Selamat membaca. Mohon maaf, karena kesibukan author di RL, buku ini mungkin tidak bisa update setiap hari. Namun, bisa dipastikan buku ini akan ditulis secara teratur hingga tamat, ya. Terima kasih.- Teha^^
"Selamat, Nyonya Xander! Anda telah memiliki saingan dalam merebut hati suami Anda! Hahaha." Judith tertawa mengejekku dengan begitu puasnya. Dua pekan semenjak pulang dari Makarelia, akhirnya aku bisa berjumpa lagi dengan sahabatku ini, di tempat tinggalku yang baru pula. Bisa dibilang ia sangat pemberani. Xander bisa saja melakukan hal mengerikan, bila bertemu dengan perempuan yang sempat 'menculik' pengantinnya dulu. Syukurlah Xander tak bereaksi macam-macam saat bertemu Judith sebentar tadi pagi. Ini adalah kesempatanku untuk curhat sepuas-puasnya. "Nggak lah! Gabby bukan apa-apa, ia hanya gadis pekerja yang diam-diam menyukai atasannya. Xander tak memiliki rasa kepadanya," ujarku tanpa menunjukkan ekspresi apapun, padahal di dalam hati aku tidak senang mengetahui ada wanita lain yang terobsesi pada suamiku. "Maksudku bukan Gabby, Thea, tapi Bianca. Hahahahaha." Kali ini Judith tertawa terpingkal-pingkal hingga air matanya keluar, dan perutnya sakit. "Ah, sialan kau!" Temanku
"Aku ... tidak tahu. Aku tidak paham dengan perasaanku sendiri, Jud. Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu ..., maaf." Dengan lesu kutundukkan kepalaku.Urusan perasaan dan percintaan sebulan terakhir ini terasa terlalu rumit untukku. Dimulai dari plot twist di hari pernikahanku, dan berujung pada kebingungan tentang bagaimana aku bisa menempatkan hatiku dalam perkawinan di luar perkiraan ini.Dia bukan orang yang sama sekali asing, tetapi Xander bukan orang yang seharusnya kunikahi. Dan kini semua menjadi aneh, karena kepura-puraan di depan khalayak itu terasa alami bagiku."Hmm, berarti sudah jelas jawabannya. Kamu memang mencintai Xander." Judith berujar dengan nada suara yang begitu yakin, seolah tak terbantahkan.Kudongakkan kepala, dan kulihat senyuman penuh kepercayaan dirinya, mungkin lebih tepatnya senyuman sok tahu. Nah, mulai lagi si para-tidak-normal satu ini!"Apa maksudmu, Jud? Nggak bisa begitu dong! Bagaimana kamu bisa menyimpulkannya semudah itu, sementara aku sendiri yan
"Jangan underestimate terhadap Elowen, ya! Meskipun lebih banyak area pedesaan di sini, orang-orangnya tidak udik, tahu," ucapku sewot, setengah bercanda menanggapi ucapan Judith."Ceileh! Yang sudah jadi nyonya di Elowen nih, ye, siap pasang badan ngebelain." Ledekan Judith belum berhenti. Perempuan itu cengar-cengir seperti tapir.Eh, tapir bisa cengar-cengir kah?"Jelas dong! Katanya don't judge the book by its cover, so kalau kamu belum benar-benar mengenal Elowen, jangan menilai hanya dari penampilannya yang sederhana ini," imbuhku yakin."Ampun deh! Baiklah, Bu Xander yang telah menjadi duta pariwisata Elowen.""Apaan sih?""Hahaha."Baik aku maupun Judith memang tinggal di Hazelton, sebuah kota yang cukup modern. Semenjak kecil kami terbiasa dengan suasana kota yang ramai, dan menikmati kemudahan hidup di sana."Jadi apa yang spesial di Elowen, khususnya di tempat ini, yang membuatmu betah? Selain karena ada Xander tentunya. Hihi," tanya Judith dengan bumbu kepo yang sedikit kur
"Enak saja! Buat apa?!""Eh, kok kamu tahu sih?"Setengah tak percaya kutolehkan kepala ke samping, dan menatap Judith dengan mulut menganga. Demi menjaga harga diri, aku menyangkal tuduhan Xander, eh, di saat bersamaan Judith malah sebegitu gampangnya mengiyakannya sambil bersikap centil.Dia ini benar-benar kawan yang tidak setia kawan.Tak dinyana, sedang seru-serunya kami membicarakan Xander, eh, objek yang kami omongin malah muncul. Inilah satu alasan mengapa kita tidak boleh membicarakan orang lain di belakangnya, ya, pembaca!"Eh ..., maksudku ... hehe ... itu ...." Terbata-bata sambil garuk-garuk kepala, Judith mencoba menganulir ucapannya."Kalian sudah makan? Sepertinya belum." Dengan sikap yang sangat santai Xander mengambil air mineral dan meminumnya. Gibahan kami tadi seakan telah dilupakannya.Di hari Sabtu Xander hanya bekerja setengah hari, jadi ia bisa pulang relatif siang. Peluh membasahi baju yang dikenakannya, anehnya di mataku dia terlihat seksi.Entah CEO macam ap
