Kota Bukit, Juni 2023.
"Dari mana aja kamu?!" bentak seorang wanita paruh baya pada seorang gadis berkerudung yang baru saja memasuki sebuah toko buku dengan tergesa. "Gara-gara kamu, aku jadi telat arisan!" gerutunya."Dari kampus, Bi," Gadis itu membuka tasnya dengan napas terengah-engah."Ingat Dinda, dua hari lagi kamu akan bertunangan. Acaranya juga butuh duit. Jadi kamu harus kerja lebih keras, ngerti?"Gadis bernama Dinda itu meremas kuat tas kanvas yang baru saja ia letakkan di atas meja. Menahan napas yang seharusnya masih memburu.Bertunangan? Siapa juga yang ingin bertunangan dengan seorang laki-laki tua yang sudah memiliki istri dan anak? Kenapa pula setelah dipaksa menikah malah ia yang menanggung biayanya?Namun gadis itu hanya diam. Menjawab artinya menambah ocehan lain dari sang bibi.Dengan cekatan, ia membereskan buku-buku baru yang masih bertumpuk dalam kardus dan memindahkannya ke salah satu rak panjang. Mengabaikan sang bibi yang masih memelototinya."Baru pulang, ya, si sok pintar itu?" Suara seorang perempuan terdengar dari arah tangga penghubung ke lantai atas toko.Lola, adik sepupu Dinda yang duduk di kelas 3 SMA. Gadis manja yang selalu menjadi anak emas. Dengan langkah anggun, menuruni anak tangga. Kemudian menatap Dinda dengan tatapan malas. "Lo bisa nggak, sih, jadi babu yang nurut dikit?" protesnya dengan nada yang dibuat seanggun mungkin.Dinda menghela napas, 'si ratu drama' pasti akan semakin memojokkannya. Bibirnya yang berbentuk menarik itu tersungging sinis pada Lola. "Lo sendiri bisa nggak, sih, jadi anak yang berguna dikit?" balasnya."Berguna?" Lola menaikkan sebelah alisnya. "Maksud Lo gue juga harus nikah sama laki-laki bangkotan yang kaya raya, gitu? Sorry ya, buat apa juga kami melihara Lo kalo nggak ada manfaatnya?" senyumnya licik.Dinda merapatkan giginya. Emosinya mulai terpancing. Lelah karena tugas di kampus ditambah pulang terburu-buru membuat amarah gadis itu mudah sekali terusik."Nggak usah pasang muka cemberut. Harusnya kamu senang dikawinin sama orang kaya!" cebik Yani. Matanya yang besar kemudian beralih meneliti gelang emas di lengannya sendiri dengan kilatan obsesi. Mengatur letaknya sejenak, lalu mematut diri di hadapan cermin."Ah, jadi nggak sabar liat si kucel berdampingan sama si keriput, hahaha," Lola tertawa mengejek.Cukup sudah!Dinda sudah tak tahan.Dengan bibir terkatup rapat, gadis berpakaian sederhana yang nyaris tampak lusuh itu mengangkat wajahnya. Mata cemerlangnya menatap nyalang pada Yani yang sedang bersiap-siap pergi ke arisan."Dinda nggak mau dijodohin!" tegasnya dengan nada tinggi. "Dinda punya hak untuk menentukan masa depan sendiri!"Gerakan Yani yang sedang merapikan penampilannya di depan cermin seketika terhenti. Kemudian berbalik dengan mata yang memicing. "Maksudmu?""Dinda nggak mau nikah dulu.""Ngelunjak bener kamu sekarang, ya? Kau mau kami yang menanggung hidupmu sampai tua?""Tapi kan ... ruko ini miliknya ibu sama bapak," bantah Dinda ragu. Selama ini belum pernah sekalipun ia mengungkit harta peninggalan orang tuanya, tapi kali ini berbeda. Masa depannya sedang dipertaruhkan."Wah! Tak tau diri kau rupanya. Kamu pikir bisa hidup tanpa campur tangan kami?"Dinda menelan salivanya. Haruskah ia mengalah lagi? Melakukan semua perintah sang bibi yang jelas-jelas menerima kehadirannya dalam keluarga kecil itu hanya karena toko buku peninggalan orangtuanya? Atau diam lagi demi rasa terimakasih pada pamannya yang telah mengangkatnya sebagai anak, namun tak pernah peduli dan membiarkan istri serta anaknya bertindak semena-mena?"Ya!" jawab gadis itu akhirnya. "Dinda bisa. Karena toko buku ini ditinggalkan ibu sama bapak buat bekal Dinda melanjutkan hidup," tegasnya tanpa