Share

Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya
Menantuku Selalu Menyembunyikan Makanan di Kamarnya
Penulis: Azu Ra

Rendang Telur

“Pemberian menantuku loh, ini,” kata Bu Esih saat ditanya ibu-ibu soal perhiasannya yang baru.

“Menantumu Indah, Bu Esih?” tanya lagi yang lain, aku hanya sibuk mendengarkan.

“Iya, lah. Siapa lagi?” Bu Esih menampakkan senyuman bangga.

“Baik sekali ya menantumu, Bu. Sudah cantik, pekerja keras, bisa ngurus anak dengan baik pula. Bersyukur Bu punya menantu seperti Indah.” Bu Esih mengangguk-angguk, dalam hati aku ikut bahagia melihat kesenangan orang lain. Diam-diam aku juga berdoa supaya Nina bisa merubah sikapnya yang ketus nan pelit.

Sebagai seorang mertua, sejatinya aku bukan ingin diberi, melihat anak dan menantu sudah berkecukupan saja senang rasanya. Tapi beda lagi dengan sikap Nina yang selalu memperlakukanku layaknya musuh.

“Bu Ami, Nina bagaimana sekarang?” tanya Bu Esih di sela suara mesin yang menderu. Kami memang habis pulang ziarah, rombongan ceritanya.

“Bagaimana apanya, Bu?” sahutku sambil mengulas senyum, walau tahu makna dari pertanyaan Bu Esih yang sebenarnya.

“Masih ketus nan pelit, nggak?” Aku menelan ludah. Selama ini aku selalu berusaha menutupi sesuatu yang terjadi di rumah, termasuk sikap Nina. Namun, entah dari mana orang-orang tahu kalau menantuku memang memiliki watak demikian.

“Nggak, Bu.” 

“Ditutup-tutupi pun tetap kentara kok, Bu Ami. Semua warga di gang Tumaritis sudah tahu kalau mantu Ibu memang nyebelin!” sahutnya lagi. Dadaku kian sesak.

“Betul, Bu Esih. Nina itu selain ketus, dia sombong banget,” sahut yang lain.

“Ih, bener banget! Dia ‘kan suka main tuh ke rumahku, nyamperin Indah gitu. Terus kemarin anaknya ngedeketin kulkas di rumah, ya namanya anak biasalah pengen itu benda dibuka. Tapi dia malah bilang apa coba?” ujar Bu Esih membuat semua orang bertanya penasaran.

“Dia bilang … jangan dibuka, Adel! Di dalamnya gak ada apa-apa, ini cuma pajangan doang. Nyebelin gak, tuh?” Dadaku tambah sesak saja mendengar penuturan Bu Esih, kalau iya Nina sudah benar-benar keterlaluan. Padahal jelas sekali Bu Esih dan Indah itu kalangan orang berada, hanya saja mereka tinggal bersama karena Bu Esih sangat mencintai menantunya itu. 

“Ya Allah, terus Bu Esih diam saja, gitu?”

“Tadinya mau aku sahutin sambil bukain tuh kulkas. Tapi Indah ngelarang, tahu sendiri Indah orangnya gak suka ribut. Kalau pun dibuka itu kulkas, pasti ngejengkang dia lihat isinya!” Ya Allah Tuhanku … tak kuasa aku menahan genangan air di pelupuk untuk tidak meluncur. Sedih, malu, semuanya bebaur jadi satu.

“Bu? Bu Ami?” tanya Bu Esih, tapi dadaku kian sesak sampai akhirnya kutundukkan kepala sambil memeluk lutut. Di atas mobil bak aku tersedu-sedu, Bu Esih dan yang lainnya pun mendekat seraya mengelus-elus punggung ini.

“Maaf, Bu Ami. Maaf … banget. Aku gak bermaksud menjelekkan menantu Ibu Ami, tapi memang kenyataannya begitu, Bu.” Aku masih terisak sembari memeluk lutut. Wajah Wahyu langsung terbayang, bagaimana kalau dia tahu istrinya banyak yang menggunjing, pasti lah sakit dan malu perasaannya.

“Betul, Bu Ami. Kami sebenarnya salut sama Ibu, punya menantu kikir nan ketus tapi selalu menutupi sikap buruknya itu. Bu Ami mertua yang baik dan kuat.” Aku bisa tahu kalau yang bicara barusan adalah Bu RT.

“Iya, Bu Ami. Betul apa kata Bu RT, Ibu Ami sangat kuat dan tahan banting. Kalau aku punya menantu kayak dia, sudah kutendang sampai Merauke kayaknya.” Ibu-ibu tertawa kecil, aku mencoba mengangkat kepala lalu menghapus air mata.

“Tapi aku malu, Bu-Ibu ….” ucapku jujur.

“Kenapa harus malu? Toh bukan Ibu Ami yang punya sikap begitu. Sebenarnya, Wahyu tahu nggak sih kalau istrinya punya sikap seperti itu, Bu Ami?” tanya lagi Bu Esih.

Aku menggeleng, “Aku gak mau banyak omong, Bu. Takut salah ucap. Biarlah segala keburukan terungkap dengan sendirinya.” Ibu-ibu mengangguk, termasuk Bu Esih.

