Hari pertama Fasya magang berlangsung cukup padat. Mungkin ini karena dia belum terbiasa dengan kehidupan seorang pekerja. Selama ini Fasya dibuat terlena dengan kehidupan mahasiswa yang terkesan santai. Bahkan dia bisa mengerjakan tugasnya dengan rebahan. Berbeda saat dia magang, dia harus bekerja dengan fokus.
Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari ruang tengah. Sengaja Fasya memilih untuk makan malam di sana karena tidak terbiasa makan di meja makan. Apalagi meja makan di rumah Adnan berukuran cukup besar karena berisi sepuluh kursi. "Bibi nggak makan?" tanya Fasya pada Bibi Sari yang duduk di sampingnya sambil mengupas buah. Namun matanya fokus pada televisi yang menambilkan sinetron kesukaan para ibu-ibu. "Nanti aja, Mbak." "Nggak laper?" tanya Fasya lagi karena mulai jenuh. "Saya kalau makan biasanya malem sama suami Bibi nanti." Fasya mengangguk mengerti. Dia lupa jika Bibi Sari tinggal bersama suaminya di rumah ini. "Udah jam 7, biasanya Mas Adnan pulang jam berapa, Bik?" "Biasanya pulang jam 5-an kok, Mbak. Mungkin lagi lembur." Fasya mengangguk dan mencibir dalam hati. Ternyata pria itu benar-benar menghindarinya. Tidak masalah, Fasya lebih nyaman jika tidak melihat wajah pria itu. Jujur saja tidak ada yang berubah sejak pernikahan terjadi. Yang berbeda hanyalah baik Fasya dan Adnan harus hidup bersama. Untuk masalah rumah tangga, mereka sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain. "Kenapa, Mbak? Mbak Fasya kangen Bapak ya?" Tiba-tiba Bibi Sari menyenggol bahu Fasya, bermaksud menggodanya. "Kangen? Sama batu ginjal? Najis!" batin Fasya kembali merutuk. "Mungkin karena kemarin sibuk sama Kakek Faris, Mbak. Makanya kerjaan numpuk terus lembur deh." Fasya hanya bisa tersenyum paksa. Tidak mungkin dia menolak mentah-mentah godaan Bibi Sari. Yang wanita itu tahu, dia dan Adnan adalah sepasang suami-istri. "Kenapa nggak ditelpon aja, Mbak?" Fasya dengan cepat menggeleng. Tentu dia tidak akan mau menghubungi Adnan. Apalagi dengan alasan konyol seperti itu. Lagipula niat Fasya bertanya adalah agar dia bisa mengira-ngira kapan waktu yang tepat untuk tidak bertatapan langsung dengan Adnan. Suara langkah sepatu yang mendekat membuat Fasya dan Bibi Sari menoleh. Tak lama Adnan muncul sambil melepas dasi yang melingkar di lehernya. Raut wajahnya terlihat begitu lelah, tetapi bagi Fasya wajah itu sama dinginnya seperti biasa. "Panjang umur, Pak." Bibi Sari tiba-tiba berbicara, "Baru aja diomongin tadi." Adnan berhenti melangkah dan mengangkat sebelah alisnya, bermaksud untuk bertanya. "Tadi Mbak Fasya kangen katanya." Mata Fasya membulat mendengar itu. Dia mengumpat dalam hati karena kesal. Sejak kapan dia berkata seperti itu? Sepertinya dia harus berhati-hati dengan Bibi Sari karena wanita itu sama seperti ibu-ibu pada umumnya. Fasya hanya bisa tersenyum paksa saat Adnan menatapnya bingung. Dia menggeleng dengan pelan, berusaha membuat Adnan mengerti jika semua ucapan Bibi Sari adalah kebohongan. Dia tidak mau membuat seorang Adnan merasa besar kepala. "Saya ke atas dulu," ucap Adnan pada akhirnya. "Nggak mau makan dulu, Pak? Saya siapin ya?" Bibi Sari mulai berdiri. "Nggak usah, saya sudah makan." Setelah itu, Adnan benar-benar berlalu menaiki tangga. Fasya