Bi.."
"Ya?""Apa-- menurut bibi-- om Alan benar-benar mencintaiku?"Kimberly mengambil nampan yang berisi makanan dari tangan kepala pelayan itu. Matanya tak lepas menatap sang pelayan hendak mencari jawaban dari pertanyaan yang barusan ia layangkan."Dia mencintaiku, kan, Bi?" tanyanya lagi karena belum ada sahutan dari mulut bi Jeni.Meski dalam sepersekian detik yang lalu wajah bibi Jeni menampakkan keterkejutan, namun perempuan tua itu cukup pintar mengubah rautnya agar kembali tenang. Ia mengambil kembali nampan yang kini berada di tangan Kimberly dan meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang gadis itu."Tentu saja tuan Alan mencintai Anda, Nona," ujar bi Jeni."Anda adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh tuan."Sambil tersenyum hangat bi Jeni menoleh dan menatap sendu wajah Kimberly. Namun itu bukanlah jawaban yang Kimberly inginkan. Bukan cinta seperti itu yang ia maksudkan. Meski kecewa ia pun membalas senyum perempuan tua itu."He em. Kau benar, Bi. Om Alan hanya memiliki aku di dunia ini."'Jadi aku tak boleh meninggalkannya.'Kening bi Jeni sedikit mengerut setelah menangkap raut aneh di wajah Kimberly. Namun perempuan tua itu mengindahkannya dan permisi keluar dari kamar.*Pagi hari Alan dan Kimberly sudah duduk di kursi makan. Keduanya tak berinteraksi sama skali hingga suasana tampak dingin."Ehm.." Bi Jeni mencoba mencairkan suasana kaku tersebut."Saya buat sup miso kesukaan tuan. Makanlah selagi masih hangat."Bi Jeni menuangkan sup ke dalam mangkok. Sup miso adalah sup yang biasa menjadi menu sarapan masyarakat Jepang. Sup yang berbahan dasar rebusan ikan cakalang, sarden, dan jamur, serta tambahan sayuran dan produk laut itu dilengkapi dengan miso, bumbu khas Jepang yang berasal dari fermentasi kedelai."Trimakasih, Bi."Meski terkenal kaku dan tak banyak bicara, namun Alan sangat menjaga kesopanannya terhadap orang yang lebih tua."Nona Kim, apa Anda juga mau mencoba sup miso?" Bi Jeni beralih pada Kimberly.Kimberly menggeleng," aku tidak suka baunya yang amis," cetusnya."Kau harus makan ini, agar otakmu tak terlalu bodoh dengan menerima siapa saja yang datang menawarkan bantuan.""Iiish..."Ucapan pedas Alan membuat Kimberly mencebik kesal. Pria itu tengah menyindirnya karena dengan mudah menerima ajakan Borne yang ingin mengantarnya pulang."Nona bisa makan menu yang lain. Mungkin selera nona Kim tidak sama dengan tuan." Bi Jeni menengahi."Ya.. aku kan masih muda. Jadi tak membutuhkan makanan untuk menguatkan tulang," sindir gadis itu membalas ucapan Alan.Kini berbalik, Alan yang merasa tersindir. Tatapan tajma ditujukan pada Kimberly yang dengan santai menyuap sebuah sandwich di piringnya. Senyum mengejek ia layangkan pada pria yang masih menatapnya dengan dingin."Kau pagi ini mau kemana?""Ke Cafe," sahut Kimberly pendek."Tak perlu kembali kesana. Kau harus kuliah, Kim!""Tak mau. Otakku lemah, aku sudah malas berpikir tentang pelajaran. Aku mau bekerja saja."Kimberly menolak perintah sang paman dengan kalimat santai."Hhh.. tapi kau harus--"Aku sudah dewasa, Om. Aku bisa menjaga diri. Lagi pula Borne itu teman sekolahku dulu. Dia pemuda yang baik. Jadi kau tak perlu khawatir dengannya.""Orang itu mudah berubah, Kim. Dulu mungkin ia terlihat baik. Tapi lambat laun seseorang bisa berubah karena keadaan." Alan memperingatkan."Hm? Bukankah om bilang tak ada orang yang berubah di dunia ini? Jika kita baru melihat sisi lain darinya, itu berarti kita belum mengenal dia dengan baik. Karena apa