Mengandung Anak Majikan 32"Gimana kondisi kaki anak saya ini, Dok?" tanya Nyonya Hapsari saat dokter visit ke ruang rawat inap pasien malam itu."Setelah melihat hasil rontgent, ternyata ada retak sedikit di pergelangan kakinya, Bu. Jadi tidak terlalu parah." Dokter yang mengenakan lab jas putih tersebut menjelaskan kondisi kaki Samudra kepada orang tuanya.Tuan Danureja dan Nyonya Hapsari mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan dari dokter."Baik lah, Bapak dan Ibu, selama Samudra mengikuti prosedur perawatan yang sudah diatur, insyaa Alloh keadaan kakinya nanti akan pulih seperti sedia kala lagi," ucap dokter tersebut."Terima kasih banyak atas penjelasaanya, Dok." Tuan Danureja menjabat tangan sang dokter sebelum ia meninggalkan ruangan Samudra.Tuan Danureja menghela napas lega setelah dokter itu berlalu."Untung nggak parah, Sam. Kamu bikin jantungan Ibu saja. Besok-besok kalau mau betangkat kerja, Ibu bawain bekal aja dari rumah," repet Nyonya Hapsari."Samudra bukan anak
Mengandung Anak MajikanBab 1: Menghilangnya Vanilla"Kenapa kamu menghilang bak di telan bumi, di saat hari pernikahan kita tinggal dua hari lagi?" Samudra berteriak sambil memukul dinding kamarnya.Samudra meremas kepalanya yang serasa mau pecah. Hampir satu jam ia mondar-mandir di kamarnya sendiri seperti orang kehilangan akal sehat. Pikirannya mulai kacau membayangkan beberapa kemungkinan yang tak diinginkannya.Puluhan panggilan yang ia lakukan ke telpon seluler milik Vanilla tak tersambung. Sementara itu, sudah berderet-deret pesan singkat di aplikasi Whatsapp juga tak terkirim ke HP calon istrinya itu.Samudra mencoba mengingat kembali percakapannya dengan Vanilla melalui sambungan telpon dua hari yang lalu."Sam, baru saja aku menemukan sebuah bahtera yang jauh lebih besar dan megah di luar pintu.""Bahtera? Maksud kamu gimana, Sayang?""Kamu nggak tahu apa itu bahtera? Ck." Vanilla menjeda kata dan berdecak."Yang, coba diperjelas maksudnya," pinta Samudra."Aku hanya ingin k
Mengandung Anak MajikanBab: 2 Mencari Pengantin PenggantiDengan beban pikiran yang menggunung dan tubuh yang lunglai, Samudra pulang ke rumahnya.Pikiran Samudra benar-benar kalut, saat kakinya hendak melangkah ke dalam rumah yang terlihat ramai oleh saudara-saudaranya yang telah datang dari jauh. Bahkan ada Paman Surya--Adik ibunya--yang datang dari Sulawesi, khusus untuk menghadiri pernikahannya lusa."Loh, Sam, dari mana? Bukannya kamu lagi dipingit?" Paman Surya yang sedang duduk di teras rumah, dikagetkan dengan kedatangan Samudra."Ada perlu sebentar tadi, Paman," jawab Samudra singkat dan dengan cepat ia berlalu dari hadapan pamannya tersebut.Saat langkah kaki Samudra menapaki anak tangga untuk menuju kamarnya di lantai 2, sang ibu cepat mengekor di belakangnya."Kamu itu gimana, toh, Sam. Udah berapa kali Ibu bilang, kamu itu lagi dipingit! Jadi jangan ke luar rumah terus," omel Nyonya Hapsari.Samudra menarik tangan ibunya untuk cepat memasuki kamarnya."Bu, ada yang mau S
Mengandung Anak MajikanBab 3: Menikahi Anak PembantuEyang Putri, Surya, Adi, semua Bibi, Paman, dan sepupu Samudra, masing-masing mengusulkan nama untuk calon pengantin wanita pengganti."Angela, 24 tahun, S1 managemen bisnis. Cantik dan bekerja di Bank. Gimana, Sam?" usul Adi sambil memperlihatkan foto seorang gadis di layar HP-nya."Paman, yakin gadis secantik itu belum punya pasangan?" Samudra balik bertanya kepada sang paman."Dengar-dengar, sih, emang dia sudah ada gandengan. Tapi, apa salahnya kita coba hubungi dulu, sih?" Adi mencoba meyakinkan Samudra, setelah 8 profile perempuan dengan kualifikasi High Quality Jomlo diusulkan satu per satu oleh semua saudara yang sedang rapat darurat itu.Samudra masih tak tertarik untuk membahasnya. Konsentrasinya masih saja tertuju hanya pada Vanilla. Andai perempuan cantik itu tak pergi meninggalkannya, pasti tak kan pernah ia terbelit dalam masalah yang serumit ini. Kepala Samudra semakin berat dan berputar-putar. Tak jauh berbeda deng
