Bos yang begini ini bikin kesal, gak?
Walaupun aku kesal dengannya, tapi aku berterima kasih karena sudah menjadi penolongku. Dengan berpegangan di lengannya, kami kembali ke acara yang masih berlangsung dengan meriah. Jangan ditanya bagaimana keadaan diri ini yang sekuat tenaga menguasai hati dan jantung yang mulai bergerak tidak selaras. Untungnya, kami segera berpisah setelah Mas Sakti memanggilku untuk bergabung dengan team. Acara malam ini sukses besar. Sekitar tujuh puluh persen, apartemen terjual. Sampai selesai acara, Mas Sakti terlihat sibuk membantu team pemasaran. Beruntung Pak Tomi menemaniku sampai Alysia datang menjemput. "Syukurlah kamu datang, aku capek!" keluhku langsung berdiri menyambutnya. "Litu! Kamu dapat dari mana baju indah ini!" teriakkan dengan memutariku. Aku langsung menceritakan apa yang terjadi padaku. "Bajunya tadi tertinggal. Aku ambil, ya!" ucapku. "Ah sudahlah, gaun tadi tidak sebanding dengan yang kau kenakan sekarang. Ini design perancang terkenal!" bisiknya dan menarikku untuk s
Ada pertanyaan besar yang berjubel di kepala ini. Apa hubungannya Pak Mahendra denganku yang mengakibatkan aku harus tidak bebas lagi? Aku baru saja bergabung di perusahaan, dan itu pun hanya beberapa kali bertemu dengan Bos Vampir itu. Semoga ini hanya kesalahpahaman belaka dan ke depannya tidak menyulitkan hidupku, apalagi terpaut dengan gosip skandal yang mulai merebak di kasak-kusuk karyawan. Walaupun aku orang yang super cuek, tapi tatapan yang sembunyi-sembunyi mengikuti langkah ini, dan slentingan omongan yang tak sengaja aku dengar, sukses membuatku tidak nyaman. “Masak, sih. Pak Bos mau dengan dia. Padahal penampilannya biasa.” Komentar yang masih wajar. Namun, yang membuatku mengepalkan genggaman dan ingin melontarkan untuk membungkam mulut, saat ada yang berujar, “Pasti servisnya memuaskan. Zaman sekarang apa sih, yang tidak dilakukan demi memikat laki-laki seperti Bos.” Aku hanya bisa berusaha menenangkan diri, walaupun harga diri seakan tercabik saat ada yang memperta
Pak Mahendra, seperti biasa berpenampilan begitu sempurna. Dia berdiri menatap ke arahku. Aku langsung melepas head seat dan meletakkan pencil kemudian berdiri siap. "Maaf, Pak. Saya tidak melihat kedatangan Bapak," ucapku menatapnya sekilas dan tertunduk lagi. Mengalihkan pandangan dari wajahnya, langkah aman untuk mengurangi rasa tak karuan ini. Siapa, sih yang bisa tenang didatangi bos besar seperti dia? Apalagi mengingat kejadian akhir-akhir ini dan gosip yang mulai merebak. Dia melangkah menghampiri meja kerja dan mengamati apa yang sedang aku kerjakan. "Saya sudah mulai membuat rancangan kota baru," jelasku dengan merapikan alat tulis yang berserakan di atas gambar. Menunjukkan hasil kerjaku kepadanya. Lebih baik aku berusaha bersikap profesional dan tidak berpengaruh dengan rasa yang tidak perlu ini. "Ini semua kamu yang membuat, kan?!" Dia memicingkan mata tanpa mengalihkan pandangan pada kertas yang terpampang di meja kerja. Pertanyaan pertama, membuat telinga ini mulai
Dari awal masuk, aku langsung di sambut Mbak Endah supervisor cafetaria. Dengan senyum manis dan tatapan anehnya seakan dia meledekku. "Mbak Lituhayu sudah ditunggu Bos!" ucapnya dengan menggandeng tanganku. "Hati-hati, awas digigit.” "Apaan sih, Mbak Endah ini!" teriakku sambil mencubit pipinya yang gembul. Dia langsung teriak sambil tangannya menangkup tanda minta ampun. "Mbak Litu, jangan gitu ah. Cantiknya ilang lo," ledeknya lagi. Aku tersenyum saja menanggapinya. "Mbak Endah, Mas Sakti kalau sudah sampe, suruh buruan masuk, ya!" "Lo, ya tidak bisa to, Mbak. Aku set-up kursinya cuma untuk dua orang, kok. Nanti aku digantung Pak Bos." "Mbak Endah .... Bantuin kagak?" ucapku dengan kedua tanganku bersiap mencubit pipinya. "Iya, ya. Siap!" akhirnya dia menyetujuinya. "Mbak Litu ini, sebenarnya pilih Pak Bos atau Mas Sakti, sih?" bisiknya dan kembali terdiam setelah aku melotot ke arahnya. Tadi sebelum berangkat aku sudah menghubungi Mas Sakti, kalau aku suruh menemani Pak M