ragu lagi.Mendengar jawaban Dinda yang begitu menantang, Yani meradang. Matanya melotot, rahangnya mengeras. Ia menatap Dinda penuh kebencian. Anak yang seharusnya berhutang budi dan berterimakasih padanya kini berani menentang?Dengan gerakan kasar ia menarik kerudung Dinda dan menyeretnya keluar."Aw! Lepasin Bi!" teriak gadis itu kesakitan.Lola yang melihat itu langsung tersenyum senang dan buru-buru mengikuti ibunya yang menyeret Dinda keluar. Tampangnya begitu girang, seolah mendapatkan tontonan yang sangat menarik.Dalam satu hentakan keras, wanita bertubuh besar itu mendorong Dinda ke emperan toko.Duk. Gadis itu terhempas kuat."Aw!" Ia terpekik saat tubuhnya jatuh dengan kedua lutut menghantam lantai. "Astaghfirullah," erangnya kemudian sambil meringis merasakan sakit.Yani tampak belum puas. "Siapa yang mau nikahin kamu kalo bukan karena aku yang jodohin, hah?!" teriaknya.Orang-orang di sekitar toko mereka langsung memperhatikan. Menatap kaget sekaligus bingung.Namun Yani tak peduli. Dengan tangan yang berkacak pinggang, dia menunjuk Dinda. "Kalo kamu nggak mau dijodohin, mati aja sekalian daripada terus jadi beban!"Dinda membalas tajam tatapan Yani dengan mata yang berkaca-kaca. Menahan sakit di lutut dan hatinya. "Hidup Dinda adalah milik Allah. Dinda akan terus berjuang untuk hidup dan menemukan cinta sejati!" tegasnya."Hahaha," Yani tertawa dengan nada mengejek. Begitu juga dengan Lola yang berdiri di belakangnya. "Lihatlah anak nggak tau diri ini! Cinta sejati katanya," tunjuk Yani remeh.Orang-orang masih hanya menatap. Tak ada yang berkomentar ataupun berusaha menghentikan wanita itu."Coba buktikan sekarang! Siapa yang mau menjadikanmu istri?!" ejek wanita itu semakin tak berperasaan."Mana ada yang mau sama cewek kucel dan berantakan kayak dia, Mami," sinis Lola.Yani mengiyakan jawaban putrinya dengan senyuman."Hei, Herman!" panggilnya pada seorang pemuda tukang ojek yang ikut berhenti melihat kejadian itu. "Kau mau nggak kalo dinikahkan sama ini anak?"Dinda tak sanggup lagi untuk mengangkat wajahnya. Begitu memalukan. Harga dirinya diinjak-injak di hadapan orang banyak. Kalau saja tempurung lututnya tidak terlalu sakit, ia pasti akan berlari meninggalkan tempat itu."Nggak gue Bu Yani," Herman menggelengkan kepalanya. "Neng Susan yang cantik udah siap gue ajak ke KUA," sahutnya cengengesan.Lola langsung cekikikan mendengar jawaban Herman.Orang-orang mulai membicarakan.Yang laki-laki kebanyakan ikut meremehkan dengan dibawa bercanda. Sedangkan yang ibu-ibu tampak tak setuju dan menghujat perbuatan Yani."Kamu sadar sekarang?!" Yani menunjuk Dinda dengan raut puas. "Mana laki-laki yang mau sama kamu?!" bentaknya dengan suara keras."Saya! Saya yang akan menikahinya," Sebuah suara bariton tiba-tiba menyahut dengan nada tenang.Dinda terhenyak. Yani dan Lola pun tersentak. Begitu juga dengan orang-orang yang masih menonton.Seorang pria muda kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Dinda.Tangan dengan lengan yang kokoh dan bertatto daun Semanggi."Bangunlah," ajak pria itu lembut. "Aku sudah tiba seperti janjiku padamu.""Bangunlah," ajak pria itu lembut. "Aku sudah tiba seperti janjiku padamu."Dinda terpaku bingung. Siapa laki-laki ini? Rasanya mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Tetangga-tetangga mulai bergunjing mengenai mereka. Beberapa memuji betapa beruntungnya Dinda memiliki kekasih setampan laki-laki itu. Namun, beberapa juga mencemooh Dinda yang dinilai tidak sepadan dengan laki-laki tersebut.Sementara orang-orang sibuk berkomentar, tangan kokoh itu masih menunggu di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi gadis itu kemudian menyambutnya. Namun ia masih tak sanggup mengangkat wajahnya. Dinda benar-benar malu dan hanya ingin menghilang dari tengah kerumunan orang-orang.Tangan kokoh itu membantunya berdiri. Kemudian membimbingnya ke restoran sebelah."Kita makan dulu, ya? Aku sudah lama menahan rindu ingin makan bersamamu lagi."Laki-laki itu menuntunnya pelan ke Restoran berbintang yang berseberangan dengan toko bukunya. Meninggalkan Lola dan Yani yang melongo tak percaya. Begitu masuk ke da
