Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king
“Kapan kamu mau nikah? Udah kepala tiga, Nduk. Mbok, ya, jangan mikir karir terus. Temenmu udah pada punya anak. Apa kamu mau dicarikan jodoh lagi?” Tita tersentak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan bapaknya. Hanya sebuah pertanyaan tetapi dirasakannya bagai sebuah ancaman. Sudah dua kali keluarganya berusaha mencarikan jodoh untuknya. Namun, Tita selalu saja punya alasan kuat saat menolaknya. “Nggak usah, Pak. Tita bisa cari sendiri.” “Kapan? Bapakmu ini wes sepuh. Jangan sampai yang jadi wali nikah itu masmu.” “Astagfirullah, Bapak. Kenapa ngomong gitu lagi,” ucap Tita seraya menundukkan pandangannya. Kepalanya mulai pening. Bukan satu atau dua kali bapaknya berkata seperti itu. Setiap meneleponnya, akhir-akhir ini, beliau selalu mengingatkan putri bungsunya bahwa usianya sudah tidak lama lagi. “Mohon doanya saja, Pak. Semoga disegerakan bertemu jodoh.” “Aku gak kurang kalau doakan kamu, Nduk. Kamunya yang ndablek, males nikah!” jelas bapak Tita dengan nada suara yang men
Sejak pernyataan cinta terlontar dari bibirnya, Gala menjadi mahasiswa yang pasif saat mata kuliah Tita. Ia berpikir sudah cukup untuk cari perhatian sebagai bentuk perkenalan diri saat di kelas. Sekarang, dirinya hanya duduk di pojok belakang dengan tangan bertopang dagu. Senyuman tidak pernah luput dari wajahnya. Laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna hitam tersebut terus memperhatikan Tita walaupun dosennya itu sedang tidak menjelaskan apa pun. Di meja depan, Tita menyadari bahwa sejak dirinya masuk kelas, Gala tidak berhenti menatapnya. Terlintas satu ide untuk berbalik menjahili mahasiswanya tersebut. Ia membiarkan laki-laki itu menatapnya dari kejauhan. Lewat kamera ponselnya, Tita mengamati tingkah Gala. Habis ini, kita lihat. Kamu masih berani natap dosenmu ini, gak? Tita segera melancarkan aksinya. Ia mendongakkan wajah. Tatapannya lurus ke arah Gala. Mata mereka pun saling bertemu pandang. Tita bergeming tanpa senyuman. Dalam hati, ia ingin tertawa. Apalagi saat mahasi
“Kamu gak malu ngelamar tante-tante?” tanya Tita yang akhirnya bersuara. Ia menoleh sekilas ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi. Gala tertawa kecil menanggapi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di sebelahnya. Ia sudah menebak akan ada pertanyaan seperti itu untuknya karena masalah perbedaan usia dan juga status pendidikan. “Saya juga sudah om-om. Berarti gak masalah, kan?” Tita menghela napas dalam. Mahasiswanya itu selalu punya jawaban yang mematahkan ucapannya. “Kamu itu masih muda, Ga. Temen-temen di kelasmu itu cantik-cantik, loh. Kenapa gak milih mereka saja?” Gala berdecak, kesal. Tita ternyata sulit untuk diluluhkan hatinya. Selalu saja memberi alasan agar dirinya menyerah. “Saya udah tua, Bu.” “Masa? Seberapa tua?” tanya Tita pura-pura tidak mengetahui usia Gala. “Tahun ini usia saya sudah 25 tahun. Sudah tua, kan?” “Masih muda, Ga. Tetap lebih tua saya.” “Cinta tidak mengenal angka dalam usia. Umur saya ini sudah waktunya nikah, Bu.” Tita tertawa mendeng
Gala begitu bersemangat menyantap baksonya. Berbeda dengan Resta yang terlihat enggan melahap mi ayam di hadapannya. Ia pun sesekali melirik ke arah laki-laki di sampingnya. Empat semester berteman, sepanjang itulah gadis ayu tersebut memendam rasa. Resta memainkan ponselnya. Ia mulai mengunggah salah satu fotonya dan memberikan caption yang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini. Tidak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati makanan masing-masing. Gala segera beranjak dari duduknya menuju kasir. “Ga, ini uangku.” “Kebiasaan kamu, nih. Yang ngajak makan siapa tadi? Simpen aja.” “Makasih Gala,” ujar Tita seraya tersenyum manis. Ia bersyukur, sebagai anak rantau, saldo ATM-nya di akhir bulan yang mulai menipis bisa diamankan. Namun, terkadang dirinya merasa tidak enak hati jika terus ditraktir oleh Gala. Gala bingung, jadwal pulang Tita masih lama. Ia tidak mungkin menuju Kopipiko—coffee shop miliknya--sambil menanti malam tiba. Dirinya takut tidak bisa balik lagi ke kampus
Gala dan Tita akhirnya salat Maghrib berjamaah. Sesuai keinginannya sendiri, pemuda itu yang menjadi imam. Suara Gala cukup merdu dan fasih saat melantunkan ayat suci Alquran. Di bangku sekolah menengah atas, dirinya pernah bergabung dengan ekstrakurikuler rohis walaupun hanya sesaat. Setelah selesai, Gala memutar tubuhnya menghadap Tita yang masih fokus berdoa. Hatinya berdesir melihat wajah dalam balutan mukena berwana jingga tersebut. Tidak ada lagi lipstik dan pensil mata yang menghiasi. Namun, aura Tita dirasakan Gala semakin memancarkan kecantikannya. “Astaghfirullahaladzim,” ucap Gala sambil mengusap wajahnya. Tita tahu jika dirinya sedang diperhatikan oleh mahasiswanya tersebut. Ia pun bergegas merapikan mukena. Tanpa memandang Gala, Tita segera beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar musala. “Loh, pergi?” Gala kaget saat melihat Tita meninggalkannya. “Saya tungguin pulangnya, Bu. Jangan lupa.” “Terserah kamu, deh,” ucap Tita tanpa menoleh ke arah Gal
“Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran dari kata-kata yang terlontar.“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.“Saya akan berjuang, tidak aka
Resta melangkah santai ke kelas. Ia lalu memilih kursi yang berada di deretan depan. Tidak lama kemudian, Gala datang dan langsung menghampiri sahabatnya itu.“Hai,” sapa Gala yang duduk di kursi sebelah Resta.Gadis dengan rambut dikepang dua itu membisu. Pandangannya tidak beranjak dari layar ponsel yang ada dalam genggamannya.“Aku minta maaf, kemarin ucapanku memang kelewatan. Maafin aku ya, Ta?”Resta masih terdiam tanpa senyuman. Wajah gadis itu terlihat dingin. Ia benar-benar kecewa dengan sahabatnya itu. Tidak bisa mengontrol ucapan.Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia paham, gadis di sampingnya jika diam seperti itu tandanya sedang marah dan kecewa.“Aku dicuekin, nih,” ucap Gala seraya mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Resta yang masih menunduk. Pemuda pemilik mata kecil itu memberikan senyuman khas yang menampakkan lesung pipit pada wajahnya. Namun, Resta masih juga bersikap acuh.Gala menghela napas kasar. Ia beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar