[Temui aku di paviliun kosong belakang taman!]
Darline membaca pesan chat dari Willson yang baru saja masuk. Ada rasa sesak yang menyelinap saat membaca pesan yang tidak disertai sapaan untuknya sama sekali.
Meski begitu, Darline sudah tidak heran lagi karena begitulah cara suaminya itu bersikap dan bertutur kata. Keras dan kasar.
Namun, yang membuatnya heran kali ini adalah kenapa Willson mengajaknya bertemu di tempat seperti itu, sedangkan saat ini mereka sedang berada di pesta ulang tahun kakek Willson. Akan aneh jika mengajak bertemu di ruang kosong.
“Maaf, ya, semuanya, aku harus temui Willson sebentar.”
Darline akhirnya mengangkat wajah dan berujar pada tiga temannya yang lain, yang sedang asyik membahas topik yang teramat seru menurut mereka.
Saat ini, dia memang sedang berbincang dengan teman-temannya sesama wanita. Willson pun sedang berkumpul dengan temannya sendiri.
Jika memang ingin bertemu, Willson tinggal mendatanginya saja, tidak perlu mengajak bertemu di tempat kosong. Seharusnya seperti itu.
“Yaaah, kok sudah mau pergi, Lin? Baru juga mau dengerin wejangan dari kamu gimana caranya meraih klimaks beruntun dalam satu sesi percintaan, secara kan kamu pakarnya. Kamu sudah tiga tahun menikah, sedangkan kita-kita ini baru beberapa bulan saja menikah.”
‘Justru itu,’ batin Darline miris meskipun dia melempar senyum pada teman-temannya itu.
Biar bagaimana pun dia merasa terselamatkan oleh pesan Willson ini seberapa pun anehnya. Setidaknya, dia jadi mempunyai alasan untuk meninggalkan obrolan yang menyesakkan bersama teman-temannya itu.
Dia memang sudah tiga tahun menjadi istri Willson, tapi tak ada yang tahu bahwa selama tiga tahun itu belum sekalipun Darline pernah meraih klimaksnya. Willson selalu terburu-buru sehingga suaminya itu selesai di saat Darline masih berusaha keras mengumpulkan kenikmatannya sendiri.
Sangat ironis bagi Darline dengan pandangan teman-temannya terhadapnya saat ini tapi dia benar-benar tidak berniat untuk membahasnya.
“Next time deh, oke?” sahut Darline lagi sambil bersiap pergi. Dia menyimpan ponsel dalam tas dompetnya lalu meneguk cocktail di tangannya di depan raut kecewa teman-temannya itu.
"Oke, Lin. Tapi next time beneran harus dijabarin sedetil-detilnya, ya?" sahut salah satu dari mereka yang langsung diiringi tawa dari yang lain.
Sekali lagi, Darline mengangguk dan tersenyum, lalu melambaikan tangannya untuk beranjak pergi dari sana.
Sepuluh menit kemudian, Darline sudah tiba di paviliun yang disebutkan Willson dalam pesannya.
Hanya saja, di mana Willson?
Darline tidak melihat suaminya itu di sana. Tidak ada orang satu pun di sana. Tempat itu teramat sunyi. Lalu, di mana Willson berada?
Darline terus menyusuri satu demi satu kamar untuk mencari Willson hingga ketika tiba di kamar paling ujung, Darline merasakan sepasang lengan kokoh tiba-tiba saja menyambar pinggangnya.
“Argh?!”
Dalam sekejap saja, Darline langsung terhempas ke atas tempat tidur yang empuk.
Belum sempat dia berpikir, bibir hangat yang menyeruakkan aroma rum mahal yang harum sudah membungkam bibir Darline. Sekejap kemudian, bibir itu sudah melahapnya dengan rakus dan liar.
Aroma harum dalam pagutan buas itu membuat rasa penasaran Darline akibat percakapan dengan teman-temannya tadi pun semakin menyeruak dan melilit dirinya hingga dia pun membalas pagutan dengan sama panasnya.
“Willson— Kenapa kamu mengajak—”
Darline berusaha di sela-sela cecapan panas mereka untuk bertanya, tapi jari tebal pria yang menciumnya tiba-tiba bertengger di bibirnya.
“Ssst! Nikmati saja ini. Aku sangat membutuhkanmu malam ini,” bisik pria itu dengan suara baritonnya yang mengandung serak-serak yang begitu maskulin.
“Tapi, Will—”
Darline berseru lagi tapi bibir pria itu tidak memberinya kesempatan untuk bicara lebih banyak lagi.
Semuanya tertelan begitu saja.
Tanpa bisa menahannya, Darline mulai menikmati aroma tubuh pria yang menindihnya, menyecap bibirnya, lalu menyapu leher dan sekujur tubuhnya, meski semua itu sangat berbeda dari Willson, suaminya.