kembali berbalik dan lagi-lagi menggerutu. Entah kenapa melihat Adnan selalu membuatnya kesal. Bahkan makanan yang terasa lezat tadi mendadak tersasa hambar. "Bibi ke dapur dulu ya, Mbak. Mau bikin susu jahe buat Bapak." "Iya, Bik." Fasya yang masih kesal dengan celetukan Bibi Sari hanya bisa menjawab seadanya. Setelah bersusah payah menelan makanannya, akhirnya Fasya berhasil membuat piringnya bersih. Dia berjalan ke dapur dengan membawa piring kotornya. Di sana, masih ada Bibi Sari yang berkutat dengan minuman buatannya. "Mbak Fasya mau susu jahe juga?" "Nggak usah, Bi. Saya udah kenyang, terima kasih," ucap Fasya sambil mencuci piring bekas makannya. "Pak Adnan itu suka minum susu jahe, Mbak. Setiap mau tidur pasti minum." Fasya tersenyum miring, lebih tepatnya mengejek. Membelakangi Bibi Sari membuatnya lebih bebas untuk berekspresi. Dia sedang menertawakan Adnan yang masih hobi mengkonsumsi susu sebelum tidur seperti bayi. Sebenarnya tidak ada yang salah, Fasya hanya ingin mengejek Adnan. "Nanti kapan-kapan Bibi ajarin bikin susu jahe kesukaan Pak Adnan." Fasya memutar matanya jengah. Dalam hati dia berteriak tidak mau. Lagi pula untuk apa? Hubungannya dengan Adnan tidak sedekat itu. "Iya, Bik. Makasih ya." Hanya itu yang bisa Fasya katakan. "Nah, udah jadi. Mbak Fasya mau ke atas kan? Ini sekalian bawain ya buat Pak Adnan." Fasya dengan cepat berbalik saat mendengar ucapan Bibi Sari. Dia menatap wanita paruh baya itu dengan wajah yang bodoh. "Apa?" "Ini." Bibi Sari memberikan satu gelas susu jahe ke tangan Fasya. Mau tidak mau Fasya menerimanya dengan bingung. "Nanti sekalian pijitin Pak Adnan gitu, pasti capek." Bibi Sari tertawa. Wajah Fasya semakin terlihat bodoh mendengar itu. Dia mengedipkan matanya berulang kali berusaha untuk menyadarkan diri. "Biar Adnan junior bisa cepet jadi," lanjut Bibi Sari dengan tawanya yang semakin kencang. Fasya hanya bisa tertawa palsu dan mulai berjalan ke luar dapur. Dia akan semakin terlihat bodoh jika terus mendengar celetukan Bibi Sari yang mengejutkannya. Fasya akui jika Bibi Sari adalah wanita yang memiliki selera humor yang bagus. Sekarang yang Fasya pikirkan hanya satu. Bagaimana caranya ia memberikan susu jahe itu pada Adnan? *** Fasya berdiri di depan pintu kamar Adnan dengan kaku. Dia terlihat ragu untuk mengetuk pintu. Entah kenapa dia baru sadar dengan kebodohannya. Kenapa dia harus menuruti permintaan Bibi Sari untuk mengantar minuman ini? Peduli setan. Dengan segera Fasya mengetuk pintu kamar. Dia tidak mau terlalu lama berdiri di depan pintu seperti orang bodoh. Jika Adnan memang bertanya, dia akan menjawab apa-adanya. Ini bukan keinginannya untuk mengantar minuman ini. Tak lama pintu terbuka dan memperlihatkan Adnan yang sudah terlihat segar dengan rambut basahnya. Sepertinya pria itu baru selesai membersihkan diri. Saat melihat keberadaan Fasya, bukannya bertanya, Adnan malah menaikkan sebelah alisnya bingung. "Ini," ucap Fasya memberikan minumannya. Bahkan dia tidak menatap Adnan sama sekali. Langit-langit rumah terlihat lebih menarik. "Apa?" "Susu jahe." Alis Adnan semakin terangkat mendengar itu. Dia masih diam tidak menerima minuman pemberian Fasya. Hal itu membuat Fasya meliriknya sebentar. "Ambil cepet. Tangan aku capek." Adnan