Share

4

Malam hari, di rumah sakit sendirian di lantai teratas karena ruangan VIP pastinya punya prioritas tersendiri. Ruangan VIP memiliki lantai tersendiri untuk setiap kegiatan pemeriksaan. Satu lantai sudah sepaket dengan ruangan operasi dan lab yang hanya di pakai khusus untuk pemeriksaan pasien VIP. Jadi tak perlu menunggu lama hanya untuk hasil labolatorium. Semuanya sepadan dengan harga tentunya.

                Tapi harga yang di bayar Mika rasanya sangat tinggi jatuhnya, ia berkali kali menelfon kakanya dan orang tuanya. Jawaban mereka hampir sama semua. Sedang tenggelam dalam kesibukan masing masing. Ada yang masih bekerja, ada yang masih di urusan bisnins dan bahkan belum menginjakan kaki di ibu kota.

                “Mika sekarat loh...” desah Mika sambil menaruh ponselnya di sampingnya. Dengan wajah yang tak mandi sedikitpun. Mika sudah di bantu membersihkan diri khusunya luka di dadanya dan juga  makan dengan teratur oleh perawat perawat di rumah sakit.

                Tapi yang Mika butuhkan lebih dari itu. ia butuh orang untuk di ajak berbicara denganya. Di sampingnya, menanyakan keadaanya. Bukan karena kewajiban memeriksa. Ia butuh seseorang untuk menanyakan kesehatannya, kondisinya, karena memang benar benar peduli padanya. Tapi mereka tak ada.

                Mika mencoba beranjak dari ranjangnya. Rasanya ia ingin menghirup nafas dengan sangat panjang di udara malam ini. Ia sudah pengap menghirup udara ber-AC yang justru sering ia hirup freonnya. Tak sesegar udara dari alam langsung.

                Mika kewalahan saat ia tersangkut dengan infus yang melingkar dan menusuk tangan kirinya. Rasanya sangat sakit saat cairan itu di paksakan masuk ke dalam pembuluh darahyan. Lebih sakit lagi saat jarumnya bergerak di dalam sana.

                “Arghh....!” Mika mengerang kesakitan saat ia mencoba untuk bangkit. Tapi akhirnya tak jadi. Ia tak jadi keluar dari ruangan ini karena rasa sakit untuk bangkit menghalanginya.

                “Kalau kamu mau mati, sia sia kamu ke rumah sakit. Jangan mati di rumah sakit.” suara yang terdengar lebih ke ancaman itu membuat Mika melengos. Ke arah pintu yang sekarang terbuka dan terdapat tubuh Raka di sana. Dengan stelan jas yang sama seperti pagi tadi saat kali ketiga mereka bertemu.

                Raka mendekati Mika dengan langkah panjangnya. Hanya butuh berapa langkah dan mereka bertemu. Raka berdiri di samping Mika dengan tangan yang memegang sebuha laporan yang tak bisa Mika ketahui isinya. Tapi lebih karena hanya Raka yang bisa membaca dan mengerti maksudnya.

                “Besok kita lakukan pemeriksaan menyeluruh ke katup jantung kamu,” ucap Raka dengan sangat dingin. Ia melihat ke arah infus Mika dan seperti hendak menancapkan jarumnya dalam dalam agar tidak bisa di lepaskan oleh gadis itu.

                Mika mendapati kalau mata Raka sedang menatap ke arah tanganya yang memerah karena usahanya untuk melepaskan diri itu.

                “Dokter tau? Kalau bertemu lebih dari tiga kali konon katanya itu takdir?” tanya Mika mengalihkan pembicaraan. Raka hanya tersenyum tengil meremehkan takdir apa yang sedang di katakan Mika ini.

                Mata Mika mengobsevasi kemeja dan juga jas yang Raka kenakan. Terdapat nama yang sedang Mika cari cari. Raka Adiwiswara. Mika akhirnya menemukan nama itu.

