Share

Bab 2 Usaha Nayla

Nayla menatap kepergian Lukman dengan wajah yang sulit diartikan. Penasaran? Iya. Tapi, jika dia bertanya, pasti yang ada hanya kemarahan Lukman. Dan Nayla sedang tidak ingin berdebat kali ini. Karena berdebat dengan Lukman adalah sebuah kesalahan. Dan Nayla sangat membenci itu.

"Apa aku KB saja, ya? Seperti kata Mas Lukman?" gumam Nayla masih di depan cermin. Ah! Dia jadi kepikiran usulan bodoh dari suaminya agar dia bisa gemuk. Benar-benar suami yang egois.

Hingga malam tiba, Lukman belum juga pulang. Nayla begitu resah karena suaminya itu sama sekali tidak memberi kabar untuknya.

"Ck! Percuma ada HP, kalau hubungi orang rumah saja tidak bisa," gerutu Nayla. Sedari tadi, Nayla terus melihat ke arah handphone yang tergeletak di atas nakas. Sedari tadi menunggu telepon dari Lukman namun hanya menimbulkan kekecewaan.

Nayla meraih handphone-nya dan menekan aplikasi pesan berwarna hijau. Dibukanya kontak milik suaminya.

"Baru saja online tapi hubungi istrinya saja tidak sempat." Bibir Nayla mengerucut. Dia merasa kesal saat Lukman tidak menjadikan keluarganya menjadi prioritas.

[Mas lagi di mana?] send to Mas Lukman.

Tak langsung mendapat jawaban, rasanya Nayla ingin sekali melempar handphone-nya ke tembok. Tapi, tidak jadi dilakukannya karena dia merasa masih sayang dengan benda pipih itu.

"Ini saja aku belum lunas kreditnya, masak sudah mau kulempar, sih?" gumamnya seorang diri.  Nayla mungkin bukan termasuk istri yang  beruntung. Bahkan dia harus ikut memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Namun, semua itu dia lakukan dengan ikhlas. Meski terkadang dia merasa capek dan juga jenuh, tapi itu bukan berarti jika dia sama sekali tidak bersyukur. Dia bersyukur memiliki Lukman sebagai suami, meski terkadang dia harus banting tulang hanya untuk bisa makan dan memberi uang jajan untuk anaknya.

Nayla melihat ke arah jam yang ada di handphone-nya. Ini sudah jam delapn malam dan Lukman belum pulang. Padahal tadi dia pergi dari jam tiga sore.

Wanita itu kembali meraba-raba tubuhnya. Pantas saja suaminya sering membandingkannya dengan Ririn, ternyata memang dia sama sekali tidak menarik.

"Jika KB bakalan beneran gemuk tidak ya? Tapi, aku 'kan takut jarum suntik." Nayla terus bergumam seorang diri. Dia masih terus berusaha untuk menarik perhatian Lukman. Bagaimanapun dia masih sangat mencintai suaminya itu.

"Besok aku pergi ke bu bidan saja. Aku mau KB!" tekad Nayla.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu dibuka. Tanpa mencari tahu pun, Nayla tahu siapa yang datang. Lukman masuk ke dalam rumah sembari bersiul senang. Entah dia habis dari mana hingga terlihat begitu bahagia.

"Sudah pulang, Mas?" tanya Nayla. Wanita itu langsung beranjak dari kasur saat mendengar suara siulan Lukman. Kina yang terbiasa tidur awal pun kini sudah terlelap dalam tidurnya.

"Sudah!" jawab Lukman ketus. Raut mukanya tak sama dengan tadi saat dia masuk. Kini dia terlihat masam seakan tak berselera. Bahkan Lukman pun seakan enggan melihat ke arah Nayla.

"Mau aku buatin kopi, Mas?" tawar wanita itu pada suaminya. Melihat Lukman begitu kelelahan, membuat Nayla merasa iba.

"Hm ...! Sudah tahu itu kewajiban kamu jika suami pulang. Masih saja nanya!" Lukman masih saja berlaku ketus pada istrinya. Tak ingin mendapat banyak kata-kata kasar lagi dari Lukman, Nayla segera pergi ke dapur untuk membuatkan Lukman kopi.

Hal seperti itu sudah biasa bagi Nayla dan selama ini dia masih bisa sabar menghadapi sifat buruk suaminya itu. Selama suaminya itu masih setia, dia akan mencoba bertahan seberat apa pun hidup yang dia lalui bersama Lukman, Bukankah dulu dia menerima lamaran Lukman karena mencintainya? Harusnya ujian seberat apa pun bakalan dia terima.

Nayla muncul dari dapur dengan membawa secangkir kopi untuk suaminya. Seperti biasa, perhatian Lukman ada pada handphone-nya. Dan hal itu sudah menjadi pemandangan tersendiri untuk Nayla.

"Ini, Mas. Kopinya." Nayla meletakkan cangkir itu di meja yang berada di sebelah kursi tempat Lukman duduk.

Lukman melirik sekilas dan kembali menatap layar gawainya.

"Taruh situ!"

