"Bian, pasti Karl yang menyuruhmu untuk mencari gadis manisku ini kan?" Nenek tersebut menoleh ke arah Bian, menaik turunkan asli–masih memperlihatkan raut muka bahagia. Bian menggaruk tengkuk, senyum-senyum salah tingkah pada nenek dari tuannya tersebut. "Nona …-"Sebelum Bian menjelaskan, Ruqayah Adam (ibu dari ayah Alarich)–Nenek Alarich tersebut langsung memeluk lengan Aeera, menariknya untuk menemui sang cucu. Tepat di depan Alarich, Ruqayah dan Aeera yang sudah memucat berhenti melangkah. Jaraknya cukup dekat dari posisi Alarich berdiri. 'Kenapa nasibku se sial ini sih? Padahal aku hanya ingin bercerai dengan baik-baik. Gitu ajah nggak bisa.' batin Aeera, menatap berang bercampur takut-takut pada sang suami yang telah melayangkan tatapan tajam padanya. "Karl, ini bidadari penolong Nenek," ucap Ruqayah senang dan penuh perasaan kagum. Nadanya lembut, sangat hangat di pendengaran. Dari cara bicaranya, itu membuktikan jika dia sangat menyayangi sang cucu. Alarich menaikkan seb
"To--tolong jangan apa-apakan aku, Pak. Kasihanilah aku, Pak."Ting' Tiba-tiba saja lampu menyala. Aeera seketika plonga-plogo menoleh ke sana kemari dengan mimik kaget bercampur waspada. Dia berada di kamar siapa? Sentuhan klasik sangat kental dalam kamar ini. Anehnya, dia tak menyadari kapan Alarich mendudukkannya di atas ranjang serba putih ini. "Perhatikan aku, Darling," ucap Alarich tiba-tiba, mencondongkan tubuh ke arah Aeera. Dia meraih dagu perempuan itu lalu mengangkatnya–memaksa Aeera untuk mendongak padanya, "malam ini, kau harus menerima hukumanmu." Aeera menggelengkan kepala secara panik. "Aku salah apa, Pak?!" protesnya. "Kau masih bertanya?" Alarich menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis yang terlihat tampan tetapi mengerikan secara bersamaan. "Kesalahan terbesar bagimu adalah berpikir jika kau bisa bebas dariku, Aeera," tambah Alarich, membuka jas yang ia pasangkan tadi di tubuh istrinya. Dengan santai, dia melempar jas– begitu saja ke lantai. Setel
"Ini paling ku benci!" tambah Ruqayah, menatap Aeera dan Alarich dengan raut muka serius. Dari suasana yang hangat, tiba-tiba saja berubah menjadi suasana menegangkan dan mendebarkan. 'Perasaan-- aku menjawab dengan sopan dan ramah, tetapi kenapa Nenek Ruqayah marah yah?' Aeera mengerjab beberapa kali, duduk tegap karena gugup sekaligus khawatir. Dia merasa jika dia tak melakukan kenakalan, lalu kenapa Nenek suaminya ini marah? "Karl suami kamu, Sayang. Kenapa memanggilnya dengan sebutan 'Pak atau Bos?" ucap Ruqayah, menggelengkan kepala secara ringan lalu menghela napas sembari menatap tak habis pikir pada Aeera dan Karl. "Ganti panggilan kamu pada suami kamu." Aeera mengerjab beberapa kali, menoleh ke arah suaminya dengan menatap kaku serta pias. 'Hais, aku panggil orang ini dengan sebutan apa? Cik, nggak sudi banget aku jika memanggilnya dengan sebutan suamiku. Gila sekali.' "Iya, Aeera. Coba kamu panggil Karl dengan embel-embel Mas," tutur Audriana, sembari tersenyum manis pa
"Sepertinya kita akan mandi bersama." Kalimat itu saja sudah membuat Aeera kejang-kejang dan membeku di tempat. Namun, tak sampai di sana. Alarich masih menambahi. Hanya satu kata, tetapi berhasil membuat pipi Aeera terasa terbakar. "Dek."Aeera menoleh gugup pada Alarich, menatap suaminya tersebut dengan tatapan malu-malu–salah tingkah karena dipanggil dek oleh Alarich. "Ada yang salah?" tanya Alarich, menatap sayup ke arah Aeera–menatap perempuan itu seolah dia satu-satunya objek di muka bumi ini. Di bibir Alarich, seulas senyuman jahil menyinggung. Dia bertanya seolah tak tahu kenapa Aeera menatapnya dan berhenti melangkah. Tentu saja Alarich tahu. Alarich suka semu merah di pipi Aeera. Sekarang dia tahu cara untuk memanggil semu merah tersebut. "Dek?" panggil Alarich kembali, seketika membuat Aeera buru-buru membuang muka. Aeera meremas pinggiran dress yang dia kenakan, mimik mukanya terlihat gelisah dan gugup. Aeera sangat tak suka dipanggil 'dek oleh pria atau siapapun itu s
