Share

2 Aku Masih Hidup?

Marcel mengusap bibirnya dengan air yang mengalir dari wastafel dapur. Bukannya kenyang, yang ada dia malah mual.

Tadi itu memang bukan pertama kalinya Marcel dipaksa untuk menghabiskan makanan sisa keluarga istrinya, tapi tetap saja lama-kelamaan dia muak dengan semua ini.

Kalau bukan karena beban yang ditinggalkan kedua orang tuanya yang memilih pergi tanpa tanggung jawab, dia tidak akan sudi menjalani hidup seperti sekarang.

“Saya bantu, Pak?” Suara seorang perempuan terdengar lirih mencapai telinga Marcel dan membuatnya menoleh.

Kepala pelayan yang bernama Nana langsung menyuruh beberapa orang untuk menyingkirkan piring-piring kotor dari atas meja dan menaruhnya ke dalam gak cucian. Satu lagi diimbau untuk membuang sisa nasi dan tulang yang berceceran di lantai.

“Tidak usah, Bi. Nanti kalian bisa kena hukum ...” sahut Marcel tidak kalah lirih karena lemas.

“Sebagian anggota keluarga sudah kembali ke kamarnya masing-masing, sebagian lagi pergi menggunakan mobil.” Anak dari Nana menyahut. “Bapak mau makan lagi, akan saya siapkan ....”

“Tidak usah, Eli. Terima kasih,” angguk Marcel sembari duduk di pojok dengan punggung bersandar sementara beberapa pelayan bahu membahu membersihkan dapur.

Memang hanya mereka yang menaruh hormat kepada Marcel sebagai menantu di rumah keluarga Delvino, meski saat penindasan berlangsung, tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya karena risiko dipecat.

Begitu tubuhnya sedikit enakan, Marcel segera bangkit dan pergi menuju gudang yang terletak di luar rumah utama keluarga Delvino. Dia meniti tangga yang melingkar menuju ke ruang bawah tanah, di mana terdapat sebuah laboratorium yang sudah tidak beroperasi lagi sejak orang tuanya pergi tanpa jejak.

Memori Marcel berputar kembali di masa ketika dia tiba dijemput paksa dari kampusnya dengan alasan orang tuanya pergi meninggalkan surat perjanjian yang

Menyatakan bahwa Marcel harus mempertanggungjawabkan utang-utang yang ditinggalkan oleh orangtuanya.

Sejak saat itulah dia terjebak di lingkaran setan karena harus menikah dengan Shirley yang tidak menganggapnya sama sekali.

Kilas balik memori itu berakhir ketika Marcel menapakkan kakinya di atas lantai yang berlapis debu tebal setidaknya satu senti. Dia memang sudah bosan membersihkan lab itu karena kakak-kakak iparnya sering mengentakkan kaki mereka dengan sengaja sehingga membuat debu-debu berjatuhan di bawahnya.

“Aku ingin mengakhirinya,” gumam Marcel sambil melangkah mendekati salah satu lemari kaca yang berisi banyak tabung percobaan yang terbengkalai.

Dalam bayangan Marcel, semua cairan yang ada di dalam tabung itu setidaknya sudah kedaluwarsa dan bisa merenggut nyawa siapapun yang meminumnya.

Tanpa pikir panjang, Marcel membuka lemari kaca itu dan mengambil satu tabung kecil panjang yang berisi cairan berwarna biru elektrik.

“Untuk orang tuaku,” ucap Marcel sebagai salam terakhirnya. “Di mana pun mereka berada.”

Dengan sekali gerakan, Marcel langsung menenggak cairan itu sembari memejamkan kedua matanya.

Satu detik berlalu tanpa reaksi apa pun.

Marcel mengusap mulutnya dengan punggung tangan, setelah itu dia meletakkan tabung yang tadi diambilnya di atas meja.

Beberapa detik kemudian baru terasa sensasi yang tidak biasa di perut Marcel. Lambungnya bagai ada ombak yang pecah dan membentur organ-organ dalamnya, membuat Marcel mencengkeram perutnya erat, setelah itu dia terbungkuk di atas lantai kotor dengan sesuatu yang seperti menggigit-gigit setiap inci kulit tubuhnya.

Marcel mengeluarkan suara-suara aneh dari kerongkongannya, dia masih sempat berpikir bahwa itu adalah suara nyawanya ketika dipaksa meninggalkan tubuh yang tidak lagi stabil.

