Ting!Lagi-lagi bunyi pesan masuk dari ponsel dalam genggaman. Sangat mengganggu, untuk sesaat aku merasa benci pada benda pipih yang sedanng ku genggam. Dengan ogah-ogahan jari bergerak membuka pesan. Sudah tau siapa pengirimnya, makanya membuka pun dengan setengah hati.[Kenapa belum bersiap, dan turun ke bawah. Katanya ingin tau siapa aku?] Segara kugerakan jempol membalas pesan misterius yang barusan masuk ke HPku.[Mau sholat isya' dulu! Emang kamu nggak sholat?] balasku dengan di iringi emoticon tersenyum miring.[BTW ... kamu cantik di bawah sinar bulan] Spontan kuangkat tangan ke atas hendak melempar ponsel yang ku pegang . Untung saja otakku berfungsi dengan cepat. Ku edarkan pandangan mengelilingi sekitar. Dari atas ke bawah dari samping ke sisi yang lain, tapi tak juga mendapati wujud pria yang menerorku. Balik badan, segera kuseret kaki masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustasi. Kepala seraya mau pecah, memikirkan siapa dia. Jiwa penasaran meronta sampai ke ubun-ubu
"Maksudnya?" Ku tautkan kedua alis. "Ya ... anda 'kan Pak Rayhan. Pria aneh yang selalu muncul dimana saja. Di pantai! Di rumah makan Padang! Di trotoar depan kantorku! Di bandara! Sudah kayak siluman," ucapku kesal. Sudah di depan mata saja, masih mau main teka-teki. Bertele-tele.Pak Rayhan menatapku dengan tatapan sayu, lalu menarik kedua sudut bibir. Mengukir senyum yang sangat terpaksa. Pria itu merogoh saku celana mengeluarkan remote, lalu balik badan menghadap layar. Ku perhatikan setiap gerakannya dengan melipat dahi. Heran dan penuh tanya.Aku menatap layar yang sudah berganti poto. Di depan sana, terpampang sebuah poto yang di dalamnya tercetak sosok dua pria. "Mas Andi," gumamku. Aku mengenali sosok yang sedang tersenyum menghadap kamera dengan merangkul pundak teman di sebelahnya. Namun tidak dengan pria berkacamata dengan rambut yang sedikit griting. Sekilas, seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal."Iya ... dia Andi. Dulu kami adalah teman, dan sampai sekarang
Pak Rayhan mengantarku ke hotel tempat aku dan Sandra menginap. Alunan lagu menunggu kamu yang di bawakan oleh Anji, membuat aku semakin terbawa suasana sepanjang perjalanan. "Lagu ini untukmu." Suara Pak Rayhan memecah keheningan malam. Aku menautkan alis mengingat sesuatu. Ku miringkan badan menghadap Pak Rayhan yang sedang menyetir."Jadi ... lagu ini sengaja Bapak nyanyikan saat di pantai waktu itu?" Laki-laki beralis tebal itu melirik sebentar, dan mengukir senyum lalu melihat lagi lurus ke depan. Pembawaannya yang bersahaja, semakin menambah ketampanannya yang seakan tak hilang meski di telan gelap malam. Membuat hatiku berdecak kagum.Pak Rayhan mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tapi memanah tepat di jantung hatiku. "Lirik lagunya, pas denganku yang sedang berjuang menunggumu, pemegang hati." Sumpah! Kata-katanya membuat aku meleleh. Aku yakin, wanita manapun akan mencair, dengan kata-kata Pak Rayhan barusan. So sweet sekali."Gombal." Astaga! Rasanya ingin ku cabe
"Saat aku dan Mas Diki tau, kalau itu kamu. Kami berencana akan mendekatkan kalian. Kayak Mak comblang gitu," ucap Sandra dengan kekehan diakhir kalimat. Aku menyimak semua kalimat dari Sandra tanpa protes. Aku ingin mendengar kenyataan tentang Pak Rayhan. Entah kenapa, hatiku begitu antusias ingin mengetahui semuanya.Sandra menggerakkan kembali badannya ke posisi awal, sahabatku itu menatap langit-langit sejenak sebelum melanjutkan kata. "Wi ... Pak Rayhan itu sangat mencintai kamu. Dalam banget, aku dan Mas Diki saksinya. Dia mengorbankan semuanya untukmu. Bahkan saat dia tau kalau Bagas itu dalang dari putusnya kamu sama Andi, Pak Rayhan marah banget, tapi saat dia kembali, untuk mengungkap segalanya, kamu sama Bagas sudah menikah dan melihatmu bahagia, lagi-lagi dia mengorbankan perasaannya hanya untuk kamu, Wi. Kasian tau!" Dalam hati bersorak riang. Entah kenapa, ada rasa bahagia yang mengalir ikut serta dalam setiap aliran darah, memompa jantung berdebar kencang. Namun seka