Aeera sudah berada di perusahaan DeRoyal Hotel&Resort, tempat kerja sekaligus perusahaan raksasa milik sang suami. Meskipun begitu, Aeera tak pernah merasa dia bisa semena-mena bekerja di sini. Bagi Aeera, dia masih sama seperti sebelum menikah dengan Alarich, masih staf biasa yang harus bertanggung jawab pada tugas dan pekerjaannya. Harusnya Aeera langsung menemui Alarich, sesuai titah dari suaminya. Namun, Aeera tertahan oleh Aldi–manager di divisinya. Dia ditahan karena terlambat. "Ini ketiga kalinya kau terlambat, Nona Aeera." Aeera menatap pria yang saat ini sedang berbicara dengannya. Kemudian menunduk untuk menutupi raut muka kesal yang menyelimut di sana. "Dan ini-- paling parah. Kau terlambat tiga setengah jam." Aldi–sang manager, menatap Aeera dengan datar. Dia menyender bossy di kursi kerja, mengamati raut muka datar perempuan di hadapannya. "Gajimu dipotong 5 persen."Mata Aeera membelalak horor, spontan menatap manager tersebut dengan raut muka protes. "Pak, kenapa 5
"Aku nyerah, Pak Mas Alarich yang terhormat. Sudah dua kali bekalku dibegal di perusahaan ini. Aku pengen nuntut ke pengadilan, tapi pelakunya orang paling mampu di negara ini. Hakim mana percaya!" ucap Aeera lemah, menatap sayup bercampur dongkol ke arah Big bosnya. Alarich mendongak, menaikkan sebelah alis sembari menyunggingkan senyuman tipis. "Tidak masalah," jawabnya santai. Aeera mengerutkan kening, menatap heran pada Alarich. Kenapa Alarich tidak masalah jika dia berhenti bekerja?'Ah, iya. Aku kan sudah menjadi istrinya. Jika aku berhenti bekerja, otomatis aku hanya diam di rumah– seharian terkurung bagai di penjara. Ih, pantas saja Pak Alarich tak masalah.' batin Aeera, mempertimbangkan perkataannya tadi–dalam hati."Aku nggak jadi resign, Pak. Kata-kataku tadi kutarik. Selamat sarapan," ucap Aeera, terkesan ketus. Dia mendengkus kesal kemudian buru-buru keluar dari ruangan bernuansa monokrom tersebut. Alarich memperhatikan Aeera yang tengah berjalan keluar dari ruangannya
"Terimakasih, Kak," ucap Aeera lembut, setelah itu beranjak dari sana dengan langkah lemas. Dia baru saja melakukan pembayaran untuk semua pesanan di restoran ini. Aeera benar-benar lemas, gaji satu bulannya habis untuk membayar tagihan semua orang yang makan siang di sini. Sialnya, kebetulan ramai. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Ayu secara prihatin. Melihat wajah kusut sekaligus lemas milik Aeera, dia yakin jika temannya ini sedang tidak baik-baik saja. "Baik tapi nggak baik-baik amat," jawab Aeera lemas, menatap kosong ke arah depan–berjalan lesu menuju kubikel. "Ini." Ayu memberikan uang pada Aeera. "Itu bayaran untuk makan siangku dan Dewi. Aku nggak tahu pasti kondisimu seperti apa. Yang jelas dari raut mukamu, kamu sedang tidak baik-baik saja, Aeera.""Nggak usah, Yu." Aeera menolak uang pemberian Ayu tersebut. 'Kamu bayar juga udah nggak ada gunanya, Yu. Uang ini tak akan bisa menutupi kekurangan uang bayaran hutang yang telah kukumpul.' batin Aeera. Gara-gara insiden tadi, A
"Jadi aku tak diceraikan?" gumam Aeera tanpa sadar. Dia keceplosan! Alarich seketika itu juga melayangkan tatapan tajam pada Aeera. Raut muka senang di wajahnya langsung lenyap, berganti dengan guratan marah yang cukup menyeramkan. "Jadi kau sengaja menggunakan uang pemberianku supaya memancingku untuk menceraikanmu?" Aeera tidak menjawab, hanya melototkan mata dengan gugup–menatap takut sekaligus panik pada Alarich. Jantungnya berdebar kencang, terasa akan pecah dalam sana. Sial, kenapa dia harus keceplosan disaat seperti ini? "Jawab!" geram Alarich, mengatupkan rahang secara erat. Sorot matanya menggelap, penuh amarah yang meluap-luap. Dia paling membenci kata perceraian. Di antara dia dan Aeera, tak ada kata pisah ataupun cerai. Selamanya! Mereka akan menjadi pasangan suami istri selama-lamanya. Aeera menganggukkan kepala secara kaku. "Kau--" geram Alarich kembali, kali ini nadanya lebih rendah tetapi semakin menyeramkan. Sorotnya yang gelap lebih pekat–menandakan kemarahan ya