Bab 1."Kamu ..., apa yang kau lakukan di sini???"Aku berseru kaget, saat melihat sosok pria di hadapanku.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Alex, kekasihku. Kepadaku, MC jelas-jelas menyatakan bahwa mempelai priaku telah menanti, tetapi, Alex tidak ada di panggung. Justru, saudara sepupunya lah yang berdiri dengan angkuh di sana."Di mana Alex?" tanyaku lagi ketika menyadari kealpaan calon suamiku.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ballroom, tetapi Alex sama sekali tak nampak batang hidungnya. Tiba-tiba aku mendapat firasat buruk akan hal ini.Lalu dengan air muka datar, pria angkuh itu melangkah mendekatiku. Aroma maskulin yang memikat semerbak di udara."Kau mencari suamimu, Theodora?” ucapnya dengan wajah yang sinis. “Perkenalkan, Xander—Alexander Noah Smith, suamimu" lanjutnya dengan yakin."Apa???"Ini pasti penipuan. Nama mereka memang sama, Alexander, tetapi calon suamiku bukanlah Alexander yang ini."Kau pasti bergurau, Xander.” Aku tertawa kosong. “Tolong, seriuslah
"Kamu pikir kamu hebat, Theodora?Apa yang kaulakukan ini sia-sia saja. Jika Xander mau, ia bisa dengan mudah menemukanmu, dan kau bisa bayangkan hal buruk apa yang bisa ia lakukan terhadapmu."Ucapan pedas itu terlontar dari seorang wanita muda yang di duduk di hadapan. Dialah Judith, sahabat sekaligus sosok yang membawaku lari dari pesta pernikahan sialan itu.Berkat bantuannya aku bisa bersembunyi di rumah mendiang neneknya di luar kota, yang kuyakin tak diketahui oleh siapapun, termasuk keluargaku."Jud, bagaimana bisa kau malah membela Xander ketimbang sahabatmu sendiri? Kau tidak lihat berita di televisi itu? Xander patut mendapatkannya, setelah apa yang dilakukannya kepadaku," gerutuku sedikit sewot.Padahal aku sedang tertawa puas, karena kekacauan di pesta pernikahan terkutuk itu. Xander pasti malu, sebab ada banyak kenalan dan rekan bisnisnya yang melihat. Bahkan para wartawan telah menjadikannya berita heboh di televisi maupun portal berita online. Aku sungguh puas, eh, Judi
"Aku membencimu, Xander. Aku benciiii!" teriakku sekuat tenaga, setelah Xander menjauh dariku."Hahahaha!" Lagi-lagi pria itu menertawakanku, dan menyebutku bocah tantrum. Badannya sampai terguncang-guncang, seakan ia tengah menyaksikan acara komedi super kocak.Bah! Tidak ada yang lucu! Justru tingkahnya sekarang itu yang kekanakan."Kau harusnya bersyukur, aku tak menuntutmu, dan membawa masalah ini ke jalur hukum. Ketahuilah, pengacaraku bisa melakukan apapun sesuai yang kuperintahkan kepadanya," cakapnya tanpa beban.Xander memang tersenyum sangat manis, tetapi tatapan matanya seperti predator ganas yang siap memangsa seekor kelinci tak berdaya."Aku tak bisa menjadi istri yang kauharapkan, Xander, jangan memaksakan kehendakmu."Kupaparkan bahwa jika aku menjadi istrinya, aku tidak akan melakukan tugas apapun sebagai seorang istri. Aku tak mau memasak, mencuci bajunya, mengurus rumahnya, dan terutama aku tak mau tidur dengannya.Jangankan tidur bersama, disentuhpun aku tak sudi!"
"Aku yang akan lebih dahulu menghukummu, Xander!!!" teriakku sekuat tenaga sembari menerjang maju ke arah tempat tidur.Masih sempat kulihat matanya yang terbelalak, sebelum aku menubruk Xander hingga ia telentang di atas tempat tidur. Kujambak rambutnya, lalu kupukuli dadanya."Rasakan ini!" Tanganku beralih mencubiti lengannya.Pria berambut terang itu memang mengerang akibat seranganku, tetapi ia sama sekali tak menghindar, apalagi melawan, bahkan ada saat bisa kudengar suara tawanya karena kegelian.Kucengkeram erat kerah kemejanya, dan kutatap dirinya dengan mata mendelik."Kamu ...," desisku dengan gigi gemeretak. Aksiku tak berlanjut, karena sebuah interupsi tak terduga."Honey! Lihatlah mereka!" Seruan seorang wanita terdengar dari arah pintu kamar.Sontak aku dan Xander menoleh ke sana. Kulihat sepasang suami istri berusia paruh baya tengah memperhatikan kami dengan penuh minat.Aku terbengong, otakku mencerna informasi di depanku. Siapakah mereka? Bagaimana mereka bisa masuk