                “Dokter Raka percaya takdir?” tanya Mika dengan nada suara yang berubah. Membuat Raka yang sedang sibuk mengatur infus terperanjat. Ia tak tau kalau Mika mengetahui namanya. Berkenalan jgua tidak. Tapi secepat kilat Raka  mengkondisikan wajahnya itu. tapi terlambat, Mika sudah melihat wajah kaget Raka yang menurutnya terlihat lucu.

                “Saya tidak percaya takdir...” ucap Raka dengan dingin, membuat Mika jadi ragu untuk melanjutkan tawa mengejeknya. Raka melanjutkan pekerjaanya. Terdengar kata bullshit yang keluar dari mulut Raka.

                Raka memutuskan untuk tidak terinterupsi oleh Mika bagaimanapun caranya. Ia kembali ke mode profesionalitas yang sering ia gunakan saat berada di rumah sakit.

                “Besok infusnya akan habis, besok juga kamu bisa bebas tanpa infus.” Ucap Raka dengan masih melihat infus yang masih tersisa setengahnya. Ia kira, akan habis malam ini dan esoknya ia atau perawat yang akan melepaskan. Terdengar desahan nafas Mika yang lega.

                Tapi seringai Raka membuat Mika ngeri.

                “Besok kita lakukan endoskopi. Lebih menyakitkan dari pada pasang infus.” Tutur Raka dengan nada memberitahu, sekaligus memperingati, tapi juga mengancam. Mika sampai berpikir sejenak kalau Raka itu keturunan iblis karena banyak dokter akan menenangkan. Tapi Raka malah bukannya menenangkan dengan mengatakan semuanya akan baik baik saja, dia malah menuju langsung ke poin utamanya. Seperti mengatakan, rasanya akan sama seperti di tusuk belati. Seperti keluar dari neraka dan masuk ke neraka baru.

                Raka selesai melakukan pemantauan alias pemeriksaan rutinnya. Ia tak punya waktu tersisa untuk hari ini, kalau tak mau minum air kran lagi. Ia harus cepat pulang bergerak menyusuri lorong lorong swalayan dan membeli makanan untuknya. Karena makan siang di kantin rumah sakit nyatanya tak membuat perutnya yang sudah berlari selama berjam jam sepanjang lima kilo meter itu puas.

                Raka hendak berbalik badan saat melihat Mika sedang menatap kosong ke sekeliling ruangan dengan wajah pias. Pucat kenapa? Semuanya baik baik saja saat Raka memeriksanya. Namun tanpa sadar, Raka merasakan hal yang menjadikan ia mirip dengan pasiennya itu. Kesepian dan kesendirian. Tak ada yang namanya komunikasi selain saat Mika di periksa.

                Tapi Mika tak mengindahkan kehadiran Raka lagi. Ia sibuk melamun sampai tak tau kalau dokternya sudah pergi begitu saja.  Dan Mika kembali sendirian. Komunikasi dengan sesama manusia yang sering ia lakukan selama di rumah sakit.

^^^

                Raka menyusuri lorong lorong dengan sangat cepat memilah dan memilih segala jenis makanan yang akan ia simpan di kulkas dengan cepat. Banyak sekali botol minuman yang akan ia beli, mulai dari soda, air mineral bahkan susu kotak dengan ukuran tak kurang dari satu liter.

                Tangan Raka terangkat untuk mengambil sereal gandum di rak paling tinggi, untung saja ia memiliki tinggi yang lebih dari seratus delapan puluh centimeter. Hampir mendekati seratus sembilan puluh memang. Tapi tak menyentuh itu. ia akan jadi manusia raksaksa kalau begitu.

                Raka mengamati super market yang sangat ramai sekarang ini, ia bahkan jadi todongan orang orang. Laki laki lajang yang sedang berbelanja sendirian. Raka makin mempercepat langkahnya dan menuju ke kasir untuk membayar belanjaanya.

                Si kasir yang melihat trolli belanjaan Raka makin heran bercampur senyuma geli.

                “Belanja bulanan Pak....” sapa perempuan itu sambil menarik belanjaan Raka dan menaruhnya di mesin scanner barcode. Raka hanya tersenyum simpul dengan sangat kaku. Sekarang ia tau kenapa ia jadi pusat perhatian orang orang. Karena sudah mirip dengan ibu ibu.

