Share

Mencurigakan

"Ayo, Bu, kita pulang. Apa masih mau menunggu sampai jenazah di makamkan?" Ujar pelayat lain pada seorang wanita paruh baya yang masih terisak.

"Eh, iya. Duluan aja, nanti saya nyusul. Belum ketemu sama Ibu korban," jawab Ibu itu seraya mengusap air mata dengan pucuk jilbabnya.

"Oh, ya sudah. Saya duluan ya, Bu. Mau manen padi soalnya," ucap Bu Janem seraya menepuk bahu wanita itu, lalu pergi bersama beberapa temannya meninggalkan rumah duka.

Sudah jadi tradisi di kampung itu, jika melayat hanya sekedar mengantar beras atau menaruh uang saja, lalu pulang. Berbeda dengan kerabat atau kenalan yang berduka, mereka akan menunggu dan mengantar jenazah hingga prosesi pemakaman selesai.

Namun siapa wanita paruh baya yang melayat dengan senyum menyeringai di balik jilbab itu? Apakah dia masih kerabat yang berduka? Atau hanya pelayat biasa? Mungkinkah ia seorang yang mengalami gangguan jiwa? Atau jangan-jangan....

Wanita itu perlahan menembus kerumunan warga dan kerabat keluarga duka, yang tengah mengurus kedua jenazah kakak beradik itu. Tanpa siapapun curiga padanya.

Sementara itu, Rumana masih meraung menangisi kepergian kedua putrinya secara tiba-tiba. Ia baru sadar setelah beberapa jam pingsan karena tak kuasa menerima duka yang sangat mendalam dalam hidupnya.

Ibu manapun tak kuasa bila kehilangan dua putri sekaligus dalam waktu yang sama, terlebih pagi itu kedua anaknya masih sehat dan ceria. Tak ada bayangan sedikitpun di benak Rumana akan kehilangan kedua putrinya secara tiba-tiba di waktu yang sama.

Bagai jatuh tertimpa tangga, sedang berduka tiada tara, masih harus menerima hujatan dan makian dari keluarga, tetangga, bahkan suaminya. Jika bisa, Rumana memilih menyusul saja bersama kedua putrinya. Tetapi dia masih mempertahankan kewarasannya, demi dua anaknya yang masih bernyawa.

"Masa anak-anak di biarkan main di sungai tanpa pengawasan, Ibunya kemana sih, kenapa nggak di larang main di sungai."

"Anaknya kan dari kota, yang mungkin nggak bisa berenang, kok ya di biarin mandi sama anak-anak yang sudah biasa main di sungai. Kalau sudah begini kan, mau bagaimana lagi to. Nyawa taruhannya. Semua jadi di salahkan."

"Ini pelajaran untuk kita semua para orang tua. Jangan pernah lalai menjaga anak-anak kita, Ibu-ibu. Sekalipun anak kita sudah dewasa dan kita anggap bisa di andalkan menjada adik-adik atau anak tetangga lainnya, namanya musibah nggak pandang bulu siapa yang akan kena," ujar seorang lainnya.

Begitulah tanggapan para warga yang mengetahui musibah itu, ada yang menyalahkan, dan ada yang langsung bisa mengambil hikmah dari musibah itu. Mereka tidak tahu keadaan Rumana bagaimana, dan sudah menasihati apa saja pada anaknya.

Setiap orang punya asumsinya masing-masing. Dan kita tidak bisa melarang ataupun membungkam mereka satu persatu, karena itu hak mereka berpendapat. Namun kita semua tahu, selalu ada hikmah di balik setiap musibah.

"Ya Allah, aku baru aja mau ngajak anak-anak mandi di sungai. Mau main ke rumah neneknya besok, jadi ngeri," ucap seorang emak yang mengetahui musibah itu.

"Nggak apa-apa mandi di sungai, selagi masih dalam pengawasan orang tua," Ujar emak lainnya memberi saran.

"Iya juga sih, Mbak. Kasihan kalau kita larang anak-anak berenang di sungai, ya, lagian renang itu kan bagus untuk anak-anak. Yang penting kita selalu awasi dan tetap waspada ya, Mbak," ucap si emak menyadari.

"Betul, Bu. Biarkan anak menikmati masa kecilnya salah satunya dengan bersenang-senang mandi di sungai. Tetapi sebagai orang tua kita ga boleh abai dengan keselamatan mereka, karena siapapun bisa terkena musibah," ucap si Ibu menyetujui.