yang ia perlihatkan hari ini adalah sisi dari dirinya yang sebenarnya. Baru kemarin kau bilang seperti itu padaku. Hhh.. kau sudah harus istirahat lebih banyak, Om, sepertinya usiamu yang semakin tua membuat kau jadi pelupa."Wajah Alan seketika mengeras mendengar ocehan Kimberly. Bukan hanya Alan, bi Jeni pun wajahnya turut memucat. Selama ini tak ada yang berani menghina tuannya, bahkan Kanaya sekalipun. Namun gadis polos itu masih dengan santai dan tanpa dosa menyuap habis sandwich di piringnya."Aku sudah selesai. Aku harus berangkat bekerja. Oh, ya.. nanti aku akan pulang ke rumah sewaku, Om. Dan tenang saja.. aku tak akan sembarangan menumpang pada pria lain."Sebelum Alan protes, Kimberly sudah menyela lebih dulu.Kimberly melangkah keluar dan sebelumnya mengulas senyum serta melambaikan tangannya pada bibi Jeni. Gadis itu melangkah dengan ceria, meski detak jantungnya berpacu dengan cepat. Baru kali ini ia berani mendominasi sang paman. Namun tampaknya Alan sedang tak ingin berdebat dengan Kimberly. Pria itu meloloskan keponakannya begitu saja."Tuan, apa nona tak perlu diantar?" tanya bi Jeni sedikit khawatir."Biarkan dia pergi sendiri. Gadis nakal itu semakin dilarang akan semakin melawan."Alan masih menyuap sup miso di mangkoknya seraya sesekali memainkan ipad. Hari ini pria itu akan terbang ke Jepang untuk beberapa hari, melarang Kimberly dan mengurungnya di mansion hanya akan membuat gadis itu kabur dan memungkinkannya pergi jauh. Alan sangat mengenal watak keras keponakannya. Namun meski membiarkan Kim tetap bekerja, Alan telah menitahkan Mike untuk menjaga Kimberly 24 jam.*"Ya, Tuhan.. Kimberly, kukira kau tidak akan kembali kesini."Naina baru bisa bernapas lega setelah melihat sahabatnya muncul. Kemarin sore gadis itu merasa panik karena Kim tak kunjung kembali ke rumah sewa mereka. Ponsel gadis itu pun tak aktif."Hehe.. kau pasti merindukanku, kan, Nai?"Alih-alih meminta maaf karena telah membuat sahabatnya cemas, gadis nakal itu justeru memilih untuk bergurau."Cih! Dasar gadis nakal! Kau tahu Borne membuatku tak bisa beristirahat. Dia menunggumu di halaman kost-kost an kita sampai malam." Wajah Naina pura-pura merajuk."Waaaaw.. kalian berdua sampai malam? Semoga selanjutnya ada kemajuan."Kimberly berkata dengan santai seraya meletakkan tas slempangnya di dalam loker karyawan. Kalimat ambigu yang barusan ia katakan membuat kening Naina mengerut. Gadis itu tak mengerti maksud kata-kata Kimberly."Kemajuan? Kemajuan apa, Kim?" tanya Naina."Kemajuan hubungan kalian. Kau.. dan Borne."Gadis nakal itu meninggalkan Naina yang wajahnya memerah seketika. Dengan satu kerlingan mata, Kimberly lagi-lagi menggoda sahabatnya."KIMBERLY....!"*"Jangan buat papamu kembali masuk rumah sakit, Borne! Kepulanganmu yang mendadak sudah membuat tensi darah papamu naik. Sekarang kau malah membuang-buang waktumu tiap hari untuk menemui gadis itu. Kau seperti pemuda bodoh, tahu!"Seorang wanita berusia empat puluhan tengah memarahi putera tunggalnya. Perempuan itu terlihat berang setelah tahu puteranya masih saja mengejar gadis yang digilai semasa sekolah dulu."Aku memang bodoh jika sudah berhadapan dengan Kimberly," sahut Borne santai.Erika semakin geram dengan tingkah puteranya. Setelah mengirim pemuda itu ke Australia untuk melanjutkan pendidikannya, Borne justeru kabur dari sana dan memilih kembali pulang. Erika yakin, alasan kuat puteranya pulang tak lain karena Kimberly Batara. Perempuan paruh baya namun masih terlihat cantik itu sangat mengenal Borne, puteranya telah lama memuja Kimberly. Bahkan semasa sekolah Borne selalu saja merengek agar orang tuanya menjodohkan mereka."Hhh.. jangan sampai mama bertindak, Borne! Mama tidak main-main kali ini."Sendok di tangan Borne seketika terjatuh ke atas piring, memberikan suara nyaring yang membuat Erika sedikit tersentak."Jangan macam-macam, Ma. Kali ini aku juga tak akan tinggal diam. Kau dan papa sudah membuat hidup Kimberly menderita. