Raras menunggu selama satu jam di UGD. Dia mengusap wajahnya berkali- kali, andaikan waktu bisa diputar, mungkin dia lebih memilih menghajar Divo dari pada melampiaskan kemarahannya yang berbuntut maut.
Pak kumis sudah pulang, dengan alasan dia harus menjemput baju dan perlengkapan Wisnu, orang tua itulah yang bisa bersikap bijak atas kejadian ini, tak sedikit pun dia mencela Raras.Laki-laki itu adalah Wisnu, pemuda kampung yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dia anak pertama dengan tanggungan empat orang adik dan satu orang ibu yang sakit-sakitan. Setidaknya itulah yang dikatakan Pak kumis berkaitan dengannya, Wisnu sore ini berniat membawa ibunya ke rumah sakit, dia menggunakan motor tua yang tidak pantas lagi dikendarai.Sesaat kemudian, Raras mengikuti perawat yang memindahkan Wisnu dan ibunya ke ruang perawatan. Seorang dokter memanggil Raras ke ruangannya, dia dokter muda yang sangat ramah. Raras dipersilahkan duduk. Raras tau, apa yang akan didengarnya beberapa saat lagi bagaikan vonis hukuman pidana yang akan dijatuhkan padanya."Anda keluarganya?""Iya, apa semuanya baik-baik saja?" Raras menunggu jawaban dokter dengan hati berdebar."Pada dasarnya tidak ada organ vital yang terluka, pasien atas nama Wisnu mengalamai patah tulang di kedua kakinya.""Apakah ada kemungkinan untuk sembuh?""Ada, tapi dengan waktu yang lama dan beberapa kali operasi.""Syukurlah! tidak masalah." Raras membuang nafas lega. "Lalu, bagaimana dengan ibunya?""Ibunya hanya luka robek di bagian paha dan lengan, dia pingsan bukan karena kecelakaan, tapi karena sangat syok, sekilas saya merasa si Ibu memiliki penyakit yang cukup serius, untuk lebih membuktikan dugaan sementara, pasien harus melakukan serangkaian tes mendalam.""Lakukan yang terbaik, aku akan membayar berapa saja biayanya." Raras menggenggam tangan dokter wanita itu."Sudah tugas kami." Dokter itu tersenyum.***Wisnu dan Bu Parmi dirawat di ruangan yang sama, supaya lebih memudahkan Raras memantau perkembangan dua orang itu. Setidaknya Raras bisa bernafas lega, korbannya tidak tewas.Raras melihat Wisnu membuka matanya perlahan, dia meringis sakit, matanya mulai mengawasi ruangan dan berakhir di wajah Raras dengan pandangan bingung."Kau sudah sadar?" Senyum Raras mengembang. "Aku harus memanggil dokter." Raras berlari keluar ruangan.Wisnu melirik bangkar di sampingnya, tidak jauh, cuma berjarak tiga meter dari bangkarnya sendiri."Ibu, Ibu?" Suara berat Wisnu menggema di ruangan, kepalanya masih sakit.Dia mencerna kenapa dia bisa berakhir di rumah sakit, sore itu... dia berniat mengantarkan ibunya kerumah sakit karena ibunya sering mengeluhkan sakit di bagian dada dan tulang punggung, dan tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil sport menabraknya. Setelah itu, dia tidak ingat apa-apa lagi.Mata Wisnu teralih ke pintu masuk ruangan, wanita tadi mengikuti seorang dokter yang berjalan tergesa- gesa. Memeriksa tensi darah dan beberapa bagian tubuh Wisnu yang lain."Bagaimana, Dok?""Malam ini dia harus dioperasi," jawab dokter."Lakukan yang terbaik! aku mohon!" ucap Raras."Sudah menjadi tugas kami."Dokter melirik bangkar Bu Parmi. Wanita tua itu belum juga sadarkan diri. Dokter menekan sedikit nadinya."Kami akan merujuk Bu Parmi ke spesialis jantung, ada yang janggal di sini, tapi saya tidak berani memastikan."Wisnu