Tita tersentak mendengar kalimat ancaman yang keluar dari bibir Gala. Kenekatan laki-laki itu masih saja belum berkurang. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum puas karena lift berhenti di lantai tujuannya.Gala mendengkus kesal mendapati strateginya gagal. Akan tetapi, dirinya tidak kehilangan akal.“Titania Pangesti!” panggil Gala yang juga keluar dari lift dengan nada sedikit keras. Lorong gedung kuliah bersama itu sudah sepi karena aktivitas terpusat di kelas. Tita masih terus berjalan, tidak memedulikan ulah konyol Gala.“Maukah kamu—“Ucapan Gala terhenti saat Tita berbalik arah. Tatapan wanita dengan ransel berwarna hitam di punggungnya itu tajam, tanpa seutas senyuman. Ia berjalan mendekat ke arah pemanggil.Tita berdiri di hadapan Gala yang seketika mematung. Ia menarik napas dalam.“Sebagai seorang muslimah yang baik, aku memaafkanmu. Sudah paham? Terima kasih.”Tita meninggalkan Gala tanpa menunggu respon atas ucapannya. Pemuda di belakangnya itu tersenyum bahagia.“Terima k
Angka terakhir yang tertera di papan berwarna putih sontak membuat Gala syok. Dari sepuluh kertas tersisa, hanya tiga yang memilih dirinya. Ghifari bisa dipastikan melenggang dengan mulus ke pemilihan umum raya mahasiswa bulan depan. 46 berbanding dengan 44, hanya selisih dua angka, sangat tipis.Gala menghela napas panjang. Dalam pikirannya sekarang cuma ada satu, bersiap kehilangan cinta yang sedang ia perjuangkan.“Ini namanya politik, Ga. Ada yang menang ada yang kalah,” kata Resta menguatkan Gala. Ia merasa kecewa teman satu kelasnya itu tidak lolos. Visi dan misi Gala menurutnya sangat unggul di atas Ghifari. Namun, hasil akhir memang berada di tangan para pemilih.Gala izin pulang lebih awal. Ia menjabat tangan semua yang ada di ruangan tersebut. Dirinya berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk betukar pikiran.“Kamu orang yang punya pendirian, karaktermu kuat. Suatu saat BEM butuh orang sepertimu.”Wildan merangkul Gala yang mengangguk sambil tersenyum.Tapi tidak
Mobil Gala sudah terparkir di depan indekos Tita. Ia bahagia karena bisa kembali menjemput pujaan hatinya. Awalnya, ibu dosen itu menolak untuk ikut rencananya. Namun, Gala kembali mengingatkan perjanjian mereka saat di restoran dulu. Tita tidak mungkin membiarkan Gala menang dan menikahinya.Tita sudah siap di depan rumah. Ia mengenakan kulot plisket dan kemeja dengan hiasan tali pada pinggangnya. Gala berdecak kagum atas ciptaan tuhan yang hampir sempurna di matanya itu.“Ada yang aneh?” tanya Tita saat melihat Gala mengamati penampilannya.“Ada.”“Yang mana?”Tita tampak sibuk meneliti setiap inci pakaian dan kerudung yang dikenakannya. Namun, ia tidak menemukan satu pun yang dianggapnya aneh. Gala tertawa kecil melihat Tita panik.“Cuma satu yang aneh.”“Iya, apa?”“Suaminya mana, Bu?”Tita mencebik, lalu memukulkan tas selempang kecil berwarna marun ke lengan Gala. Pemuda itu pura-pura mengaduh. Ia segera membukakan pintu mobil untuk wanita cantik itu.“Kita mau ke Kopipiko?”“Bu
“Kamu niat mau nyalon, apa gak, sih?” tanya Resta begitu Gala tiba di indekosnya..“Niat banget. Tadi A—““Aku udah nungguin dari pagi tapi kamu baru nongol malam. Kira-kira dong, kalau bikin janji!”Belum sempat Gala menyelesaikan ucapan, Resta sudah mencecarnya. Ia manggut-manggut. Dirinya sudah menduga bahwa Resta akan mendampratnya. Wajah gadis dengan rambut dikuncir ala ekor kuda itu terlihat masam.“Maaf, Ta. Aku gak pegang ponsel seharian ini.”“Tumben?” tanya Resta sinis.Gala hanya menjawab dengan kekehan. Tidak mungkin dirinya menceritakan satu hari yang manis bersama Tita dan juga ibunya kepada Resta.“Bentar, tadi aku udah beli nasi goreng buat kamu. Aku ambilin dulu,” kata Gala kemudian berlalu menuju mobilnya.Resta masih kecewa dengan sikap Gala yang tidak menepati janji. Ia bahkan harus membatalkan janji dengan Inara—teman kosnya—untuk menjenguk salah satu teman yang sakit hanya untuk seharian menunggu Gala.“Nih, nasi goreng ikan asin favoritmu.”“Mau nyogok?”“Ya, ud