"Kok w*-ku nggak dibales, Mas?" Mencoba menanyakan hal yang terus mengusik hatinya. Membalas pesan dari orang lain saja dia bisa senyum-senyum sendiri, tapi pesan dari istrinya sedari tadi dibaca pun tidak.

"Ck! Kan udah ketemu? Nggak perlu lagi dibalas." Pandangan Lukman tak juga beralih dari layar gawainya.

Hati Nayla mendadak terasa sakit. Apa memang dia tidak berharga bagi suaminya itu?

"Kok baru pulang, Mas?" Nayla masih terus membuat percakapan dengan suaminya . Sungguh rasanya dia sangat kangen dengan Lukman . Sepertinya sudah lama mereka tidak bermesraan. Selain bercinta tentunya.

Lukman mulai terusik dengan pertanyaan Nayla, dia menoleh sekilas. Melihat istrinya dari atas sampai bawah, "Tahu sendiri jawabannya." Nayla masih terus berusaha membesarkan hatinya akan perilaku Lukman yang memang seringkali melecehkannya. Meski hanya secara lisan. Dia kembali menarik napas panjang agar amarah dalam hatinya dapat cepat teredam.

"Ehm ... liat apaan, sih, Mas? Kok senyum-senyum sendiri ?" Nayla melongokkan kepalanya hendak ikut melihat handphone suaminya. Namun, dengan secepat kilat, Lukman segera mengalihkan layar Hp-nya agar Nayla tidak melihatnya.

"Ck! Nggak usah kepo, Nay! Aku aja nggak pernah lihat HP kamu!" hardik Lukman. Hati Nayla tambah terasa sakit. Sejak kapan melihat HP pasangan dilarang. Biasanya juga mereka saling melihat ponsel masing-masing.

"Pelit, ah, Mas!" Nayla berlagak ngambek. Berharap suaminya itu bakalan peka dan merayunya. Namun kenyataannya nihil. Lukman tetap tidak menggubris keberadaan Nayla. Fokusnya tetap pada benda kecil yang ada di genggaman tangannya.

"Ck!" Merasa tidak diindahkan, Nayla segera beranjak dari duduknya. Lebih baik kembali ke kamar dan ikut tidur bersama Kina.

Sepeninggalan Nayla, Lukman sama sekali tidak merasa bersalah. Dia tetap asyik dengan gawainya sembari tersenyum-senyum sendiri.

Sampai di kamar, tetap saja Nayla tidak bisa memejamkan matanya. Sebenarnya dia sangat merindukan perlakuan manis dari Lukman, namun sepertinya dia harus menelan pil pahit lagi kali ini. Sudah hampir dua tahun ini hubungan mereka begitu hambar.

Perasaannya sungguh tidak tenang kali ini. Hati Lukman sudah tidak seutuhnya untuknya.

"Aku harus bagaimana?"

***

Nayla berencana menemui bidan pagi ini. Semua ini dia lakukan agar dia bisa gemuk, sehingga Lukman tidak akan berpaling lagi darinya.

"Ayo, Mas, anterin aku," ajaknya pada Lukman. Laki-laki itu sedang nongkrong di kursi depan, tentu saja dia tidak melupakan handphone-nya.

"Ke mana?" tanya Lukman singkat. Lukman menyesap rokok yang ada di tangan kanannya lalu meniupkan asapnya ke atas.

"Katanya suruh KB? Antar ke bidan, dong," rengek Nayla. Dia berharap Lukman akan melihat usahanya kali ini. Meski dia sangat takut jarum suntik, dia akan berusaha melawannya demi Lukman.

Raut wajah Lukman terlihat sedikit sumringah, "Baik, Nay. Mas ganti baju dulu, ya."

Melihat Lukman yang terlihat senang, Nayla tersenyum bahagia. Semoga saja usahanya kali ini membuahkan hasil untuk rumah tangganya. Jika dia menjadi gemuk, Nayla harap Lukman bakalan lebih perhatian sama dia.

Tanpa menunggu lama, Lukman sudah keluar lagi untuk mengantar istrinya ke bidan.

"Buk! Kita mau ke mana?" tanya Kina pada Nayla. Pasalnya hari masih pagi saat Nayla membangunkan putrinya tadi. Saat ini pun Kina mengucek matanya karena masih mengantuk.

"Ke bidan, Nak. Ibu mau berobat dulu," jawab Nayla.

"Ibu ta-kit," tanya gadis kecil itu lagi.

Nayla mengangguk, "Makanya Ibu berobat dulu, biar nanti sembuh dan bisa kerja lagi."

Kina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan ibunya . Entah paham atau tidak, nyatanya gadis kecil itu sudah tidak bertanya lagi.

"Ayo!" Nayla segera naik ke atas motor. Harapannya besar kali ini untuk membahagiakan suaminya.

'Semoga saja ... Mas Lukman bisa lebih betah di rumah,' harapnya dalam hati. Bayangan rumah tangganya yang kembali harmonis kembali menari-nari dalam kepalanya. Dia sudah tidak sabar menunggu waktu itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status