yang dari tadi diam, melebarkan mata, spesialis jantung? Apa ibunya menderita sakit jantung? Memang beberapa tahun ini ibunya sering mengeluhkan sesak nafas dan sakit di tulang belakang yang menjalar ke bahu, dia sudah membujuk ibunya kerumah sakit, tapi selalu ditolak dengan halus, mungkin sang Ibu tak ingin membebaninya karena hidup mereka yang miskin, hanya Wisnu yang menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal dunia.Wisnu menatap Raras, Raras terlihat lelah dan gusar."Apa Anda yang menabrak kami?" tanya Wisnu.Raras mengangguk."Maafkan aku! semua salahku," jawab Raras. Dia duduk di kursi di samping Wisnu."Aku akan bertanggung jawab sampai kau sembuh."Tak ada jawaban dari Wisnu. Pemuda itu memilih menatap jendela rumah sakit, apa yang akan terjadi padanya dengan kaki yang patah begini, adik- adiknya akan kelaparan.Raras melihat wajah sendu itu, kemudian membuka suaranya."Jangan kawatirkan apapun, aku akan bertanggung jawab terhadap biaya keluargamu," jawab Raras.Wisnu menatap sekilas, anak orang kaya selalu mencari jalan keluar melalui uang."Malam ini kau akan dioperasi.""Dan setelah itu aku akan menghabiskan hariku di kursi roda," jawab Wisnu lemah, kedua kakinya patah, apa lagi yang akan di lakukannya."Kau akan sembuh, aku janji kau akan pulih seperti sedia kala," jawab Raras.Wisnu kembali diam, laki-laki itu tidak suka banyak bicara dan cendrung tertutup.Raras sangat lelah sekarang, ayahnya menelfon berulangkali menanyakan keberadaannya, dia hanya mengatakan bahwa di baik-baik saja dan akan menelpon kembali.Raras berjalan perlahan ke sofa ruangan, merebahkan tubuhnya di sana, dia benar-benar lelah saat ini. Terlalu banyak kejutan yang datang padanya.Beberapa saat kemudian dia sudah tertidur.Wisnu melirik wanita itu, tanktop biru laut dipadukan dengan celana di atas lutut , sepatu sport dan sebuah topi melekat padanya. Semua hal yang melekat di tubuhnya adalah barang mahal khas anak orang kaya, pantas saja dia tidak kawatir dengan perkara uang.Wisnu melirik kembali ke bangkar sang Ibu, ibunya masih belum sadar, matanya terpejam dan beberapa perban melekat di beberapa bagian tubuhnya.Wisnu memejamkan matanya, hari harinya untuk kedepan akan berjalan dengan sangat berat, kakinya begitu dibanggakan untuk mencari nafkah, sekarang dia tak ubahnya akan seperti bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa.Wisnu melakukan serangkaian tes sebelum operasi, proses itu memakan waktu satu jam lebih. Tak ada ekspresi dari wajahnya, dia dingin dan tak terbaca. Dia tidak mengatakan apapun saat Raras memberinya kekuatan bahwa semua akan berjalan lancar. Wisnu lebih banyak diam mengatupkan mulutnya dengan mata kosong. Beberapa jam berlalu, operasi pemasangan Pen berhasil dilakukan, tulang yang patah adalah tulang bagian betis, sedangkan tulang dibagian paha tidak mengalami cidera. Raras memijit kepalanya berulang kali, kepalanya terasa sakit dan perutnya yang melilit perih."Maaf, Mbak, pasien atas nama Bu Parmi sudah sadar," kata seorang perawat kepada Raras. Raras membalikkan badan, mengangguk dan mengikuti perawat dari belakang.*******Raras merosot kelantai, cobaan bertubi-tubi menyerangnya. Dia hanya ingin hidup tenang, menghabiskan waktunya di alam bebas, menikmati kesendirian tanpa gangguan siapapun.Apakah Raras harus melakukannya? Dia sudah berjanji pada Bu Parmi, dia sudah mengatas na