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan jika kalian membuat Kimberly jatuh untuk kedua kalinya."Mata Erika membola, ancaman sang putera senyatanya membuat wanita itu sedikit gentar. Namun ia tak mau terlihat kalah dari pemuda itu. Erika mengulas senyum tipis dan mengejek ke arah puteranya,"Jangan coba-coba mengancam mama, Sayang.. mama tak suka mempunyai putera pembangkang."Erika pergi meninggalkan Borne yang masih duduk di kursi makan. Perempuan itu tahu, dirinya harus segera bertindak cepat jika tak mau puteranya lebih bertindak bodoh."Kimberly, Kimberly, apa istimewanya gadis itu! Dasar Borne anak bodoh! Banyak gadis lain dari keluarga terhormat yang lebih cantik dari Kimberly, tapi kau malah terus saja memuja anak koruptor itu!"Erika berada di dalam mobil menuju satu tempat. Mulutnya masih saja berkomat kamit merutuki kebodohan puteranya. Ia tak lagi tinggal diam melihat perilaku Borne yang membuatnya naik darah. Surat Drop Out dari kampus sudah ia terima, itu karena Borne meninggalkan kampus tanpa alasan. Sontak saja hal itu membuat suaminya masuk rumah sakit. Borne adalah satu-satunya tumpuan keluarga Brahmaja. Jika Boni Brahmaja meninggal, Borne lah yang akan menggantikan kursi kepemimpinan di perusahaan pria itu. Erika merasa sudah harus membuat Borne menjadi pemuda yang matang dan mandiri, serta berpikir dewasa agar nantinya siap memegang tongkat estafet kepemimpinan Brahmaja Corporation.*"Permisi, Nyonya. Selamat datang di Town Cafe.""Apa aku bisa menemui karyawan yang bernama Kimberly?"***TIGA TAHUN YANG LALU"Hai ,Kim!"Suara yang sangat Kimberly kenal terdengar menyapa dan tersenyum. Tampaknya Borne masih tak menyerah. Di setiap pagi, tepatnya saat para siswa berdatangan Borne akan menyambut gadis itu di depan pintu kelas."Minggir, Borne. Aku mau masuk!""Senyum dulu, dong! Baru kuijinkan kau masuk!""Ck.. dasar tak tahu malu!" umpat Kimberly pelan namun dengan senyum mengejek.Borne seperti minta tiket pada gadis itu agar diijinkan masuk, padahal orang tua Kimberly adalah salah satu donatur terbesar di sekolahnya."Minggir atau kutendang milikmu!""Iiish! Jangan main-main dengan aset masa depanku, Kim!"Spontan pemuda tengil itu menutupi 'harta berharganya' dengan kedua tangan. Kimberly hanya tertawa geli melihat Borne ketakutan dengan ancaman palsunya. 'Mana mungkin aku menendang pusakanya, bisa-bisa Borne tak mampu memberi penerus pada keluarga Brahmaja.' Bathin Kimberly."Minggir!"Saat pemuda itu lengah dan tangannya masih menutupi sang pusaka, Kim mendorongny
Seorang perempuan dengan langkah anggun dan tenang berjalan bak seorang model. Meski usianya sudah tak bisa dikatakan muda, namun pesona Erika Brahmaja masih tampak mempesona. Tentu semua itu berkat pola makan yang dijaga serta perawatan yang mahal."Permisi, Nyonya. Selamat datang di Town Cafe."Pelayan Cafe menyambut Erika di depan pintu."Apa aku bisa menemui karyawan yang bernama Kimberly?" tanya wanita itu dengan gaya elegant."Kimberly? Apa-- nyonya keluarganya?"Sang pelayan sedikit penasaran, karena sejak Kimberly kembali bekerja di Town Cafe, banyak orang yang mencarinya. Dan semuanya terlihat bukan dari kalangan biasa."Bukan. Katakan saja saya ibunya Borne. Say ingin bertemu dan bicara dengannya sebentar."Erika menyodorkan beberapa lembar uang pada sang pelayan, membuat wajah gadis itu sumringah dan dengan sigap mengikuti permintaan wanita itu."Baik, sebentar, Nyonya. Anda silakan menunggu di dalam saja."Adelia, sang pelayan Cafe membukakan pintu yang terbuat dari kaca u
