Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Bugh!Vivian Alexander seketika merasakan tubuhnya terbaring di tempat tidur yang sepertinya berada di hotel milik keluarga Salveston, sang suami yang baru saja dia nikahi tadi.Namun, alkohol yang baru pertama kali diteguk gadis cantik itu di pesta tadi membuat dirinya dalam keadaan tak terlalu sadar.Dia bahkan tak menyadari, Kian, pria yang baru dinikahinya, kini tersenyum sinis melihat wajahnya. Tubuh gadis desa yang ramping dan mungil itu tentu saja membuat Kian ingin segera melahapnya. Sayangnya, Vivian selama ini terlalu konservatif dan tak mau disentuh.Peduli setan, wanita yang dijodohkan dengannya ini sedang dalam keadaan sadar atau tidak.Drrt!Tiba-tiba saja, ponsel Kian berdering kala dirinya melepaskan jas dan dasinya. Pria itu jelas merenggut kesal dan hendak mengabaikannya.Hanya saja, wanita yang dicintainyalah ternyata yang menelpon!“Ada ap–”“Kian, tolong aku! Ah…” Desahan perempuan itu begitu menggoda membuat tubuh Kian menegang. “Tubuhku butuh dirimu.”Sambungan
"Tidak! Tidak! Aku tidak melakukan dengan pria lain, Aku masih ingat aku bersamamu semalam," jawab Vivian yang berusaha menyakinkan suaminya.Dicobanya memegang tangan suaminya, tetapi segera ditepis Kian."Jangan sentuh aku, perempuan kotor! Aku akan menceraikanmu!" ketusnya."A-apa yang kamu katakan? Kita telah bersama selama tiga tahun. Kenapa kamu tidak percaya padaku?" kata Vivian terisak.Air matanya terus mengalir akibat ucapan Kian yang telah mengiris hatinya."Diamlah! Mulai hari ini, aku tidak ingin melihatmu lagi, Aku memberikan waktumu selama lima belas menit untuk kemas barangmu. Setelah itu, pergilah sejauh mungkin dari hadapanku!" bentak Kian dengan nada ketus.Semua terjadi begitu cepat di mata Vivian.Entah apa yang terjadi, seorang wanita yang dikenal Vivian sebagai mantan sang suami bahkan datang.Liza tampak tertawa gembira melihat Vivian yang menangis dibalik selimut tebal itu.“Sudah kukatakan gadis desa juga bisa jual diri demi uang, kan? Tapi, kau malah memilih
Di tempat lain, Vivian sudah memutuskan untuk tetap di kota itu untuk mencari sang pria misterius.Hanya saja, Vivian malah diusir dan dimaki oleh setiap pemilik penginapan kecil yang dihampirinya akibat berita yang tersebar.Bahkan, dirinya dihina oleh semua orang yang melihatnya. Kini, langit sudah gelap. Vivian pun akhirnya hanya bisa duduk di terminal–tanpa tujuan. Haruskah dia menyerah sekarang?"Tanpa pria asing itu pun, aku pasti akan menjadi korban Keluarga Salveston. Cepat atau lambat,” lirihnya, menghibur diri, “Tapi, bagaimana aku bisa pulang dalam kondisi seperti ini?"Cit!Sebuah taksi tiba-tiba berhenti di depan Vivian yang tengah menunduk."Nona, sudah begitu malam. Kenapa masih duduk sendirian di sana?" tanya supir taksi itu yang seorang wanita."Bibi, Aku sedang menunggu bis," jawab Vivian, sopan."Sekarang sudah pukul 23.00. Mana ada bis yang akan singgah? Lebih baik, kau naik taksi saja!""Tidak apa, Bi. Aku akan menunggu sampai pagi dan berangkat ke desa.""Tapi
"Aku sependapat denganmu, Anggap saja dia membalas jasa kita yang telah besarkan dia," jawab Ryan."Kecilkan suaramu! Kalau sampai dia tahu kita bukan orang tua kandungnya. Dia pasti tidak akan patuh pada kita lagi." Ruby menegaskan suaminya."Benar katamu!" ucap Ryan.Vivian duduk di pojok kamar dengan lutut ditekuk dan tangan memeluk kedua lututnya. Kepalanya bersandar pada dinding yang dingin, matanya terpejam, wajahnya menampakkan kepedihan yang mendalam. Betapa hancurnya hati gadis itu saat ini. Kekecewaan yang dirasakannya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam hatinya, Vivian merasa terpukul oleh perlakuan kedua orang tuanya yang sama sekali tidak mempercayainya. Seolah-olah mereka menganggap anak mereka ini sebagai makhluk asing yang tidak berharga. Kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab. Tangisannya terdengar lembut, memecah keheningan kamar. Hati Vivian teriris-iris oleh kebenaran pahit yang harus diterimanya. "Bahkan orang tuaku sendiri me
"Cepat lepaskan aku, Jangan sakiti aku!" teriak Liza yang mengerang kesakitan dengan tubuhnya yang diseret oleh pria itu hingga ke mobil.Mereka mengangkat tubuhnya dan memasukkan ke dalam mobil dengan paksa."Aaahh!" teriak Liza yang kesakitan. Ia berusaha melawan dan kemudian ditekan oleh salah satu pria asing itu."Lepaskan aku, Siapa kalian? Kalau kalian menyakitiku...Keluargaku akan melapor kalian ke polisi," bentak Liza.papan...Tamparan keras yang dilakukan oleh pria itu."Aaahh!""Melaporkan kami? Sedangkan dirimu saja ditahan oleh kami. Kau sudah diserahkan oleh mantanmu kepada kami," ujar pria itu yang merobek pakaian wanita itu."Hentikan, jangan sentuh aku!" teriak Liza yang berusaha melawan dan kemudian ia ditampar oleh pria itu.papan...Liza pasang surut sadarkan diri, setelah menerima sinyal tersebut."Dia sudah pingsan, Kau sungguh kejam!" kata teman mereka yang sedang mengemudi."Biarkan saja! bukannya kita diperintah tuan Alexa untuk tidak disungkan pada wanita ini