Share

Aku tidak mandul, Mbak!

Fitri begitu terkejut merasakan tangan kekar tiba-tiba melingkar di perutnya. Segera ia memutar tubuh sambil berusaha melepaskan tangan tersebut. Matanya terbelalak seketika ketika melihat suaminya yang tengah melakukan itu.

"Mas, kenapa ada disini?"

Fitri menoleh ke kanan dan kekiri, ia merasa khawatir jika mertua dan kakak iparnya melihat keberadaan sang suami bersamanya.

"Memangnya kenapa? Apa ada masalah? Aku merindukanmu, Sayang. Apa kamu sudah puas sekarang? Keinginanmu sudah ku turuti, katakan, apa lagi yang harus kukorbankan, selain perasaanku ini," ucap Bastian dengan suara bergetar.

"Maafkan aku Mas, tapi aku melakukan ini untuk kebahagiaanmu,"

Bastian mendengus sesaat, selalu itu jawaban yang di lontarkan istrinya. Apa istrinya pikir ia bahagia dengan pernikahan ini.

"Kamu benar-benar egois, Fitri. Tidakkah kamu tahu kebahagianku adalah dirimu. Jangan salahkan aku jika sikapmu ini bisa saja membuatku berpaling," Bastian menggertak dengan tegas.

"Tidak apa, Mas, aku ikhlas," Fitri menjawab tenang disertai seutas senyum menghiasi wajahnya.

Detik kemudian, Bastian mencengkram kuat bahu Fitri tiba-tiba. "Katakan padaku! Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi? Apa salahku,  Sayang? Kenapa kamu mempermainkan pernikahan kita ini, aku sungguh mencintaimu, Fitri," suara Bastian melemah, di sertai bola mata yang mulai basah.

"Mas.... " Fitri menggigit bibirnya yang bergetar, menahan agar air matanya tidak keluar.

Dengan cepat Bastian menarik pinggang  Fitri, kemudian menciun kasar bibirnya.

Fitri terkejut dan berusaha memberontak, namun sia-sia tenaganya kalah oleh sang suami.

Bastian semakin meluapkan emosinya melalui kecupan-kecupan di bibir mungil sang istri. Dia tak memberikan Fitri bernafas. Beruntung keadaan di dapur sangat sepi yang terdengar hanya bunyi gemercik air di dalam wastafel.

Akan tetapi sesorang di balik gorden pintu, menutup mulutnya rapat saat melihat suaminya bercumbu mesra dengan istri pertamanya.

Alice menarik dan menghembuskan nafas berkali-kali, meredam gemuruh di dadanya saat ini.  "Alice, Mbak Fitri itu istri pertama suamimu, hal sangat wajar jika ia melakukan itu," Alice berusaha menenangkan hatinya.

.

.

.

Pasangan suami istri yang saling mencintai itu masih saja bercumbu mesra  didapur.  Fitri yang semula enggan melayani sang suami namun nyatanya terbuai juga dengan permainan Bastian. Tanpa sadar sekarang wanita berhijab itu tengah mengalungkan  tangannya di leher Bastian sembari berjinjit.

Sementara Bastian memegang pinggang istrinya tanpa menghentikan gerakan lidah yang berselancar ria  di dalam rongga mulutnya. Menyadari nafas Fitri mulai tersengal-sengal, Bastian pun menghentikan ciumannya lalu memeluk erat tubuh Fitri.

"Mas kembalilah ke depan, para tamu pasti mrncarimu, terlebih Alice pasti juga tengah menantimu juga," ucap Fitri lalu menghapus jejak permainan sang suami.

Bastian mendengus, tak mengerti mengapa sang istri seakan menghindarinya, padahal setelah meluapkan semua perasaannya barusan, dia berharap Fitri akan meminta bersamanya.

"Baiklah aku akan kedepan, kamu menyusullah, biarkan Bik Mar yang melakukan pekerjaannya. Mengapa kamu yang membuatkan minuman untuk para tamu, apa ada yang menyuruhmu?" Bastian sejak tadi penasaran, kenapa istrinya malah sibuk di dapur membuat minuman tidak bergabung dengannya diluar.

"Tidak ada yang menyuruhku, Mas. Aku yang berinisiatif sendiri, lagipula minuman di luar sudah mau habis, kasihan Bik Mar dia bekerja sendiri dari kemarin," jawab Fitri dengan lembut.