Mengandung Anak MajikanBab 4: Tekanan Batin ShafiraShafira tergugu di kamarnya yang sederhana. Permintaan Tuan Danureja padanya untuk mau menikah dengan Samudra ibarat buah simalakama. Jika ia menyanggupinya, ia tahu konsekuensi yang akan diterimanya sebagai istri dan menantu yang tak diharapkan di keluarga itu. Begitupun sebaliknya, jika ia menolak, maka keluarga besar Tuan Danureja akan menganggapnya sebagai orang yang tak tahu balas budi."Mungkin ini waktu yang tepat untuk kita membalas budi baik dari keluarga Tuan Danureja, Nduk!" Mbok Jum mencoba menenangkan hati anak bungsunya itu."Tapi, Mbok, kehadiran Shafira ditengah keluarga kaya itu pasti hanya akan dipandang sebelah mata saja. Shafira ini kan cuma anak pembantu, sementara mereka adalah majikan kita." Shafira mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya.Gadis 20 tahun itu paham betul dengan tabiat Samudra, putra majikan ibunya. Dulu ketika dirinya masih sekolah, ibunya sering mengajak Shafira ke rumah Tuan Danureja
Mengandung Anak MajikanBab 5: Pagar Ayu yang Terenggut"Pekerjaan rendah. Memalukan!" Samudra berteriak hingga terlihat menonjol urat-urat lehernya. Terlihat sekali ia sedang dikuasai amarah.Shafira terlonjak kaget mendengar teriakan keras Samudra, disusul suara meja yang digebrak oleh kepalan tangan Samudra yang kokoh. Tumpukan piring kotor yang masih berada di atas meja pun hampir berhamburan jatuh."Kamu resign detik ini juga!" perintah Samudra sambil jarinya menunjuk tepat di muka Shafira.Wajah Shafira pucat pasi. Badannya gemetaran. Ia tak berani menatap mata Samudra yang menyalak garang.Mendengar kegaduhan yang terdengar dari ruang makan, Tuan Danureja dan Nyonya Hapsari cepat-cepat mendatangi mereka."Ada apa, Samudra? Kenapa bisa ada keributan pagi-pagi begini? Bahkan teriakanmu sampai ke mana-mana." Nyonya Hapsari berdiri sambil memperhatikan Samudra, lalu tatapannya berbalik melihat Shafira yang tampak ketakutan."Tanya saja ke mantu Ibu yang miskin itu!" geram Samudra.
Mengandung Anak Majikan Bab 6: Pulang ke Rumah"Gimana dengan bayi yang ada dalam rahimku ini, Mbok?" tangis Shafira getir. Tangannya meraba-raba perutnya yang masih belum terlihat perubahan apa pun itu."Sudahlah, Nduk. Kita ini orang kecil, yang hanya bisa berdoa saja pada Allah. Tapi kamu jangan khawatir, ya, Nduk, si mbok akan selalu ada di sampingmu." Mbok Jum--ibunya Shafira--pun kemudian memeluk Shafira erat.Kedua anak beranak itu saling bertangisan di kamar pembantu yang ukurannya hanya 3x3 M, dengan perabotan yang sangat sederhana di dalamnya."Mbok, ayo cepat kita berkemas, sebelum Tuan dan Nyonya mengusir kita." Shafira mengurai pelukan dari ibunya sambil menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Lantas, dengan gerakan cepat, mulailah ia memasukkan baju-bajunya ke dalam sebuah tas besar berwarna hitam pudar yang teronggok di sudut kamar.Mbik Jum pun melakukan hal yang dengan Shafira. Perempuan tua itu merasakan kegetiran di hatinya. Bagaimana tidak? Selama 27 tahun ia te
Mengandung Anak MajikanBab 7: Shafira Hamil MudaDengan langkah yang cepat, Mbok Jum meninggalkan Bu Merry sebelum bibir dengan lipstik merah menyala milik Bu Merry berubah menjadi TOA Masjid."Et dah, belagu amat, yak! Jabatan cuma pembokat anak beranak aja pun, ditanya baik-baik malah ngeloyor." Suara cempreng Bu Merry terdengar nyaring, tembus hingga 10 rumah.Mbok Jum dan Shafira yang mendengar olokan Bu Merry, mencoba berlapang dada dan memakluminya.Sebenarnya, jarak rumah Mbok Jum dan Bu Merry lumayan dekat. Hanya selisih tujuh rumah saja. Jadi, mereka sudah terbiasa dengan segala polah tingkah tetangga mereka yang satu itu.Shafira membuka pintu rumah yang telah tiga bulan ditinggalkannya. Hawa pengap menyeruak dari dalam ruangan begitu pintu kayu itu terbuka."Assalamualaikum." Shafira dan Mbok Jum bersamaan mengucap salam ketika memasuki rumah mereka sendiri."Mbok, aku mau bersih-bersih rumah dulu, ya. Mbok istirahat aja dulu, pasti capek, kan?" tanya Shafira yang sigap me