“Titania!”Tita menghentikan langkahnya, kemudian menoleh. Pintu mobil Gala sudah terbuka. Pemuda itu memicingkan mata sebelah kanan sambil tersenyum. Tangannya mengarah ke kursi penumpang. Ia mempersilakan Tita untuk naik ke mobilnya.Sambil menyilangkan tangan di depan dada, Tita menggelengkan kepalanya. Tatapannya tajam tanpa senyuman. Gala terkesiap, lalu bergegas mendekat ke posisi wanita itu berdiri.“Kamu gak lihat penampilanku malam ini? Kemeja rapi gini, masa cuma nganter tugas?”“Maksud kamu?”“Gak mungkin aku biarin dosenku yang malam ini tampil memesona hanya menerima tugas dari mahasiswanya saja.”“Aku di-prank lagi?”Gala hanya terkekeh sambil menangkupkan kedua tangannya. Tita berdecak kesal. Ia sudah telanjur malu di hadapan Gala tadi.“Dasar, Galaksi tukang prank. Kualat kamu sama orang tua.”Tita memukul lengan Gala dengan tas selempangnya berkali-kali. Pemuda itu malah terbahak.“Ampun, Bu. Aku kualatnya berubah status aja, deh.”Tita menghentikan pukulannya. Ia tid
Hari pertama kampanye sudah dimulai. Semua kandidat dari zona pemilihan jurusan hingga universitas di semua fakultas berjuang mengambil simpati dari target pemilih. Keseluruhan calon tanpa terkecuali mulai menebar pamflet berisi gambar dengan nomor urut dan visi misi. Namun, ada hal berbeda yang dilakukan oleh Gala dan Resta. Mereka selain memasang alat peraga kampanye juga memilih berbagi.“Pagi-pagi munum kopi biar kuliahnya makin semangat. Mari, silakan diambil kopinya, gratis, loh.”Resta mulai beraksi. Ia bertugas menggiring massa yang akan masuk ke gedung kuliah bersama. Gala berada di belakang meja untuk menyiapkan kopi yang akan dibagikan kepada semua mahasiswa. Mereka tidak membatasi untuk berbagi hanya dengan keluarga besar Fakultas Ekonomi saja tetapi dengan semua yang lewat di depan posko kampanye mereka.“Bu Tita!”Resta mendekat ke arah Tita yang baru memasuki koridor gedung. Ia lalu menggamit lengan dosennya tersebut menuju meja tempat timnya berbagi. Di sana, Gala suda
Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.“Em ... dia lagi gak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.“Udah dibawa ke dokter?”“Gak mau, katanya cuma kecapean.”Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”Gala segera be
“Enggak, kok. Aku lagi bad mood aja denger cerita Inara tadi,” ucap Resta berbohong, “masa kata dia di jurusannya itu, ada salah satu calon ketua HMJ yang niat nyalon cuma demi mendapatkan hati gebetannya. Munafik banget, kan, Ga?”Gala terperanjat. Ia merasa tersindir dengan kisah yang dituturkan Resta. Belum lagi tatapan tajam gadis itu.“I-iya, munafik itu. Tapi namanya cinta, apa pun akan dilakukan.”Resta kembali melirik ke arah pemuda di sampingnya. Ia pun tersenyum sinis mendapati wajah bingung Gala.“Makan itu cinta!”Gala terperanjat mendapati nada bicara Resta yang meninggi. Ia semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu.“Kok, kamu ngegas gitu, Ta? Sama aku pula.”Resta menghela napas pendek. Ia sedikit lega bisa mengutarakan isi hatinya pada Gala secara tidak langsung.“Sampai nemu kejadian kaya gitu di Ekonomi, hih! Siap-siap disidang di depan publik! Claresta yang akan mimpin.”Gala terkesiap hingga reflek merubah posisi duduknya sedikit miring menghadap Resta.“Emang b