Setelah semua orang pulang, Reva merasa kesepian lagi. Rumah kembali sepi dan anehnya suaminya, orang yang seharusnya ada saat perayaan ulang tahun istrinya malah belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Jam telah menunjukkan pukul 9 malam, beberapa jam lagi sudah mau berganti hari.Ia menghela napas panjang, benar-benar sudah tidak ada harapan lagi. Ia beranjak dari sofa setelah mematikan tv, berniat untuk langsung tidur saja namun,Ting! Ting! Bel rumah berbunyi membuat Reva sontak menatap ke arah pintu depan. Kakinya tergerak melangkah ke depan.Ceklek! Ia bisa melihat suaminya sedang berdiri di hadapannya dengan kepala tertunduk dan tangan yang berada di dahinya.“Om, kamu kenapa? kamu baik-baik saja?"Zidan mendongak, matanya tampak sayu, pipinya merah seperti orang yang habis mabuk. “Aku baik-baik saja.” Zidan menerobos masuk, melangkah agak sempoyongan.“Kamu habis mabuk ya Om?” Zidan berbalik, menatap Reva lama lalu menggeleng. “Enggak. Aku enggak mabuk, aku cuma minum du
Zidan pulang sore hari ini. Hari ini tidak banyak kerjaan di perusahaan sehingga ia bisa pulang lebih cepat. Ting! Ting!Ceklek! Ketika Zidan masuk, ia bisa melihat Reva dan Riri sedang sibuk menggeledah ruang tamu. “Kalian lagi ngapain?” tanya Zidan.“Lagi nyari hardiskmu lah,” jawab Reva yang tampak ngos-ngosan, keringat tampak mengalir dari dahinya menetes hingga ke bawah. “Belum ketemu juga?” “Belum.” “Saya benar-benar tidak tahu Tuan, Non. Seingat saya, saya simpan hardisknya di laci meja nakas di kamar Tuan, tidak ada saya pindahkan lagi setelah itu,” ungkap Riri, Reva melirik Riri tidak percaya ketika ART itu menjelaskan pada Zidan. Bagaimana bisa Riri berkata seperti itu sementara Reva sama sekali tidak menyentuh hardisk itu, sudah pasti dia yang memindahkannya.“Terus kalian pikir hardisk itu punya kaki? Kalau di kamarku sudah tidak ada lagi, berarti di antara kalian berdua ada yang mindahin. Enggak mungkin ‘kan Pak Anton yang mindahin?"Reva semakin kesal ketika Zidan
“Oke. 1 kelompok terdiri dari dua orang ya. Ibu enggak mau 1 kelompok terdiri dari banyak orang karena kalau gitu pasti bakalan banyak yang enggak kerja. Ibu maunya semuanya bekerja jadi paham dengan tugasnya. Mengerti?” “Mengerti Bu!” “Oke. Sekarang Ibu akan bagi kelompoknya ya,” ucap sang dosen seraya memakai kacamatanya lalu menatap ke kertas absen.“Duh, kenapa enggak milih sendiri aja sih kelompoknya,” bisik Rosa ke Reva di sebelahnya. “Iya, enakkan milih sendiri. Tapi, ya udah lah.”“Di catat ya. Kelompok 1, Sinta dan Caca, kelompok 2 Rosa dan Nana."“Yes, kita barengan.” Rosa dan Nana berpegangan tangan sebentar, sementara Reva di tengah di antara mereka cemberut karena otomatis tidak sekelompok dengan salah satu temannya.“Kelompok 3, Gio dan Serli, kelompok 4 Brian dan Ali. Kelompok 6 Reva dan Kevin.”Mata Reva terbuka lebar ketika mendengar nama teman sekelompoknya lalu saling pandang dengan temannya yang berada di kiri dan kanannya. Setelah dosen membagi semua kelompok
“Enggak Tuan, sa-saya enggak apa-apa. Saya izin sebentar mau keluar. Permisi.” Tanpa persetujuan Zidan, Riri langsung menyelonong pergi bahkan dengan langkah terbirit-birit.Zidan berbalik, melihat Riri yang sudah tiba di depan pagar dengan dahi berkerut dan mata memicing. ‘Sepertinya ada yang tidak beres di sini.'Zidan bergegas masuk, memeriksa ke setiap ruangan termasuk kamar Reva. ‘Dia tidak ada di kamarnya. Apa dia belum pulang?’ Zidan memeriksa jam di tangannya yang telah menunjukkan pukul 4 lewat 15 menit. ‘Bukankah seharusnya dia sudah pulang sekarang?’ walaupun cuek dengan Reva, ia tetap mengetahui seluruh jadwal kuliah Reva.Setelah memeriksanya semua tempat di bawah, ia pun pergi ke lantai 2. “Astaga, Reva!” pekik Zidan ketika menemukan istrinya sudah tergeletak tak sadarkan diri di depan kamarnya. Ia memeriksa denyut nadi di tangan Reva dan ia masih bisa merasakannya, ia juga melihat ada lampu tidurnya di sebelah Reva, sepertinya alat itu yang digunakan pelaku sampai membu