Ayah, ibu, selamat tinggal. Kalian tidak akan pernah bertemu denganku lagi, kata Marcel dalam hati sebelum akhirnya dia menutup mata ketika tubuhnya terkapar di lantai.

***

“Apakah si bodoh itu masih hidup?”

“Diam, Ciko!”

“Semua ini gara-gara Kakak, kan sudah aku bilang jangan main keroyokan!”

“Kamu diam saja, bocah ... bukankah kata dokter dia cuma keracunan?”

Marcel mendengar sayup-sayup suara yang sangat familiar di telinganya, suara itu terdengar begitu lirih seakan berasal dari tempat yang jauh.

“Apa dia akan selamat?”

“Memangnya apa yang kamu harapkan?”

“Kalau dia tidak selamat, kita yang akan rugi ....”

“Kak Ronnie yang harus bertanggung jawab dalam hal ini!”

“Berisik kalian ....”

Marcel mengerjabkan matanya, dan warna serba putih langsung masuk dalam penglihatannya begitu dia terbangun sepenuhnya.

Aku masih hidup? Batin Marcel tak percaya.

Mustahil! Bukankah dia telah meminum cairan kedaluwarsa yang ada di lab itu?

Bagaimana bisa dia masih hidup?

“Marcel bangun!” Mendadak ada yang menjerit dan membuat gaduh seisi ruangan.

“Cepat panggil ayah dan juga dokter!”

“Masih untung dia hidup, menyusahkan saja!”

Marcel masih terbaring diam karena tidak mengerti dengan apa yang terjadi kepadanya.

Yang dia ingat adalah kejadian terakhir di dalam lab, mana kala Marcel berusaha mengakhiri hidupnya sendiri.

Tidak berselang lama, seorang pria berjas putih muncul dan mengimbau orang-orang untuk meninggalkan ruangan tempat Marcel berada.

“Apakah dia akan pulih, Dokter?” terdengar suara Herman, ayah mertua Marcel.

“Saya harus memeriksa kondisi pasien dengan teliti,” jawab dokter yang menangani Marcel. “Yang pasti pasien berhasil melewati masa kritisnya dengan sangat mengesankan, jadi saya akan melakukan serangkaian pemeriksaan ....”

Marcel tidak lagi mendengarkan apa yang dokter itu katakan, dia masih terlalu bingung dengan situasi yang kini berlangsung di sekitarnya.

“Apa yang kamu rasakan, Cel?” tanya Herman setelah penjelasan dokter selesai.

Marcel membuka mulutnya, tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar.

“Apa kerongkongannya bermasalah?” tanya Herman kepada dokter yang berdiri di sampingnya. “Karena itu dia tidak bisa bicara?”

“Kami akan terus melakukan pemeriksaan, Pak.” Dokter itu mengangguk. “Pasien bisa lolos dari masa kritisnya saja sudah sangat keajaiban karena cairan kimia yang ditelannya termasuk berbahaya ....”

Marcel memejamkan mata, berharap bahwa apa yang tengah berlangsung di depannya adalah mimpi belaka.

Dan dia kembali tertidur ....

Bangun-bangun, Marcel sudah berada di kamar pelayan yang ada di kediaman keluarga Delvino.

Kedua mata Marcel menyapu seluruh ruangan dan melihat Nana yang sedang melipat pakaian bersih.

“Bi ...” panggil Marcel dengan tenggorokan yang begitu kering.

Nana menoleh dengan ekspresi antara kaget dan tidak percaya.

“Syukurlah, Pak Marcel sudah bangun!” ucapnya sambil mendekati Marcel. “Saya ambilkan teh hangat dulu ya, Pak ....”

“Bi, kenapa saya belum ... belum dimakamkan juga?” tanya Marcel terbata.

“Dimakamkan?” sontak saja Nana mengerutkan keningnya ketika mendengar pertanyaan Marcel. “Bapak masih hidup! Anda selamat, Pak!”

Marcel terbaring mematung, dan Nana meninggalkan kamar pelayan dengan nyaris berlari.

“Aku ... masih hidup?” gumam Marcel sambil mengerjabkan matanya berulang kali. “Bagaimana bisa?”

Dia ingat betul kalau dirinya benar-benar meminum cairan kimia itu sampai habis tak bersisa, jadi mustahil kalau dia masih selamat.

Marcel mencubit lengannya dan terasa sakit, tidak lama setelahnya dia menampar wajahnya sendiri berulang kali.

Dan ternyata dia memang masih hidup, ini bukan mimpi!

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status