Raras baru saja berniat mengunci mobilnya ketika suara ayahnya menggelegar, laki-laki yang masih tampak kuat dan muda di usianya yang bahkan sudah enam puluh tahun. Raras hanya menganggukkan kepala sebagai penghormatan kepada ayahnya."Apa yang dilakukan seorang Putri bangsawan di tengah malam begini?" Mata ayah Raras menyipit melihat keadaan mobil yang lampu depannya pecah. Penampilan Raras sudah tidak karuan, rambut berantakan dan pakaian yang sangat dibenci oleh ayahnya."Maaf, Ayah," jawab Raras, yang dibutuhkannya sekarang adalah tempat tidurnya."Ayah tunggu di ruang kerja Ayah," jawab ayahnya dingin, Raras sudah hafal sekali, jika dia disuruh masuk ke ruang kerja, maka sesuatu yang sangat serius akan disampaikan ayahnya malam ini. Raras tidak lagi peduli.Dengan gontai dia mengikuti ayahnya dari belakang, sesaat dia kaget saat ibunya muncul tiba-tiba dan menarik tangannya sambil berbisik, "Apa yang kau lakukan hari ini? Bahkan keluarga besar Divo datang ke rumah mencarimu, tapi
Pernikahan sudah terjadi dua jam yang lalu, di sebuah mesjid kecil di kampung Wisnu. Tak ada keluarga Raras yang menghadiri, kecuali ayahnya yang terpaksa menikahkannya, setelah akad nikah selesai, ayahnya langsung pergi tanpa sepatah kata.Lima hari Raras memohon pada ayahnya untuk menikahkannya dengan Wisnu. Awalnya ayahnya menolak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk datang menikahkan Raras. Tak ada pertanyaan dan tegur sapa sedikit pun dari ayah Raras, dia tidak menatap Wisnu sama sekali.Raras masih teringat percakapan terakhir dengan ayahnya dua hari yang lalu."Aku mohon, Ayah! semua ini untuk menebus rasa bersalahku, laki-laki itu tulang punggung keluarga dan memiliki banyak adik yang harus dinafkahinya, sekarang kakinya patah karenaku, Ayah.""Kau tak pernah berhenti membuat kekacauan, aku tidak akan menikahkanmu, karena dia tidak sebanding dengan kita, jangan mencemari keluarga dengan menikahi orang biasa.""Ayah, aku tidak pernah meminta apapun selama ini, anggap saja aku me
Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang jahat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit. Dia memaafkan wanita itu, tak berniat melaporkannya atau menjebloskannya ke dalam penjara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya.Ke mana pernikahan ini akan dibawa, tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak.Gadis itu masih menangis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terserang demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen."Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jantan.Raras menghentikan tangisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat menggangg
Raras bangun lebih dulu, ini masih pukul empat pagi, dia benar-benar tidur nyenyak semalaman. Raras cukup senang saat Wisnu mulai menampakkan rasa bersahabat padanya dengan menawarkan kasur dan selimut yang sama. Ada hal yang membuat Raras malu, bagaimana bisa tangan tidak tau malunya melingkar erat di pinggang Wisnu, dia berharap kejadian memalukan itu tidak diketahui Wisnu.Raras bangun perlahan, merapikan selimut itu kembali, Wisnu masih tidur nyenyak, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Raras.Raras berjalan berlahan, mencoba mencari di mana kamar mandi di rumah ini. Baru saja Raras keluar kamar, pemandangan ruang tamu membuatnya terenyuh, Aryo dan Yono bergelung di atas tikar pandan dengan selimut kecil yang memiliki tambalan cukup banyak, mereka adalah anak yang pendiam seperti Wisnu. Aryo duduk di kelas tiga SMA dan Yono kelas dua.Sedangkan dua adik perempuan Wisnu yang lain tidur di kamar ke dua yang ukurannya lebih besar sedikit dari kamar Wisnu. Namanya Nela dan