masih menatap Fasya datar. Namun Fasya tahu jika banyak pertanyaan di kepala pria itu saat ini. Saat Adnan akan membuka mulut, dengan cepat Fasya berbicara. "Jangan geer." Fasya memotong ucapan Adnan cepat. "Bukan aku yang bikin, tapi Bibi." "Saya nggak tanya," jawab Adnan singkat. Tangannya bergerak menerima minuman hangat itu. "Kenapa kamu yang anter?" "Kalau bukan Bibi yang minta aku juga nggak mau." Fasya mendengkus. "Kamu bisa tolak." "Nanti Bibi curiga kalau kita— kita cuma pura-pura." Fasya memelankan kalimatnya di bagian akhir. Adnan tersenyum tipis mendengar itu. Begitu samar sampai tidak membuat Fasya sadar. "Bibi udah tau." Fasya terkejut dan berjalan mendekat, "Maksud Mas Adnan? Bibi tau kalau kita cuma pura-pura?" Adnan mengedikkan bahunya tak acuh, "Mungkin." "Aku nggak ngerti." Fasya bergumam seperti orang bodoh. "Kamu nggak perlu khawatir. Bibi Sari dan Pak Yanto udah tau kalau kita nggak tidur satu kamar." Wajah Fasya terlihat semakin panik, "Kalau nanti Kakek tau gimana?" Adnan mengedikkan bahunya tak acuh, "Kalau tau ya berarti ada yang kasih tau." "Kok Mas Adnan santai banget sih?"Fasya mendadak kesal. Adnan mengedikkan bahunya pelan, "Saya mau tidur," ucapnya santai dan langsung menutup pintu tepat di depan wajah Fasya. Fasya memejamkan matanya dan menarik napas dalam. Setelah itu dia mengeluarkannya dengan perlahan. Matanya kembali terbuka dan perasaaannya sudah sedikit tenang. Memang tak salah instingnya sejak awal. Adnan memang menyebalkan. Pantas saja Fasya bisa begitu membencinya saat pertama bertemu. *** TBCSuara ketukan pada pintu kamar membuat Fasya mengerang. Dia semakin mengeratkan selimutnya dan berusaha kembali tidur. Baru saja akan kembali terlelap, Fasya dikejutkan dengan ketukan pintu yang semakin keras. "Aduh, siapa sih?!" Fasya dengan cepat bangun dan mengacak rambutnya kesal. Fasya adalah manusia yang cukup peka terhadap suara. Sepelan apapun suara, itu bisa membangunkan tidurnya. Alarm yang telah dia atur di setiap paginya bahkan belum berbunyi. Oleh karena itu dia kesal dengan orang yang mengganggu tidurnya. Tidak ingin pintu kamarnya rusak karena ketukan yang semakin kencang, akhirnya Fasya memilih untuk bangun. Tanpa memperhatikan penampilannya dia langsung membuka pintu. Matanya yang setengah sadar langsung membulat saat melihat Adnan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu menatapnya datar seperti biasa. Namun hal itu semakin membuat Fasya panik karena sadar dengan penampilannya. "Sial!" umpat Fasya menutup tubuh bagian depannya dengan kedua tanga
Sebagai mahasiswa magang, tentu pekerjaan Fasya tidak seberat karyawan tetap. Namun baru beberapa hari menjalani magang entah kenapa dia sudah mulai merasakan lelahnya bekerja. Fasya memang senang saat di kantor, tetapi saat pulang dia mulai merasakan lelah pada tubuhnya. Apa ini yang dirasakan oleh para pekerja? Dia meringis saat mengingat kakeknya yang sudah tua tetapi masih bisa mengurus peternakan sapi di desa. Sepertinya Fasya harus mulai lebih menghargai uang sekarang. Setelah pulang magang, mandi adalah pilihan terbaik. Fasya keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah. Mungkin setelah ini dia akan sedikit bersantai sambil menunggu jam makan malam tiba. Baru saja ingin meluruskan kakinya di tempat tidur, Fasya mendengar suara ketukan pada pintunya. "Bibi?" sapa Fasya saat tau jika Bibi Sari yang mengetuk pintu kamarnya. "Maaf, Mbak. Ada tamu di bawah." Kening Fasya berkerut, "Tamu? Siapa, Bik?" "Katanya namanya Denis?" "Tamu Bapak?" Bibi Sari