Dia malahan berbisik lembut dan mendayu, “Kamu harum sekali malam ini ....”
Darline memang langsung tergila-gila dengan aroma anggur merah mahal yang melekat kuat di bibir pria itu. Itu saja sudah cukup untuk melumpuhkan segala akalnya.
Dia tak lagi mempertanyakan bagaimana kulit pria yang menindihnya ini bisa terasa sangat berbeda dari kulit Willson, suaminya.
Kulit pria ini sangat liat dengan tangannya yang terasa keras dan kencang.
Darline juga bisa merasakan betapa kokoh perut dan lengan pria yang mengukungnya saat ini.
Bukan itu saja, pria ini begitu piawai dalam memanjakan dirinya di saat pemanasan mereka. Pria ini tahu di bagian mana dia harus menyentuh Darline sehingga wanita itu merasakan sengatan hasrat yang begitu tajam.
Sampai-sampai baru kali ini Darline harus menahan cengkeramannya begitu kuat pada seprai saat desiran hasrat itu sudah menghantamnya begitu saja.
Dengan mudah, Darline terlumpuhkan saat gairah menguasainya dan pada akhirnya wanita itu begitu saja menikmati setiap hujaman pria di dalam gelap ini.
Untuk pertama kalinya, Darline mampu merasakan bagaimana rasanya melayang menggapai langit ke-tujuh.
Ketika sinar matahari mengusiknya di pagi esok harinya, Darline masih sempat tersenyum bahagia menyadari untuk pertama kalinya dia terbangun dengan rasa yang begitu melambung, tidur yang begitu nyenyak, serta dirinya berada dalam pelukan Willson yang masih sangat harum.
Tidak pernah selama ini Willson memeluknya sepanjang malam saat tidur.
Baru kali ini.
Darline begitu bahagia. Segala perlakuan kasar Willson dalam sekejap langsung terlupakan olehnya.
Namun, begitu dia membalik tubuhnya dan melihat wajah dari sosok yang memeluknya erat dari belakang sepanjang malam ini, Darline begitu terkejut dan sontak memekik hebat.
“Haaa?! Paman Hayden?”
Wajah pria yang sekarang hanya berjarak sepuluh senti itu terlihat terkejut akibat pekikan suara Darline. Kedua matanya membuka dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan cahaya matahari di sekitarnya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak yang rendah dan berat, sembari menyesuaikan diri dengan rasa sakit yang mendera kepalanya. “Pam—Paman Hayden?” seru Darline yang suaranya kini bagai tertahan di tenggorokannya. Dia sungguh tak bisa mempercayai penglihatannya. “Jad—jadi ... semalam yang bersamaku— semalam kit- kita berdua-” Lagi, kalimat Darline jadi tak selesai karena dirinya terlalu shock atas pemahaman satu ini. Paman Hayden adalah pamannya Willson. Bagaimana bisa dia malah menghabiskan malam bersama paman suaminya? Bukankah Willson yang mengirimkannya pesan untuk datang ke kamar kosong ini? Tapi kenapa yang menghabiskan malam bersamanya malah Paman Hayden? “Kenapa begitu berisik saat hari masih pagi, huh?” Suara Hayden pun akhirnya bergema lagi. Pria yang diperkiraka
Darline menatap heran pada Anna yang juga menatap lebih heran lagi kepadanya. Lalu ketika dia menyapukan pandangannya ke sekelilingnya, Darline tidak melihat keberadaan Willson, Bu Mira, dan Lisa. Semua keluarga Limanso ada di sana, kecuali ketiga orang itu. “Jadi ... Willson sudah pulang?” tanya Darline dengan suara lirih. Pertanyaan ini terdengar aneh bagi yang lainnya. Tapi, Darline sendiri kebingungan. Bagaimana mungkin Willson sudah pulang semalam? Padahal, Willson sendiri yang mengirim pesan agar dia mendatangi paviliun belakang, semalam. Oh! Darline terkesiap lagi ketika di benaknya dia terpikir akan sesuatu hal. ‘Bagaimana kalau ternyata Willson semalam telah melihatku di paviliun dan malah memasuki kamar yang salah? Apakah itu berarti Willson melihat keberadaanku di paviliun yang ternyata malah bersama Paman Hayden?’ batin Darline bergemuruh gelisah. Saat ini, Darline benar-benar kebingungan harus memberi alasan apa pada keluarga Limanso. Jika dia bilang bahwa dia keting
