“Pelan-pelan,” ucap Khalifa mendudukkan Alby, dengan tangan lembut itu, ia tuntun Alby untuk berbaring. Cukup dekat, sampai tatapan keduanya sempat bertemu. Khalifa langsung berpaling, gegas ia menarik dirinya dari jarak yang cukup dekat itu. Namun… “Ah!” Kepala serta tubuh Khalifa harus tertarik kembali saat liontinnya justru nyangkut di kancing kameja Alby. Khalifa terdiam, tangannya yang berada di sisi kiri kanan kepala Alby menahan sekuat tenaga agar tidak terjatuh di atasnya. Alby terkekeh kecil. “Liontin kamu ini seneng banget nyangkut, Alif. Kamu tau artinya apa?” tanya Alby yang malah menatap Khalifa dari jarak dekat itu. Sungguh, keadaan inilah yang Alby inginkan, Khalifa berada di atasnya dengan wajah yang amat dekat. Rambut halus nan lembut itu tergerai ke permukaan wajah Alby, membuat Alby menikmati semua itu. “Ak--aku nggak tau! Dan lagipula, liontinku ada pengaitnya, pantas kalo nyangkut!” ucapnya gugup. Khalifa gegas melepas liontin tersebut dengan tangan kanan, sed
Jantung Alby berdetak, memikirkan bagaimana caranya agar masalah ini bisa teratasi. Sungguh, semuanya di luar ekspetasi, Khanza? Dia tidak ingat apapun? Alby melirik pada Khalifa, perempuan itu tampak ingin bertanya. Namun karena gengsi perempuan itu lebih baik diam. “Ya udah, Bunda. Aku---aku tutup dulu telponnya. Assalamu'alaikum.” Setelah mengatakan itu Alby menutup telponnya. Ia melirik Khalifa. “Alif, barusan kamu mendengar apa yang aku bicarakan?” tanya Alby was-was. Khalifa menggeleng. “Memangnya apa yang dikatakan Bunda barusan?” “Tidak! Ti--tidak ada. Bunda cuman tanyain kabar aku aja,” jawab Alby setengah deg deg an. Alby menghela napas lega, lega sebab Khalifa belum tau pasal semua ini. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Berkata jujur apa tetap di sembunyikan? Jujur, situasi ini benar-benar rumit! Sesaat Alby sudah mendapat kesempatan untuk mempertahankan pernikahan ini justru masalah lain hadir ingin merobohkan. “Kau menyembunyikan sesuatu?” tanya
“Hanya sebentar Alif, tolong … aku butuh pelukan kamu…”Khalifa tak merespon apapun, ia cukup terdiam merasakan hembusan nafas Alby yang terdengar tak beraturan. Hanya beberapa menit keduanya berpelukan, sampai Alby melepaskan pelukan tersebut dengan memegang kedua bahunya. “Khalifa, ada hal yang ingin aku bicarain sama kamu. Tapi waktunya tidak memungkinkan untuk aku bicara sekarang. Tolong, untuk saat ini apapun yang terjadi tolong jangan marah Khalifa, dan apapun yang terjadi tolong untuk tidak meminta pisah. Khalifa…”“Apa yang kamu bicarakan, Kak?”“Khalifa, aku….”Tittt Titttt… Suara klakson mobil terdengar nyaring dari arah luar, menjadi pemicu tatapan Khalifa beralih. Khalifa mengernyit, kepala yang semula lurus menatap Alby teralihkan menatap mobil yang berhenti di depan. Khalifa melepaskan bahu Alby—berjalan keluar. “Khalifa…”“Mama … Papa … Khanza pulang. …”Deg! Khalifa membeku ditempat, napasnya terasa tercekat, detakan jantung berpacu kian pacuan kuda. Terdiam mem
Alby berlari mencari Khalifa, beberapa hari tinggal di sini membuat ia tahu denah masing-masing tempat. “Kamu di mana Khalifa,” ucap Alby lirih. Ia celingak-celinguk, namun yang ia temukan hanyalah pelayan yang lewat. “Bi, bibi lihat Khalifa enggak?”“Non Khalifa, tadi ada di belakang Den, nggak tau sekarang,” ucap pelayan tersebut. “Oh, baik. Terimakasih Bi.” Setelah mengucap terima kasih Alby gegas berlari ke belakang, namun tak ia temukan juga Khalifa. Kembali berbalik ia mencari keberadaan Khalifa lagi, sesaat ia berlari menuju dapur, Alby melihat Khalifa berjalan ke arah tangga di mana menuju kamar atas. Kepalang panik jika sampai Khalifa naik ke atas, membuat Alby berlari cepat dan segera menarik lengan Khalifa saat itu juga. Bruk! “Aw!”“Suutttt…” Napas Alby ngos-ngosan, ia membekap mulut Khalifa agar tidak bersuara. Keduanya kini bersembunyi di belakang tangga. Bersembunyi dari Khanza yang ada di belakang mereka. Jika tadi Khalifa sudah naik tidak ada kesempatan untuk Al