Bastian memicingkan mata, mencari kebohongan dari setiap kalimat yang diucapkan istrinya. Dia merasa istrinya menyembunyikan sesuatu darinya. Dalam kegamangan hatinya ia menatap Fitri dengan lekat.

"Bastian!"

Sang kakak keluar dari balik gorden, melangkah cepat mendekati mereka.

"Di sini kamu ternyata, Bastian ayo ke depan Pak Kades ingin bicara denganmu," Rita berkata sembari melirik Fitri sesekali.

Bastian tidak menyahut, ia tengah berinteraksi dengan Fitri melalui bahasa isyarat, jika ia akan ke depan berbicara dengan mertua barunya

Fitri mengangguk pelan.

Selepas kepergian Bastian, Rita menatap tajam Fitri.

"Apa tadi kau mengatakan jika aku dan Bunda yang menyuruh membuat minuman?" tanya Rita sinis, ia takut Bastian mengetahui perlakuan mereka terhadap istri tercinta sang adik selama ini terbongkar.

Fitri tersenyum, bicara dengan tenang. "Tidak Mbak, tidak ada gunanya aku memberitahukan perlakuan kalian selama ini pada suamiku,"

Rita melebarkan mata, ia merasa tersinggung meski Fitri berkata pelan dan lembut tapi tetap saja membuat emosinya naik.

Dulu, Rita memang menyukai Fitri, namun seiring berjalannya waktu, perasaan iri merasuki hatinya karna sang adik selalu saja memperlakukan Fitri bak ratu. Rita merasa cemburu karna perlakuan itu tak pernah ia dapatkan dari  suaminya yang sering melakukan KDRT padanya, sekarang sudah berpisah.

"Kau bilang apa? Kau mulai berani denganku sekarang! Cih! Dasar wanita mandul," cerca Rita.

Fitri menahan sabar, bibir tipisnya tetap menunjukkan senyum.

"Aku tidak mandul," ucap Fitri sembari menyentuh pundak Rita. "Mbak, apakah pantas sesama wanita saling menjatuhkan? Bagaimana kalau Mbak yang berada di posisiku? Apa Mbak sanggup hidup bermadu? Maaf jika perkataanku menyinggung perkataan Mbak, aku permisi dulu, mau mengantarkan teko ini kedepan,"

Fitri berlalu pergi sambil membawa nampan berisi beberapa teko, meninggalkan Rita yang masih tertegun.

.

.

.

Acara yang di selenggarakan dari pagi hingga pukul dua siang sudah selesai. Baik keluarga Alice maupun keluarga Bastian sudah kembali kerumah masing-masing. Begitu juga dengan Ibu Bastian sudah pulang ke rumah belakang.

Rumah Bastian dan Ibunya memang masih dalam satu lingkup, berjarak sekitar delapan meter dari rumah Bastian.

Keluarga Bastian adalah keluarga terpandang di desa, dulu mendiang ayahnya merupakan seorang pengusaha yang bergerak di bidang perikanan dan pertanian. Kini usaha tersebut di lanjutkan oleh putra bungsunya, yaitu Bastian sendiri.

"Alice," Fitri memanggil madunya yang berada di dalam kamar pengantin.

Alice yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, sedikit tersentak mendengar suara Fitri. "Iya, Mbak," jawab Alice.

Fitri berjalan mendekat, lalu menjatuhkan bokongnya di samping Alice. "Ada apa? Apa kamu kelelahan?"

Alice menghela nafas panjang. "Mbak, bolehkan aku bertanya sesuatu?"

"Tentu boleh, apa yang ingin kamu tanyakan?"

"Sebelumnya aku minta maaf, Mbak. Tapi, bolehkah aku tahu alasan Mbak merelakan Mas Bastian menikah lagi?"

Alice teringat beberapa hari yang lalu, ketika Fitri datang kerumah orangtuanya. Meminta ia agar mau menikah dengan Bastian, pria berparas tampan dan menawan, begitu di minati kaum wanita hawa di desanya, termasuk dirinya sendiri yang juga sudah lama tertarik dengan pria telah beristri itu.

Waktu itu Fitri hanya mengatakan jika suaminya butuh istri lagi, Alice begitu senang saat Fitri memilih dirinya. Ia rela walaupun harus menjadi yang kedua sebab dirinya juga sudah lama mengagumi Bastian.