Darline seakan oleng ketika membaca pesan dari suaminya ini. Bukankah kata Anna tadi, Willson sudah pulang ke Jakarta dari semalam? Tapi kenapa tiba-tiba saat ini Willson malah berkata dia masih di Bandung dengan ibu dan adiknya? Darline: [Lho, Will, bukannya kamu sudah pulang dari semalam? Karena itulah aku cepat-cepat nyusul pulang] Darline pun menggunakan kesempatan ini untuk menutupi dosa besar yang semalam diperbuatnya dengan Hayden. Balasan dari Willson datang sama cepatnya dengan tadi. Willson: [Siapa bilang aku pulang semalam? Kamu ini jangan ngaco, ya! Kamu itu yang semalam ke mana? Aku kok nggak melihat kamu di mana-mana semalam itu?!] Deg! Jantung Darline berdetak kencang lagi. Jadi sebenarnya, Willson mengetahui keberadaannya di paviliun bersama Paman Hayden atau tidak? Biar bagaimana pun pesan yang membuat Darline menuju paviliun adalah pesan yang dikirimkan Willson. Tapi kenapa suaminya itu tidak pernah membahas janji ketemuan seperti yang tertera di dalam pesan itu
Darline tergopoh-gopoh meletakkan sapu dan memasuki rumah, menuju kamar. Ketika tiba di dalam kamar, tatapan nyalang Willson sudah menunggunya dengan raut teramat marah. “Iya, Will?” “Kamu tuh ngapain sajiin makan malam sebanyak itu? Kamu mau hambur-hamburin uang atau memang kamu menutupi sesuatu dengan makanan sebanyak itu?” Darline terkejut. Dia tak menyangka niatnya yang hanya ingin terhindar dari kemarahan Willson malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. “Nggak, Will. Aku sajiin itu semua karena tadi pas mau pesan gofood, ternyata ada banyak promo. Tapi promonya itu hanya untuk pembelian di atas 150 ribu. Jadi, aku pesan banyak supaya capai 150 ribu. Dan aku bayar pake uangku sendiri kok, Will.” Bukannya mereda, Willson semakin marah. “Heh! Kamu pikir karena pake uangmu sendiri kamu boleh pamer?” “Bukan begitu, Will! Nggak ada maksudku buat pamer sedikit pun! Aku hanya menjelaskan!” “Halaaah! Muak aku dengerin alesanmu itu!” seru Willson lagi sambil melempar handuk putih
Darline tidak membalas pesan dari Paman Hayden. Jarinya pun bergerak cepat hendak menghapus pesan itu. Detak jantungnya seakan berpacu cepat. Dia sungguh takut jika Willson mengetahui dosa besarnya bersama Paman Hayden. Pesan dari pria itu saat ini malah memperbesar resiko kebersamaan terlarang mereka jadi ketahuan Willson. Namun tiba-tiba Darline merasa teramat sayang jika nomor Paman Hayden tidak disimpannya. Biar bagaimana pun, nomor itu satu-satunya penghubung dirinya dengan Hayden saat ini. Darline pun urung menghapus pesan itu. Wanita itu malah mengarsipkan pesan dari Paman Hayden agar tidak terlihat oleh Willson tapi tetap bisa dia simpan. Mereka jarang saling melihat isi ponsel satu sama lain. Di saat seperti ini, kebiasaan itu membuat Darline lega. Setelah menyimpan pesan itu, Darline pun mulai bangkit. Dia tidak boleh mengisi waktunya dengan menangis karena menangis saja tidak akan membeirkan solusi apapun. *** Pukul 20.30 malam, Bu Mira dan Lisa sudah selesai m
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat. Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam. Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya. Seharusnya seperti itu. Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu. Dia bukan malaikat. “Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar. Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akh
Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson. Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu. Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya. Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah. Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan. *** “Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.” Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat
Antusias dan kegugupan melebur menjadi satu dalam diri Darline. Ketika tiba di kantor untuk hari pertama kerjanya tadi, selama lebih dari lima belas menit Darline mendapatkan pengarahan dari Bu Alma apa saja yang menjadi tugasnya sebagai sekretaris.Darline mempelajari dengan seksama dan bertekad untuk bekerja dengan baik.Namun, tetap saja dia merasa gugup.3L’s Empires Motor merupakan perusahaan besar. Ini bisa terlihat dari segala segi. Iklan dan marketing mereka yang teramat gencar. Produk otomotif yang inovatif dan seringkali menjadi trend setter baru di kalangan pecinta otomotif.Selain itu juga, jajaran direksi dan hierarkie manajemen yang berlapis-lapis dalam perusahaan ini menunjukkan kredibilitas 3L’s Empires Motor tidaklah main-main.Terakhir, fisik kantor yang sangat modern dan elegan.Begitu menginjakkan kaki di sini, Darline langsung jatuh cinta berharap dia bisa menjadi staff tetap dan berkarier di 3L’s Empires Motor.Saat dia sudah mampu hidup mandiri nantinya, Darline