Ting! Bunyi suara Hp, petanda ada pesan masuk. Bergegas aku melangkah besar menuju ruang tengah, tempat di mana HPku tergeletak. Aku mengernyitkan dahi, setelah membuka aplikasi berwarna hijau tersebut. Pesan dari Sandra? Tumben sekali nih anak WA. Biasanya langsung telpon. Aku berpikir sejenak, sebelum membuka pesan tersebut. "Wi, ini Bagas 'kan? Ini suamimu 'kan ?" tanya sandra lewat pesan WhatsAppnya. Ku buka foto yang dikirim Sandra. Ku amati dengan teliti dan benar itu memang foto Mas Bagas, tapi kenapa Mas Bagas memakai kemeja putih polos dilengkapi dengan songkok hitam menghiasi kepalanya. Seperti sedang melakukan proses ijab qobul. "Iya Ra … iya itu Mas Bagas. Dapat darimana kamu foto ini, dan kenapa Mas Bagas berpakaian kayak orang yang sedang melangsungkan ijab qobul," tanyaku pada Sandra. Hatiku mulai resah, tapi berusaha tetap tenang. Tanpa membalas tiba-tiba gawaiku langsung berbunyi tanda panggilan masuk. Ternyata Sandra yang menelpon. Tanpa berpikir l
Sembari menunggu Sandra, iseng aku menelpon Mas Bagas melalui panggilan video call, tapi gak diangkat olehnya. Saat panggilan ketiga dia malah mereject. Mungkin saat ini dia sedang bersama istri mudanya, hingga teleponku diabaikan. Sekitar dua puluh menit menunggu, akhirnya sandra tiba juga. Ia tak turun dari mobil, hanya membunyikan klakson sebagai kode supaya aku yang datang menghampirinya. Setelah mengunci pintu aku berjalan ke arah mobil Sandra dengan memeluk tas ransel yang isinya pindahan dari isi brankas. Masuk ke dalam mobil dan duduk manis di sebelah Sandra. Tanpa kupinta air mata ini turun lagi. Satu hal yang paling kubenci dalam diri ini, adalah terlalu mudah untuk mengeluarkan air mata alias cengeng. Air mata ini akan turun dengan begitu mudahnya, bahkan hanya dengan menonton drama sedih, mata ini akan menangis pilu. "Sudahlah ... hapus air matamu. Jangan pernah kau tangisi laki-laki sebrengsek Bagas. Air matamu terlalu berharga untuknya," ucap Sandra mengelus pu
Sampai jam sembilan malam, belum ada tanda-tanda Mas Bagas akan pulang. Ditelpon HPnya malah mati. Mondar mandir sudah kayak setrikaan, tapi lelaki yang bergelar suamiku itu belum juga ada tanda-tanda menampakkan batang hidungnya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskan, kuputuskan berbaring di sofa. Karena badan terasa capek, kaki pegal akibat bolak balik dari pintu ke arah sofa. Jika dihitung mungkin sudah berjalan berapa kilometer. Lama menunggu, hingga akhirnya aku terlelap. Sayup-sayup terdengar deru mobil dari arah luar. Kupandangi jam yang tergantung di dinding, menunjukkan pukul 23:00. Sudah selarut ini akhirnya orang yang ditunggupun menunjukkan wujudnya. Saat pintu terbuka sempurna, badan Mas Bagas seketika menegang saat mendapatiku yang sedang duduk di sofa menatap ke arahnya. Lelaki pengkhianat itu terlihat menarik nafas panjang, terlihat sekali jika dia sedang gugup, tapi dalam sekejap pria itu bisa menguasai diri. "Loh, kamu belum tidur, sayang?" tanyanya s
Ha ha ha ... Makan tuh. Aku tertawa jahat melihat ekspresi wajahnya. Rasanya puas sekali, niat ingin menjadi nyonya pupus seketika. "Apa gak salah, saya tidur disini?" tanyanya seraya menunjuk ke dalam kamar. Mungkin dia nggak sadar dengan ucapannya barusan. Aku mengernyitkan dahi. "Maksud kamu?" "Ma–maksud aku, apa ini gak kekecilan. Aku 'kan harus tidur dengan ibuku," ucapnya gelagapan. Dia pikir aku tidak tahu apa isi kepalanya. "Ini sudah cukup besar buat kamu dan ibu kamu. Lagian, ada ya, pembantu menawar pada majikannya." Lika hanya terdiam mendengar jawabanku. Benar-benar mati kutu. Niat hati menyamar jadi pembantu hanya untuk masuk, eh ... taunya jadi pembantu beneran. Silahkan berkhayal perempuan busuk. Aku akan menggagalkan semua rencanamu. Jika kau memang menginginkan suamiku, silahkan ambil saja, tapi takkan kubiarkan kau nikmati sepeserpun yang bukan hakmu. "Sayang, Mas berangkat ke kantor dulu ya." Tiba-tiba Mas Bagas datang menghampiri ingin pamit.