                “Dokter Raka mau saya bantu bawa ke apartemen?”

                Tiba tiba suara itu membuat Raka menoleh, ada Pevita yang sedang melayangkan senyuman manis padanya. Tapi tak mempan pada Raka yang notabennya pria super dingin, dan kadang berlidah tajam.

                Sang kasir terkeke tertahan saat melihat Pevita tak di gubris oleh Raka. Tapi Pevita malah melirik sebal ke arah si kasir yang tak bisa menahan tawanya itu. membuat Pevita jadi geram.

                “Raka, kamu engga ada shift malam kan besok?” tanya Pevita masih dengan usaha untuk mendekati hati Raka. Tapi laki laki itu diam tak bergeming, ia malah lebih memilih fokus mendengarkan bunyi bippp tiap belanjaanya selesai di scann.

                “Aku mau minta bantuan kamu, buat temenenin aku-“

                “Besok saya ada kerjaan, lembur dan ada endoskopi pasien VIP.”jawaban Raka langsung memutus segala peluang Pevita untuk berduaan dengan Raka. Ia mencebik sebal karena melihat kasir di depannya tak menahan tawanya. Tak memperhatikan kalau Pevita sudah bersemu sangat malu dan ingin pergi begitu saja.

                Tiba tiba Raka berbalik dan mentap Pevita, memberikan harapan kalau laki laki itu akan berubah pikiran. Sesaat, Pevita seperti berada di atas awan.

                “Tapi kalau kamu butuh bantuan segera...” ucap Raka masih dengan suara barton yang sangat maskulin beraroma mint itu.

                Kamu yang akan bantu kan! Pevita sangat berharap di dalam hati.

                “Kamu bisa minta bantuan Dokter Brian, karena dia cuman shift pagi besok.” Sela Raka dengan menerima kartu kreditnya dan bergegas mengambil barang belanjaanya dan meninggalkan Pevita yang seutuhnya sudah tidak punya wajah lagi di depan dua kasir di depannya. Pevita yakin! Ia takan memasukan kakinya lagi ke dalam supermarket ini. Dan Raka melenggan pergi tanpa melihat wajah merah padam Pevita.

^^^

                Mika menekukan badannya, mencoba mencari kehangatan walaupun ia sudah mematikan AC sebelum tertidur, tapi rasanya bermalam di rumah sakit untuk sehari saja takan ada yang merasakan nyaman, sama seperti Mika.

                Ia merasa harus berjalan ke kamar mandi dengan tertatih. Mika tiba tiba teringat dengan kata kata Raka padanya.

                “Dokter Sialan!” umpat Mika, ia sekarang tau kenapa ia tak bisa tidur dengan tenang. Karena ucapan Raka barusan sebelum laki laki itu pergi. Rasa sakitnya melebihi dari di infus. Mika mencoba tersenyum dengan tegar. Kali ini, ia harus menghadapinya. Lagi lagi sendiri.

                “Tenang Mika! Semuanya akan mudah,” sela Mika sambil menyemangati dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi, dengan tiang penyangga infus yang ia bawa kemana mana. Membuat pergerakan Mika jadi terhalang.

                “Argh!!” Mika berteriak dengan bibir yang terasa bergetar, ia nekat melepaskan infus itu sendirian karena merasa terganggu dengan selang selang itu. Nyatanya ia tak berpengalaman untuk melepaskan jarum infus dari tubuhnya. Mika menyesali kebodohannya yang terulang sampai dua kali ini. Ia takan melaukan ini.

                Tapi ini semakin membuat Mika jadi sangsi, sesakit apa nantinya kalau ia melakukan endoskopi? Memasukan kamera kecil atau apalah itu yang bernama endoskop ke dalam tubuhnya? Rasanya sudah tak bisa di prediksi. Sakitnya bukan main pasti. Dan semua pikiran buruk ini gara gara Raka Dokter itu yang menjadi penyebabnya. Dia yang patut di salahkan!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status