"Mbak, jawab pertanyaanku, kita sama-sama istri Mas Tian, anggaplah aku adikmu Mbak," desak Alice karna sejak tadi Fitri hanya diam.

Fitri menghela nafas dalam-dalam. "Alice, sebenarnya Mbaklah yang meminta Bastian menikah lagi, semua Mbak lakukan untuk kebaikan dan kebahagaiannya, hanya itu alasan Mbak memintanya menikah lagi,"

Istri mana rela membagi suaminya dengan wanita lain. Begitu pun dengan Fitri, jauh di lubuk hatinya ia tak menginginkan semua ini. Tapi ia mencoba mengikhlaskan, meski tahu kedepannya ia akan terluka.

"Kebaikan dan kebahagiaan mana yang Mbak maksud? Nyatanya aku tadi mendengar sendiri, kebahagian Mas Tian adalah Mbak,"

Alice tak bisa lagi menahan diri untuk tak menyampaikan kegundahan hatinya. Sejak mendengar percakapan Fitri dan Bastian di dapur tadi, perkataan Bastian selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia tak tahu jika Bastian sebenarnya tak ingin menikah lagi, baru ini ia tahu jika pernikahan ini bukanlah keinginan Bastian sendiri.

"Alice apa kamu tadi melihat... "

"Maaf Mbak, jika tadi aku lancang, melihat dan mendengar obrolan kalian," potong Alice.

Fitri dapat melihat kecemburuan yang mendalam dari sorot mata Alice saat ini.

"Alice, Mas Tian itu kalau sedang marah memang akan melampiaskan kemarahannya dengan bercumbu, mungkin nanti kalau kamu tengah bertengkar dengannya pun, Mas Tian juga akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu lihat,"

Mendengar itu, Alice tersipu malu, ia kini tengah menunduk dengan wajah yang merah, membayangkan Bastian akan mencumbunya.

"Alice, sekarang Mas Tian juga, cobalah selami hatinya, Mbak yakin suatu hari nanti dia juga akan mencintaimu,"

"Tapi Mbak, apakah aku bisa membuat Mas Tian mencintaiku? Sedangkan aku merasa sebagai orang ketiga yang akan merebut Mas Tian dari Mbak,"

"Alice, jangan berpikir seperti itu, bukan kah Mbak yang memintamu menjadi madu, kalau kamu melakukannya dengan ikhlas, maka Allah yang akan membuka pintu hati Mas Tian untukmu nantinya. Malam ini mulailah mengambil hatinya," ujar Fitri membuat hati Alice sedikit tenang.

.

.

.

Sementara Bastian, usai acara pernikahannya lansung pergi ke lantai dua yang ada di kediamannya, duduk menghadap ke hamparan sawah yang membentang. Pria yang baru saja memasuki usia kepala 4 itu, kini tengah berperang dengan perasaannya. Ia takut ini siasat istri pertamanya untuk pergi meninggalkannya nanti.

Benaknya dari tadi di penuhi tanda tanya, resah dengan statusnya yang saat ini telah mempunyai dua istri.

Hingga mendekati waktu adzan maghrib, ia baru beranjak dari duduknya bersiap-siap menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba. Lepas mandi dan mensucikan diri, ia masuk ke kamar yang biasa ia tempati bersama Fitri yang ternyata masih kosong.

Dalam hati, ia bertanya-tanya kemana perginya istri pertamanya itu. Biasanya di waktu maghrib mereka akan melaksanakan ibadah bersama, serta istrinya juga menyiapkan pakaian untuknya.

Selasai beribadah dan berpakaian, Bastian bersantai diatas tempat tidur, seperti yang ia lakukan bersama Fitri dulu, tapi bedanya kali ini istrinya itu tak menemaninya sekarang.

Tok! Tok! Tok!

Mendengar suara ketukan pintu, Bastian bergegas berdiri membukanya. Pikirnya yang datang pastilah Fitri--istri pertamanya.

Namun Bastian harus menelan kekecewaan saat melihat yang berdiri di depan pintu bukanlah Fitri melainkan Alice.

"Mas, makan malamnya sudah siap, ayo kita turun kebawah," ucap Alice dengan wajah menunduk malu-malu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status