Kehidupan rumah tangga Fasya dan Adnan sangatlah aneh. Saat ini mereka tengah duduk di meja makan di mana Adnan dan Fasya masing-masing duduk di ujung meja. Tidak ada percakapan apapun di antara mereka selain dentingan sendok dengan piring. Ini pertama kalinya Fasya melihat Adnan setelah pria itu kembali dari luar kota tadi siang. Sesekali Fasya melirik Adnan yang masih fokus makan. Dia melihat pria itu dengan pandangan menilai. Bahkan dia memiringkan kepalanya untuk berpikir. Yang ada di otak Fasya saat ini adalah Adnan mirip seperti robot. Tidak ada yang pria itu lakukan selain makan, berbeda dengan Fasya yang tidak bisa diam dan sesekali melirik ponselnya agar tidak jenuh. Ingatan Fasya kembali pada semalam, di mana Adnan menghubunginya dan berkata hal yang membuatnya bingung. Hingga saat ini Fasya masih penasaran kenapa Adnan melarangnya bertemu dengan Denis? Mereka adalah sepupu seharusnya Adnan tidak boleh seperti itu. Apa mungkin memamg Adnan yang menyebalkan di sini? F
Adnan mengetuk pintu apartemen di depannya dengan sabar. Selagi menunggu, dia mematikan ponselnya agar tidak ada seorang pun yang menghubunginya. Tubuh Adnan sangat lelah hari ini dan pertemuannya dengan Denis semakin menguras tenanganya. Pintu terbuka dan muncul seorang wanita cantik dengan senyuman lebarnya. "Aku pikir kamu nggak dateng." "Aku males di rumah," jawab Adnan. "Tumben?" Kinan mengerutkan dahinya dan membuka pintunya lebar untuk membiarkan Adnan masuk. Seperti sudah terbiasa, Adnan melepas jasnya dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ini bukan kali pertama dia datang karena Adnan memang sudah sering datang berkunjung. Tentu saja! Kinan adalah kekasihnya. "Capek ya?" tanya Kinan mengelus bahu Adnan. "Kamu masak?" Kinan mengerutkan dahinya dan menggeleng, "Kamu laper ya?" Tanpa menjawab Adnan mengangguk. Dia belum sempat makan di rumah karena ia langsung pergi begitu Kinan menghubunginya. Berada di rumah dan melihat Fasya membuatnya sedikit kes
Fasya diam mematung dengan melamun. Dia menatap pergerakan Adnan dengan wajah yang bodoh. Dia masih berusaha mencerna ucapan pria itu tadi. Tidur bersama? Dalam satu kamar? Tidak, itu tidak akan terjadi! "Mas," panggil Fasya lemah. Adnan sendiri masih tak acuh sambil melepas jam tangannya. Dia melirik Fasya sebentar tanpa berniat untuk menjawab panggilan gadis itu. "Mas!" Kali ini Fasya memanggil dengan keras. Dia baru saja tersadar dan mulai menggunakan emosinya. "Kurang keras. Sekalian biar Kakek denger," sahut Adnan santai. "Aku nggak mau satu kamar." Fasya mulai merengek sambil menghentakkan kakinya. Adnan menatap Fasya datar, "Kamu boleh balik ke kamar kamu kalau nggak mau, tapi kalau kakek saya tau dan penyakitnya kambuh. Kamu orang pertama yang saya salahin." Setelah mengucapkan itu Adnan beranjak menuju ke kamar mandi. "Kenapa jadi aku yang salah? Ini semua salah Mas Adnan! Kenapa tiba-tiba ngilang dan pulang malem?!" Fasya berucap dengan suara tertahan.