“Apa kamu menolakku?” Detak jantung Dinda serasa berhenti seketika mendengar pertanyaan itu. Bukan cuma masih mengingatnya, sang dokter bahkan benar-benar serius tentang pernikahan yang ditawarkannya. Tubuh Dinda seolah membatu. Ia tak mampu bergerak ataupun menjawabnya. “Atau kamu sudah menerima perjodohan itu?” Andra menelisik wajah yang terpaku bisu itu. “Bu-bukan,” jawab Dinda tergagap. “Saya tidak menerima perjodohan itu.” “Terus?” “Saya Cuma berpikir kalau Anda sudah lupa.” Andra tertawa, renyah dan enak didengar. “Mana mungkin aku lupa setelah mengajak anak orang menikah?” Dinda menyengir. Baginya yang terasa tak mungkin malah kenyataan bahwa laki-laki itu benar-benar menunggu jawabannya. “Saya bingung, ini terlalu mendadak.” “Bagaimana dengan perjodohan itu? Apa bibimu tidak memaksa lagi?” “Masih. Dan besok mereka akan datang untuk pertunangan.” Andra langsung menatap serius. “Kalau kamu masih ragu dengan tawaranku, berarti kamu harus siap menikah dengan laki-laki
“Saya Andra, calon suami Dinda.”Semua terperangah mendengar jawaban pemuda bersetelan dokter yang tiba-tiba datang. “Calon suami?” Yani bangkit dengan wajah kesal. Menatap tak sabar orang yang telah mengganggu rencananya. Kemudian baru teringat pada wajah tampan yang beberapa hari lalu juga ikut campur saat ia sedang memarahi Dinda. “Oh, kamu yang tempo hari mau nikahin si Dinda?” Andra melepaskan tangan Dahlan dan beralih menatap Yani. “Ya. Saya yang lebih dulu melamar langsung pada Dinda, dan saya juga laki-laki yang pertama kali diterima Dinda. Jadi saya yang berhak menikahinya.” “Huh,” Yani mendengus. “Apa tujuanmu nikahin dia? Toko buku? Apa si Dinda bilang toko ini miliknya?” Yani tertawa sinis, “asal kamu tau, ya, toko ini udah sepenuhnya milik kami. Si Dinda harusnya malah nombok buat biaya kami ngerawat dia. Jadi, kamu nggak akan dapat apa-apa kalau nikah sama dia.” “Saya nggak butuh apa-apa. Saya hanya ingin menikahinya.” Amir ikut berdiri dan menatap pemuda itu serius.
“Bagaimana bisa seorang dokter seperti Anda mau menikah mendadak seperti ini?” tanya Dinda dengan kepala yang tersandar di dada bidang Andra.“Karena situasimu yang mengharuskan,” jawab Andra.Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Dinda. Namun gadis itu tak melihat sorot mata laki-laki itu yang tampak begitu misterius saat menjawabnya. “Kenapa harus? Saya bukan siapa-siapa Anda.” Andra menghela napas tanpa mau melepaskan pelukannya. “Awalnya aku hanya ingin menolong gadis yang mempertahankan hidupnya walau dunia telah menyuruhnya tiada saja. Tapi kemudian aku merasa yakin gadis itulah pilihan yang tepat.”Jembatan indah itu menjadi saksi. Saat rasa nyaman menyatu bersama dekapan kedua insan yang baru saja mengikrarkan janji di hadapan Allah. Setelah puas menenangkan diri, pasangan suami istri baru itu memutuskan kembali ke ruko. Kaki Dinda melangkah ringan, begitu ringan hingga serasa terbang. Ia benar-benar tak bisa merasakan pijakan kakinya, tak bisa melihat suasana di sekel
