang."

"Jangan-jangan Pak Angga balik lagi karena tahu Bu Maya mengajar di sini." Salsa berhipotesis. "Kayaknya Pak Angga masih naruh harapan sama Bu Maya, deh. Apalagi 'kan status Pak Angga itu duda. Sengaja nyuruh Dira buat manggil Bu Maya mama biar kepincut."

Maya merenungi ucapan Salsa.

Bisma terus mendengarkan, walaupun sebenarnya enggan.

Sekarang Salsa berpihak pada Maya. Tangannya menggebrak meja cukup keras hingga membuat Maya dan Bisma kaget. "Laki-laki model begitu, sih, harus diberi pelajaran, Bu Maya. Datang pas ada perlu doang! Kemarin-kemarin aja menghilang!"

"Tapi dia kepala yayasan kita." Bisma memperingatkan. "Salah dikit kalian didepak dari sekolah."

Maya mati kutu. Benar kata Bisma. Mereka tidak bisa bertindak sembarangan.

"Terus aku harus gimana???"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status