***

"Bu, lihat itu yang sedang menatap kosong jenazah kakak beradik itu, kok mencurigakan ya. Siapa sih dia, apa keluarga atau kerabat Bu Rumana?" Tanya seorang pelayat yang tak sengaja memperhatikan sese Ibu paruh baya berkerudung hitam.

"Mana, Bu, mana," ucap Ibu yang diajaknya bicara, penasaran.

"Itu loh, yang pake krudung hitam nggak menutup semua rambutnya. Jilbab pashmina yang nggak dipakai bener-bener," jelas Ibu yang kepo sambil menunjukan pada temannya tanpa mengacungkan jari, hanya kode mata supaya temannya bisa melihat orang yang dia maksud, dan tidak menyinggung orangnya jika kebetulan melihat mereka.

"Eh, iya ya. Kok kayak patung, serius banget tetapi tatapannya kosong tepat ke arah jenazah. Siapa sih dia, jadi merinding. Sepertinya bukan warga sini deh, Bu, tatapannya itu loh, serem. Hiihh," timpal Ibu satunya yang akhirnya menyadari juga gelagat aneh seseibu, yang kini menatap lekat kedua jenazah yang baru di mandikan itu bergantian.

"Oh iya, aku ingat. Dia kan yang tadi nangis terisak di depan rumah, yang di ajak pulang sama Bu Janem tapi menolak. Apa dia kerabat keluarga duka ya?" Papar Bu Dasem yang pertama menyadari gelagat wanita itu.

"Sepertinya begitu, Bu. Ya udah, ntar kita tanya Bu Janem aja. Siapa tahu dia kenal."

Hilir mudik para pelayat tak mampu meredam emosi Gunadi. Dia terus menyalahkan sang istri yang dianggapnya lalai menjaga anak-anak.

"Seharusnya kamu awasi mereka, Rum. Kamu kan bisa jagain adek bayi sambil ngawasin mereka main!" Ujar Gunadi.

"Aku nggak tahu kalau mereka main ke sungai, Mas. Kalau aku tahu mereka mandi di sungai, sudah pasti aku awasi mereka," bela Rumana.

"Sudahlah, Gunadi, Rumana, ini semua sudah takdir. Jangan kalian saling menyalahkan satu sama lain, semua sudah terjadi. Kalian harus kuat dan saling menguatkan, bukan saling menyalahkan," ujar seorang wanita yang sudah sepuh.

"Nggak semudah itu, Bu. Aku kehilangan dua anakku sekaligus, dan itu karena kelalaian Rumana," ujar Gunadi masih tidak terima.

"Bukan salah Rumana. Ini semua sudah takdir dari yang Maha Kuasa. Harusnya kamu bersyukur karena Bagas masih selamat, setidaknya kamu masih punya dua anak. Berdosa jika kamu melawan takdir, Gun," ujar wanita yang Gunadi panggil Ibu.

"Kamu pikir cuma kamu yang kehilangan, Mas. Apa kamu lupa, aku Ibunya. Hati seorang Ibu jauh lebih sakit ketika kehilangan anaknya, apalagi aku melihat sendiri bagaimana mereka tersesat di sana. Jangan egois kamu, Mas!" Geram Rumana dalam isak tangisnya.

"Halah, jangan mulai meracau kamu, Rum. Kita tahu anak-anak kita sudah tiada, mau tersesat bagaimana," timpal Gunadi masih tak percaya.

Rumana bingung cara menjelaskannya, karena bisa jadi apa yang tadi dia lihat hanya sebuah mimpi, sebuah ilusi karena belum bisanya dia menerima kepergian kedua anaknya.

Sementara itu, di dekat jenazah kedua putrinya, sang Ayah mertua berdiri tepat di samping wanita berkerudung pashmina hitam.

Lelaki sepuh itu sedang mengintruksikan para warga yang tengah mengurus kedua cucunya setelah di mandikan.

"Sudah selesai kan memandikannya, sekarang tinggal di pakaikan kain kafan, dan langsung bawa ke kuburan. Tidak usah di sholatkan segala. Ini cucu saya, dan hak saya untuk mengatur proses pemakamannya mau bagaimana. Kalian nurut saja. Segera pakaikan kain kafan, dan langsung bawa ke makam," Ujar Rasmadi pada pengurus jenazah kedua cucunya.

🥀🥀🥀

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status