“Aku tidak bisa!” Andra menjawab panggilan yang begitu mengganggu itu singkat, dan dengan nada dingin. Setelahnya, lelaki itu langsung menaruh ponsel itu kembali ke dalam saku, kemudian termenung dalam pikiran yang tak tentu arah.Di hadapannya, Dinda sedang diliputi kegundahan. Sebelum berangkat, tentu ia harus mengganti kebaya dan rok batik sempit yang menjepit kakinya itu. Tapi bagaimana menggantinya kalau sang Dokter masih berada di dalam kamarnya? “Saya mau ganti baju dulu,” ujar Dinda tanpa berani menatap. Namun Andra tidak menanggapi. Dinda mengangkat wajahnya, dan menyadari bahwa sang dokter sedang melamun. Ekspresi laki-laki itu juga tampak lain. Apa ada masalah yang tiba-tiba membuatnya kepikiran? “Ehm,” Dinda berdeham ragu. “Boleh ... tunggu di luar, Dok?” Andra tersentak dan menoleh. Ekspresinya seketika berubah hangat kembali saat menatap Dinda. “Ya? Kenapa?” “Saya mau ganti baju dulu.” “Oh, oke. Aku akan menunggu di depan pintu,” jawabnya sambil bangkit dari temp
Perempuan itu menatap Andra intens tanpa melirik Dinda sedikitpun. Senyuman di bibir merahnya masih mengembang, namun ucapannya penuh dengan tekanan, "apa kamu mengabaikan ku, Janson Sayang?"Sayang? Kata itu membuat Dinda terpaku. Baru saja ia menanyakan tentang pacar tiba-tiba saja seorang wanita memanggil laki-laki itu dengan sebutan sayang?Andra menghembuskan napas panjang, menatap jengah perempuan yang menghadang mobilnya. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Dinda. Membuka pintu lalu menghampiri wanita itu. "Ada apa?" tanyanya datar. Wanita itu menatap manja. Tangannya terulur menyentuh jas kedokteran Andra dan merapikannya penuh perhatian. Andra membiarkannya tanpa ekspresi. "Janson, aku ingin makan malam denganmu malam ini," pinta wanita itu dengan nada yang mendayu-dayu. "Aku tidak bisa. Kau bisa mengajak Alex atau temanmu.""Adikmu itu mana pernah mau diajak dinner romantis. Aku benar-benar kesepian beberapa hari ini. Kalian mengabaikanku," rajuk wanita itu. "Tapi aku b
Dinda kembali ke kursi tamu setelah membuktikan rasa penasarannya. Tak elok juga kalau ia memeriksa setiap ruangan rumah yang baru ia datangi itu, walau rumah itu milik suaminya sendiri. Andra kembali dengan bibir terkatup rapat. Sepertinya ada masalah yang serius dengan orang yang baru saja menelepon. "Maaf Dinda, aku harus keluar dulu, ada sedikit urusan di luar. Kamu ada rencana mau kemana? Biar aku antarkan lebih dulu."Dinda terdiam sejenak. Ia tak pernah punya tujuan di luar rumah kecuali kampus dan rumah Fathimah. Tapi kalau sudah sore seperti ini tentu tak mungkin pergi ke sana. "Saya ... tidak punya rencana kemana-mana. Dokter pergi saja."Apa tidak apa-apa aku tinggal sendirian?"Dinda memberikan senyuman tipis. "Tidak apa-apa, saya berani. Di rumah ini tidak ada hantunya, kan?""Tidak ada hantu yang berani singgah di rumah ini. Kalo ada yang berani mampir langsung aku seret ke rumah sakit buat di inpus karena mukanya pada pucat.""Hahaha ...,"Dinda tertawa mendengar gura
Bibir menawan Andra langsung tersenyum. Dengan tatapan yang masih terpaut pada Dinda, ia menolak tawaran mahasiswi cantik bak seorang model di sampingnya. "Terimakasih. Tapi tidak perlu, saya sudah menemukan yang saya cari."Langkah panjangnya terayun menuju Dinda. Membuat para gadis yang menyebut diri mereka para Dewi itu terperangah. "Maaf, aku tidak pulang semalam, istriku. Aku bersumpah, tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi," ucapnya. Ucapan yang membuat para Dewi benar-benar tersentak mentalnya. "I-iya," Dinda tergagap. Mendengar Andra memanggilnya istri membuatnya salah tingkah. "Ayo, kita pulang." Laki-laki itu meraih tangan Dinda. Menggenggamnya hangat dan penuh kelembutan. Merasakan sentuhan itu membuat napas Dinda seketika tertahan. Ia kelabakan dan kembali hanya bisa menjawab, "i-iya."Andra menoleh pada Fathimah. Yang berdiri bangga memperlihatkan sahabatnya pada para Dewi yang masih terpaku tak percaya. "Fathimah, bagaimana kakinya?" Fathimah kembali tersenyum