Berlari lima kali putaran di taman komplek perumahan sudah cukup bagi Adnan. Dari jauh dia bisa melihat kakeknya yang tengah duduk di kursi taman sambil bermain dengan anak-anak komplek. Adnan tersenyum tipis melihat itu. Perasaannya menjadi tenang saat kakeknya sudah lebih sehat dan bisa tersenyum lepas. Udara pagi yang segar memang efektif untuk membuat pikiran menjadi tenang. "Ayo, pulang, Kek," ajak Adnan setelah sampai di depan kakeknya. Pria tua itu melirik jam tangannya sebentar dan mengangguk, "Ayo, kalau Fasya bangun pasti dia cariin kamu yang ilang." Di belakang kakeknya, Adnan memutar matanya jengah. Jika pria di hadapannya itu bukan pria yang ia sayangi tentu Adnan akan berbicara dengan tajam. Sayangnya ia tidak bisa melakukannya. Bahkan Adnan merelakan kebahagiaannya demi menikah dengan gadis asing yang jauh dari kriterianya. Perjalanan ke rumah tidak terlalu lama, hanya membutuhkan waktu tujuh menit dengan berjalan kaki. Sesekali Kakek Faris menyapa dan ters
Fasya menatap beberapa kantong belanjaan di tangannya dengan perasaan senang. Lupakan fakta jika dia pernah berjanji untuk menghargai uang. Dia akan menghargai uang, tetapi tidak untuk saat ini. Fasya sedang terlena dan membeli barang yang sudah ia inginkan sejak dulu. Tidak, Fasya bukan termasuk orang yang kurang mampu. Kakeknya selalu mencukupi kebutuhannya. Hanya saja, Fasya lebih sadar diri sehingga tidak mau merepotkan kakek dan neneknya. Dia tidak mau kakek dan neneknya bekerja lebih keras hanya untuk memenuhi keinginannya. Sebenarnya Fasya cukup bijak, tetapi jika berhadapan dengan Adnan adalah pengecualian. Pria itu tidak memberikan uangnya dengan cuma-cuma. Adnan sudah menjual namanya di depan Kakek Faris dan tentu Fasya harus mendapatkan keuntungan dan memanfaatkannya. "Java Chip Frappucino satu ya, Kak. Yang grande." Setelah berkeliling memanjakan dirinya akhirnya Fasya memilih untuk beristirahat dan membeli minuman. Dia sudah lelah berjalan ke sana-ke mari tet
Sambil bersenandung, Fasya menuruni tangga dengan perasaan senang. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Adnan yang sudah duduk di kursinya. Pria itu meliriknya dengan ekspresi yang membuat Fasya tertawa. Mau tidak mau Fasya membalasnya dengan senyuman konyol. Dia tahu apa yang ada di kepala Adnan saat ini. Pria itu panik dan waspada saat Fasya tahu jika dia memiliki kekasih. "Saya nggak akan bahas yang semalam sekarang," ucap Adnan tiba-tiba sambil melirik Bibi Sari. Fasya menatap Adnan polos, lebih tepatnya tidak peduli. Dengan santai dia kembali memakan sarapannya. "Tapi jangan harap kamu bisa lolos nanti." "Lolos apaan sih? Orang aku nggak ngapa-ngapain loh." "Saya lagi nggak mood buat main-main." Fasya berdecak, "Siapa yang ajak main Mas Adnan? Orang nggak asik gitu." Adnan menyelesaikan sarapannya dan berdiri. Sebelum pergi dia menghampiri Fasya dan berucap pelan. "Apapun yang kamu ketahui, jangan sampai orang lain juga tau, terutama kakek. Kalau kakek say