Raras sedang merapikan barangnya, ketika Wisnu sholat dia buru-buru mengganti baju basahnya dengan yang lebih kering. Sweater bewarna kuning dipadukan dengan celana jins ketat selutut.Adik-adik Wisnu sudah bangun satu persatu, merekw saling berebut kamar mandi, sedangkan si kembar menyiapkan sarapan sederhana.Beberapa gelas teh manis dan semangkok besar nasi goreng sudah tersedia di meja makan. Raras hanya melongo melihatnya, tangan Raras sama sekali tidak pernah menyentuh dapur, bagaimana remaja sekecil itu bisa begitu cepat dan mahir, hitungan menit semua sudah terhidang di atas meja, padahal ini baru jam enam pagi."Sarapan dulu, Ras," panggil Wisnu. Raras mengangguk, mengikuti Wisnu dari belakang."Beri tempat pada Mbakmu," kata Wisnu pada Nela, gadis remaja itu menggeser duduknya. Nasi goreng itu yang membuat perut Raras benar- benar tidak sabar ingin diisi.Wisnu mendekatkan segelas teh ke depan Raras. Raras melihat, meja makan tua ini menjadi tempat berkumpul yang hangat."Te
Raras mengusap keringatnya, dia melakukan olah raga kecil di pagi hari, dia tidak ingin sedikit pun lemak menggumpal di bagian tubuhnya.Raras mendecih malas, saat Andini mendekatinya dengan senyum mengejek, dia benar-benar menampakkan siapa dirinya saat ini."Selamat, Ras," katanya tidak tulus."Atas?" jawab Raras menggulung rambut panjangnya."Kudengar kau sudah menikah.""Ooh... itu, ya, terimakasih."Raras tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan."Aku kagum denganmu, Ras, seleramu begitu rendah, menikah dengan laki- laki miskin dan cacat." Senyum mengejek kembali terbit di bibirnya."Yang menikah itu aku, Kak, kakak tidak perlu repot-repot untuk memikirkan." Raras mendongak, meneguk air mineral ditangannya."Bagaimana malam pertamamu?" ejeknya lagi."Kenapa? Kakak penasaran bagaimana rasanya bercinta dengan orang cacat?" pancing Raras, wajah Andini memerah."Aku tidak sehina itu," geramnya."Bagaimana, ya? Sangat luar biasa, dia bahkan tidak membuatku tidur semalaman dengan s
Wisnu mengatupkan rahangnya, dia tidak bisa menghentikan orang yang mengaku disuruh mengantar semua barang ke rumahnya, Aryo dan Yono melirik wajah sang Kakak sulung. Mereka tidak berani bicara lebih banyak. Mira yang tampak bahagia dan menyuruh petugas pengantar barang memasukkan perabot itu satu persatu, termasuk satu ranjang untuk kamar Wisnu, dan satu ranjang lagi untuk kamarnya dan Nela, Wisnu diam saja melihat adiknya itu berjingkrak kegirangan.Aryo dan Yono saling tatap meminta tanggapan, keduanya langsung pamit kepada Wisnu dengan alasan ada latihan bola yang harus diikuti. Wisnu cuma memberi isyarat dengan matanya, kemudian mengayuh kursi rodanya masuk ke dalam kamar.*******Raras sampai jam delapan malam, dia sempat mengawasi butiknya terlebih dahulu, Raras baru saja mengucapkan salam ketika Mira langsung berlari padanya."Mbak, Abang dari tadi tidak mau bicara, sepertinya Abang marah karena barang-barang ini." Mira memperlihatkan wajah cemas.Raras kemudian tersenyum, me