“Setelah makan malam selesai aku akan pergi,” ucap Alby masih mengelus-ngelus pipi Khalifa. “Pergi saja.”“Nggak bakal rindu?” “Nggak.”Alby terkekeh. “Yakin?”“Ish, udah! Katanya mau pergi. Ya sana tinggal pergi.” Khalifa sedikit mendorong dada Alby, namun yang di dorong justru tertawa cukup senang. “Kalau rindu bilang,” bisiknya. “Enggak bakal, udah… ini kamar mandi Kak, nggak baik lama-lama di sini!” ucap Khalifa. “Hehe, iya, iya, istriku yang cantik yang manis yang imut. Aku pergi nih…” Alby melepaskan genggaman tangannya. “Mau cium dulu gak?”“Gak!”“Hanya kecupan singkat saja, Khalifa… ayolah ….” Alby memohon, ia menunjukkan pipi kanannya. “ayo, di sini.”Khalifa memilin jari-jemarinya, resah. Apa ia harus menuruti keinginan Alby yang satu ini?“Khalifa, hanya kecupan singkat, satu detik juga nggak papa. Ayo.” Alby masih menunggu. “Hanya singkat kan? Setelahnya kakak harus pergi.”“Iya… “ Dengan jantung berdebar, dengan perasaan bungkah nan bergejolak, Khalifa menelan s
"Lahirkan anak untukku!" ucapnya dengan datar nan dingin. Pemuda dengan pahatan yang tampak sempurna itu menyodorkan uang merah pada perempuan di depannya."Apa Pak? Melahirkan?" Terdapat rona keheranan dari seorang wanita berjilbab tersebut."Maaf, Pak. Saya hanya ingin pinjam uang 200 juta untuk pengobatan ibu saya. Bukan berarti saya ingin mengorbankan keperawanan saya!" Perempuan bernama lengkap Kinara Ariana menggeleng pelan, dia menatap heran sang atasan.Kinara yang terjebak dalam masalah ekonomi membuat dia bertekad menemui sang atasan. Bukan karena apa-apa, tapi saat ini sang ibu tengah terbaring di atas kasur. Dengan rasa sakit yang dia derita membuatnya harus segera ditangani.Dokter menyarankan untuk melakukan operasi sang ibu, namun tentu ada administrasi untuk semuanya. Dan hal yang paling Kinara menyerah adalah masalah uang. Dia tidak mempunyai simpanan banyak untuk operasi Ibunya."Anggap saja ini sebuah tawaran. Saya akan memberimu uang lebih dari 200 juta kalau kau ma
"Perkenalkan, nama saya Aarav, calon suami Kinara." Dengan pelan Aarav menyalami Runi. Mencium punggung tangan wanita berkepala empat itu. "Kamu? Calon suami Kinar?" tanya Runi dengan tatapan tidak percaya. Lirikan matanya beralih menatap Kinara yang termenung dengan melamun. "Kamu sudah punya calon, Kinar? Tapi, kenapa kamu enggak kasih tau Ibu?" Tatapan Runi mengarah pada Kinara yang menatap Aarav. Dia masih tercengang atas ungkapan Aarav padanya. Apa maksudnya? Menikahinya? "Kinar, Kinar berani nyembunyiin masalah ini dari Ibu? Kamu bilang gak ada yang mau sama kamu. Tapi ini apa? Bahkan ini lebih dari sempurna Kinar. Ya Allah ...." Terdapat raut senang dari wajah Runi kala menatap Aarav. Tidak senang bagaimana? Wajah Aarav yang putih berseri begitu memenuhi wajahnya. Alisnya tebal, hidung mancung, kulit putih. Tidak lupa, bibir yang manis saat tadi dia tersenyum membuat Runi yakin bahwa Aarav pria yang telah Allah pilihkan untuk putrinya ini. "Bu, i--ini bukan---""Saya akan
Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris. Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera. Selang beberapa jam kemudian. "Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara. Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu. Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong. Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya. Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karen