“Oke kalau begitu. Tapi, kalau Bu Ami butuh bantuan, jangan sungkan minta sama kami, ya?” ucap Bu Esih, aku hanya bisa tersenyum haru.

*** 

Sepulang dari ziarah, kulihat Nina tengah menonton televisi bersama Adel. Aku hanya bisa membuang napas, cucuku tampak menikmati minuman kemasan yang kutahu kurang baik untuk pertumbuhan anak. Pantas jika pertumbuhan Adel kurang pesat, Nina selalu memberikan jajanan seperti itu padanya.

“Dari mana sih, Bu? Kok lama banget?” Seperti biasa, wajahnya tak enak dipandang.

“Lho, ‘kan tadi Subuh Ibu udah pamit, mau ikut ziarah sama Ibu-ibu.”

“Subuh ya aku belum bangun, mana kedengeran, Bu. Jadinya aku susah makan ini, belum bisa masak karena Adel nggak ada yang pegang!” ucapnya membuatku mengambil napas dalam.

“Ya sudah, kalau begitu cepat masak. Biar Adel Ibu yang jagain!” Dia tak menyahut, melainkan langsung berdiri dan berjalan ke arah kamar. Tanpa mengganti baju terlebih dulu, aku langsung duduk menemani Adel, anak kecil ini tampak semringah didampingiku.

Adel memang sering sekali ingin diasuh atau ikut jika aku hendak bepergian. Namun Nina selalu melarang kami dekat-dekat kecuali jika dia sedang mengerjakan sesuatu.

Dari sudut mata aku bisa melihat Nina keluar kamar membawa satu papan tempe, dibawanya makanan itu ke dapur. Tak lama setelah itu, aroma orek tempe menguar dari dapur, perutku mendadak keroncongan.

“Assalamu’alaikum!” Kujawab salam tersebut sambil menoleh ke arah pintu, rupanya Farhan baru pulang. 

“Ibu masak orek, ya? Kebetulan Farhan lapar,” ucapnya langsung duduk di sampingku.

“Kakakmu yang masak.” Farhan terdiam seketika, mengerti jika kakak iparnya itu tak mungkin mau berbagi.

“Tadi Subuh ‘kan Ibu masak rendang telur, kayaknya masih ada, Han. Ambil saja ke dapur kalau kakakmu sudah selesai masak.” 

“Iya kah, Bu? Siap kalau begitu.” tanyanya dengan mata berbinar, kemudian meraih Adel agar duduk ke pangkuannya. Melihat paman dan keponakannya akur, aku hanya bisa tersenyum. Andai saja keadaan di rumah sedamai ini, mungkin hatiku tak terlalu bersedih.

“Eh-eh! Jangan dipangku!” pekik Nina yang baru saja nongol dari dari dapur seraya membawa sebuah piring. Nasi di atas benda itu nampak menggunung dihiasi orek tempe yang amat harum, juga dua buah rendang telur masakanku tadi Subuh. Di bawah piring tersebut juga ada tempe mentah miliknya itu, ternyata dia tidak memasaknya sampai habis, pasti lah Nina akan kembali membawa bahan masakan itu ke dalam kamarnya lagi.

“Kamu belum mandi, baru pulang sudah pegang Adel. Sini, Sayang!” Dengan satu tangannya Nina merebut anaknya dari pangkuan Agung. Nyelekit lagi perasaanku mendengar penuturan juga melihat sikapnya yang kian berani.

“Makan dulu, Nak.” Aku berbisik, Farhan mengangguk dan bangkit. Aku pun ikut beranjak karena merasa sudah selesai menjaga Adel.

“Bu, rendang telurnya di mana?” tanya Farhan setelah kami berada di dapur.

“Di rak makan lah, Han.” Aku menyahut saat mengambil piring.

“Nggak ada, Bu. Tinggal bumbunya.” Cepat aku melangkah ke arah Farhan, melihat mangkuk yang dipegang anak bungsuku itu.

“Ini ‘kan mangkuknya, Bu?”

“I-iya, ini. Memangnya Farhan nggak tahu mangkuknya yang mana?” Anakku menggeleng.

“Tadi Farhan nggak makan dulu, Kak Nina bilang Ibu belum masak jadi Farhan langsung berangkat saja.” Mendidih rasanya darahku mendengar penuturan Farhan. Benar-benar zalim kelakuan Nina ini. Sudah pelit, serakah pula.

Jangan-jangan, Ridho juga belum makan? Apa lagi dia tengah membantu Pak Haji membangun warung. Ya Allah ….

“Bu?” tanya Farhan membuyarkan lamunan, aku hanya terdiam dan kembali melihat mangkuk yang hanya berlumur bumbu sisa itu.

Tanpa menjawab Farhan, aku langsung berbalik, berjalan cepat tepat ke arah Nina yang masih menikmati makan siangnya di depan televisi.

“Kembalikan rendang telurku!” ucapku sambil menekan nada bicara. Nina menoleh, tenggorokannya tampak tengah menelan kunyahan.

Mata kami saling beradu di dalam kesunyian.

“Kembal—” Kalimatku tak selesai, sebuah ucapan salam dengan suara tak asing membuat kami menoleh bersamaan.

Wahyu?

BERSAMBUNG.

Jangan lupa follow akun aazuuraa dan ikuti ceritanya di KBM App 😘

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status