Rasa kaget ini belum reda, dia sudah mengejutkanku dengan yang lain."Ini!" ucapnya lagi dengan menyodorkan piring kosongnya kepadaku. Aku menatapnya tidak mengerti apa maksudnya si Vampir ini."Ambilkan saya!" perintahnya.Aku ingat kalau Bapak lagi kambuh manjanya, dia meminta Ibu untuk mengambilkan makanan. Seringkali aku meledek mereka yang sok-sokan romantis. “Jadi wanita memang seperti ini. Harus bisa meladeni suami supaya cintanya awet,” ucap Ibu disetujui Bapak yang hanya senyum-senyum manja.Itu kan untuk pasangan. Namun, untuk kali ini kan…."Nasinya dikit, rendang satu potong, sambal goreng dan sayur nangka. Kasih sambal hijaunya dikit!" perintahnya lagi dan seperti orang terkena hipnotis aku menuruti apa maunya. Ini kali pertama aku disuruh mengambilkan makanan oleh laki-laki. Terasa aneh saja, apalagi dia seorang bos yang menurutku mulai bertingkah aneh."Terima kasih!" ucap dengan senyum lebarnya yang memusnahkan predikat vampir seketika.Aku bengong melihat keajaiban
"Hai! Kalian sudah selesai makan. Tidak tunggu aku yang kelaparan di jalan, ya!" Suara keras setelah pintu terbuka menyadarkan aku dari khayalan yang sempat terbersit. 'Duh! Menahan emosi membuat halusinasiku menjadi liar'Syukurlah, Mas Sakti datang.Pak Mahendra menoleh ke arah pintu, keningnya berkerut dan senyum menyeringai. Sumpah, dia mirip sekali dengan vampir yang di film yang biasanya aku tonton."Ngapain kamu ke sini? Ganggu saja!" tanyanya dengan pandangan dingin."Cari anak buahku, lah," jawab Mas Sakti kemudian melihat ke arahku. "Lain kali, kalau mengajak Litu harus minta ijin saya dulu. Apalagi di jam kerja," ucap Mas Sakti lagi. Aku heran, yang jadi bos sebenarnya siapa, sih. Dari awal, sikap Mas Sakti kelihatan biasa dengan Pak Mahendra, malah cenderung santai. Sering kali membantah kalau Pak Mahendra tidak sependapat dengannya. Seperti saat menerima aku di perusahaan ini. Sebenarnya dia itu siapanya Pak Mahendra? Seperti bukan karyawan pada umumnya."Sakti! Ing
Otak ini seperti tersumbat dan tidak bekerja seperti biasanya. Apa yang aku tuangkan belum ada yang membuat hati ini terpuaskan."Kalau kamu belum sreg, sisihkan saja. Buat lagi saja yang baru!" ucapnya dan kembali dia fokus dengan pekerjaannya. Mas Sakti memegang rancangan lobby dan beberapa bangunan fasilitas umum.Proyek ini bertahap. Pertama, kami akan membangun rancangan yang dibuat Mas Sakti itu. Selama proyek berlangsung, cluster yang aku kerjakan ini mulai dijual. Karena itulah, aku harus menyelesaikan sesuai jadwal dengan rancangan yang bisa menggebrak pasar. Keberhasilan proyek ini diawali dengan, berapa persen cluster yang bisa dijual, sebagai parameter respon costumer. Aku harus membuat rancangan yang tidak biasa tetapi masih bisa diterima pasar. Harapan besarnya, costumer memiliki cluster ini berdasar dengan rasa bangga, bukan sekedar berdasarkan harga."Mulai hari ini kita lembur. Kita bisa menggunakan ruang istirahat kalau sudah lelah!" ucap Mas Sakti."Siap, Mas!" t
Seperti terkena mantra, aku terdiam untuk beberapa saat. Wajahku menghangat menahan rasa yang begitu asing. Jemariku menyentuh bibir ini yang sudah terjamah. Pengalaman pertamaku dekat dengan laki-laki, dan ini terlalu jauh menurutku.Masih terasa lekat bagaimana kami saling memagut dan melupakan jati diri ini. Melepaskan siapa dia dan kedudukanku apa? Kami seperti laki-laki dan wanita yang sama-sama menautkan rasa yang tertahan dan terlepas mencari kepuasan.Ini bukan Litu yang biasanya. Selama ini, tidak pernah aku berkeinginan untuk bersentuhan terlalu jauh dengan laki-laki. Bahkan, membayangkannya pun merasa menjijikkan. Namun, bersamanya kenapa aku dengan mudahnya bisa larut dan justru menyambutnya tanpa tahu malu? Apa ini yang namanya keracunan mantra cinta? Kondisi yang menumpulkan logika dan rasa malu.Tunggu!Baru saja, dia menyatakan kalau aku wanitanya? Maksudnya, aku sekarang mempunyai seorang laki-laki yang bisa aku rindukan di dunia nyata? Bukan sekedar bayangan seperti