“Reva, kamu bisa dengar Mama?” tanya Dina ketika Reva membuka matanya perlahan. Dina masih menggenggam erat tangan putrinya.Reva bisa melihat Mamanya samar-samar, mengedipkan matanya beberapa kali sampai penglihatannya jernih. “Mama,”Sudut bibir Dina terangkat, ia menciumi tangan anaknya beberapa kali. “Alhamdulillah, Reva. Mama senang sekali kamu akhirnya sadar. Bagaimana kabarmu nak?”“Aku cuma pusing sedikit Ma. Tapi,” Reva mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Ini di mana Ma?”“Kamu di rumah sakit. Memangnya kamu enggak sadar pas dibawa ke sini?” Reva mengernyitkan dahinya, bola matanya bergerak-gerak, kembali mengingat kejadian yang terjadi padanya sebelum dirinya berakhir di rumah sakit. Seketika matanya membola setelah mengingat semuanya. “Mbak Riri. Ke mana Mbak Riri? Dia orang yang udah memukul kepalaku, Ma. Dia yang buat aku pingsan."Bibir Dina terbuka, “Hah, Riri? Maksud kamu, Riri, pembantu di rumah kamu itu?”“Iya Ma. Dia jahat. Dia yang udah mencelakai aku.” Dina so
“Reva! Reva, bangun nak!” seru wanita paruh baya di pagi-pagi buta, membangunkan anak bungsunya yang baru saja lulus SMA.“Emmm ... masih ngantuk Ma, aku ‘kan juga masih libur,” ucap Reva, gadis bertubuh pendek mungil itu dengan suara serak bahkan matanya masih terpejam.“Bangun nak! cepat siap-siap sekarang, hari ini kamu nikah!” Mata Reva seketika terbuka, langsung duduk, menatap mamanya dengan mata melotot. “Apa Ma? nikah? Mama jangan bercanda dong. Bukannya hari ini Kak Risa yang nikah?” “Kakakmu enggak ada, dia kabur dari rumah., Mama enggak tahu lagi harus gimana, Mama pusing. Hari ini pernikahannya tapi dia malah kabur enggak tahu ke mana,” ungkap Dina, Mama Reva seraya mengusap dahinya yang terasa berdenyut.“Hah, Kak Risa kabur? kok bisa?” kepala Reva tiba-tiba berdenyut, terlalu banyak kabar mengejutkan pagi ini, bahkan ini baru beberapa jam setelah hari berganti. “Udah, kamu jangan banyak tanya dulu ya. Sekarang, kamu mandi terus siap-siap.” Mama Reva menarik tangan anakn
Setelah akad dan resepsi usai, Reva langsung mengurung diri di kamarnya. Menangis terisak, meratapi nasibnya yang kini sudah berstatus sebagai seorang istri. Hatinya sangat sakit, di saat anak seumurannya sedang sibuk melanjutkan pendidikan untuk menggapai cita-cita-citanya dan masih bisa bebas bermain dengan anak sebayanya, ia malah terpaksa menikahi pria yang tidak dicintainya, yang bahkan usianya jauh di atasnya. Zidan dan Reva akan tinggal di kediaman mempelai wanita dan kediaman mempelai pria untuk beberapa hari ke depan sebelum pindah ke rumah sendiri.“Zidan, Mama harap kamu bisa ngertiin Reva ya. Dia pasti belum siap untuk menerima semua ini. Kamu ‘kan juga tahu kalau dia baru saja lulus SMA,” tutur Dina, mamanya Reva meminta pengertian kepada menantunya. Orangtua Reva dan Zidan sekarang tengah berada di ruang tamu kediaman keluarga Reva.“Iya Zidan. Sekali lagi kami juga minta maaf dan mohon pengertian dari kamu atas semua masalah yang terjadi hari ini,” tambah Reno.“Iya Ma,
Seminggu kemudianTelah seminggu berlalu sejak pernikahan Zidan dan Reva dilangsungkan. Setelah tinggal bersama di kediaman orangtua masing-masing selama beberapa hari, akhirnya mereka tinggal bersama di sebuah rumah mewah nan mahal yang dihadiahkan oleh Mama Zidan sebagai kado pernikahan.Dan di sinilah mereka baru saja tiba di perkarangan rumah besar itu bersama orangtua mereka yang menaiki mobil yang berbeda. Zidan memarkirkan mobil sedan mewah hitam miliknya di sebelah mobil sedan putih mamanya. Mamanya Zidan tampak keluar lebih dulu bersama kedua orangtua Reva yang ikut bersamanya.Reva keluar lebih dulu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Selama perjalanan, ia memang hanya diam saja. Zidan tidak terlalu peduli karena dia orangnya juga tidak suka banyak bicara.Rumah untuk Zidan dan Reva itu tampak sangat besar nan mewah. Pilar rumah yang terdapat di depan terlihat menjulang tinggi dan kokoh. Rumah bergaya klasik modern itu memiliki 2 lantai. Halamannya pun begitu luas, terlihat