Share

Wanita Berseragam Karyawan

Bab 3

Pintu terbuka, seseorang mendorong dari luar. Aku terpental ke depan. 

Suanggi itu lenyap!

"Buat apa, pagi-pagi di sini?" tanya Lita, wajahnya mengendur, menatapku keheranan. Teman satu ini, rumahnya tak jauh dari kantor. Dia biasa tiba lebih dahulu, ketimbang aku. Hanya saja, pagi ini adalah hari sialku, mungkin.

Aku menariknya masuk. Wanita muda itu duduk di kursi terdekat, sementara aku tetap berdiri. Kuceritakan segala sesuatu yang menimpaku. Matanya melotot, hanya bergeming mendengar penuturanku. Sesekali ia mengusap tengkuk. 

"Kau tahu, aku pun sering di datangi," ucap Lita setengah berbisik.

"Kau mengenalinya? Matanya?" tanyaku sambil keluar mengikuti Lita. Ia menutup pintu dengan kasar. Kemudian kami berjalan menuju pajangan sarung di koridor sebelah kanan.

"Menurutmu?" ia mendelik padaku, meminta jawaban. 

"Aku tidak asing dengan netra Suanggi itu," jawabku kecut.

Ia berhenti melangkah, "Tetapi kita tidak bisa asal tuduh, bukan?"

“Kau benar!” ucapku kecewa. Menyadari setiap peristiwa mistis berlalu begitu saja, tanpa pengungkapan. 

***

Kami mencari Feli sebab absensi karyawan ada padanya. Itu bukan mesin sidik jari. Hanya buku tebal berisi kolom tanda tangan. Manual saja untuk kantor sekelas ini. 

"Ke mana Kak Feli pagi begini?" Lita mengomel. Ia meremas jemari dan mencari dengan matanya.

"Coba ke arah sana," ajakku, memoncongkan mulut sebagai penunjuk arah. 

Kami melangkah ke bagian aksesoris budaya. Menjejaki setiap lorong remang. Sementara di luar sana, langit mulai mendung dan guntur menggelegar. 

Felisitas Kareri Hara tak kunjung ditemukan, ini bukan yang pertama. Ia memang sering muncul dan hilang secara misterius.

Lima menit berselang, muncul suara berdeham di lorong belakang. Suara parau dari tenggorokan kering yang susah payah menelan ludah.

Kami menengok. 

Ya, ampun ...

Lagi-lagi tampak seorang wanita di sudut lorong, kali ini tidaklah bugil. Ia berseragam karyawan seperti kami, tetapi bermandikan darah. Makhluk itu duduk bersimpuh di bawah sebuah patung manusia. 

Uhh ... kakiku melemah saat sadar kalau patung itu lah yang menerorku kapan lalu. 

Ketakutan, Lita akan berlari. Namun, aku mencengkeram kuat lengannya yang gemetar. Dadanya bergemuruh, jelas dari gerakan turun naik napas.

"Apa maksudmu?" ucapnya melengking, ia menantang mataku.

"Kau sadar tidak? Kita selalu berlari dan ia tidak berhenti meneror!" jawabku sengit.

"Kau mau apa dengannya? Kau ...," belum selesai ucapan Lita, aku langsung menariknya. Bersama mendekati Suanggi itu.

Melangkah dengan hati-hati walau tungkai teramat lemah. Terus kuhela lengan Lita yang semakin terasa berat. Ia lalu terpaksa mengikuti.

Sementara suanggi itu terus berdeham. Makin parau. Makin berat. Hingga menyerupai batuk kasar.

Langkah kami tertahan saat.

Saat si Suanggi memisahkan kepala dari badannya. Mencabut menggunakan kedua tangan.

Deg!  

Wanita iblis tersebut menggulingkan penggalan kepalanya di lantai. Terpental menabrak bidang antar tembok. Menyisakan cipratan darah segar di lorong yang sempit. 

Tidak berhenti sampai di situ. Kini sosok tak berkepala itu memasukkan tangannya ke dalam rongga leher, berusaha mengambil sesuatu.

Lita memekik mual saat sang Suanggi mengeluarkan banyak sekali cacing segar dari dalam tenggorokannya yang menganga. 

Ia merogoh lagi ke dalam lehernya. Mengeluarkan cacing ribuan ekor. Kemudian melepas hewan-hewan invertebrata itu di permukaan lantai. Mereka meronta-ronta. Merayap, menggeliat memenuhi lorong. Bahkan menuju ke arah kami. 

Kami melompat dengan kaki yang gemetar. Semakin mendekat, semakin membesar ukuran cacing-cacing itu. Hingga beberapa ekor telah merayapi betis kami.

Tak tinggal diam, penggalan kepala tadi terkekeh melengking, terbang di ruang lorong.

"Lari!!!" Lita berteriak histeris. Kali ini, ia yang menarik tanganku. Dengan gesit, kami berbalik pergi.

Tapi ...

Buk ... kami bertabrakan dengan seseorang. 

Rupanya ia telah mengawasi ketakutan ini sejak tadi. Memantau dari balik punggung kami.

"Feli ... sejak kapan kau di sini?" tanyaku heran. Aku kembali memandang ke sudut lorong. Nihil. Suanggi beserta pasukan cacing telah lenyap! 

Alih-alih merasa lega, kami malah tersentak oleh kemarahan Feli.

"Aku manajer di kantor ini, seharusnya aku yang bertanya demikian pada kalian!” ucap Feli tegas. Ia mengepal gemas kedua telapak tangannya. 

Aku dan Lita berdesakan, mempercepat langkah, meninggalkan lorong aksesoris budaya. Tak menghiraukan pajangan perhiasan antik yang seolah bersenandung mencemooh kami. Ya, semua benda akan nampak hidup saat kita tak mampu menguasai rasa takut.

"Cepatlah, semua sedang menunggu kalian di ruang rapat!" teriak Feli kencang. Suaranya menggema di sepanjang lorong. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status