Pukul satu dini hari Alan sudah berada di depan rumah sewa Kimberly. Kost-kost an yang tak ubahnya seperti rumah susun itu memiliki lima lantai. Kimberly tinggal di lantai 3. Setiap kamar memiliki balkon kecil yang menghadap ke jalan.Sudah sejak 30 menit yang lalu Alan berdiri di depan pintu gerbang rumah sewa itu. Pintu gerbangnya tak terlalu tinggi, jadi setiap orang yang tengah bersantai di atas balkon bisa melihat siapa saja yang melintas di depan pintu gerbang rumah sewa itu.Naina masih terjaga meski waktu hampir pagi. Matanya tak mau terpejam mengingat apa yang Kimberly ceritakan siang tadi di Cafe."Gadis seperti Kimberly saja tak dianggap oleh ibunya Borne, apalagi.... aaah... bicara apa aku ini."Naina mengusir pikiran jauhnya. Menggapai seorang Borne adalah sebuah mimpi yang terlalu tinggi. Meski ia tak dapat menampik, semenjak Borne menawarkan diri untuk melindunginya saat sekolah dulu, gadis itu merasa ada perasaan istimewa di hatinya terhadap Borne, namun Naina cukup ta
"Om? Om? Om Alan..""Hh?"Alan tersentak saat sadar kegiatannya mengamati bibir ranum sang keponakan membuat dirinya tampak bodoh. Beberapa detik yang lalu Kimberly memanggil manggil namanya, saat Alan masih terfokus pada bibir kecil nan ranum itu. Seruan Kimberly saat menyebut namanya membuat Alan gemas dan tak ingin cepat-cepat menyahut. Gerakan bibir gadis itu saat bicara dengannya adalah salah satu daya pikat yang membuat hati pria itu berdesir entah sejak kapan, ia pun tak tahu. "Kau kenapa? Kagum dengan kecantikanku, hm?"Kimberly mulai menampakkan tingkah randomnya, berlagak sok cantik di depan Alan yang membuat pria itu tak kuasa mengulum senyum tipis yang hendak ia tahan."Dasar gadis yang terlalu percaya diri!"Lagi, Alan kembali mentoyor kening keponakannya dan langsung membuang wajahnya ke lain arah. Pria itu hanya tak mau Kimberly melihat wajah salah tingkahnya."Iiish.. dasar tak sopan!" gerutu Kimberly.Lampu di taman itu cukup terang untuk melihat wajah masing-masing.
Matahari sudah berada di ufuk timur, Alan kini masih memegang kepalanya yang terasa pening akibat tak tidur semalaman. Alih-alih kembali ke mansionnya, Alan justeru meminta sopir mengantarnya ke gedung Satou Group, cabang perusahaannya yang baru berjalan dua tahun belakangan. Pria itu masih terduduk di kursi kebesarannya tanpa berniat memeriksa berkas-berkas yang tergeletak di meja. Sejak sampai di kantornya, Alan masih terus terngiang ungkapan cinta dari mulut Kimberly."Dasar gadis bodoh! Mudah sekali mengatakan cinta pada laki-laki. Awas saja kalau kau juga mudah mengatakan cinta pada pria lain, Kim! Akan kupatahkan lehermu!"Alan terus saja bergumam untuk sekedar meluapkan rasa gelisah di hatinya. Rasa itu menjadi tak keruan saat ia mengingat Kimberly berbicara. Senyum gadis polos itu terus melekat di pelupuk mata Alan."Aaaaaaaakh... Kimberly, sebenarnya apa yang kurasakan terhadap anak itu! Aku tidak mungkin... aaaaaakh.... shit!"Alan terus saja merutuki kebingungannya terhadap
"Hoaaaaam..."Entah sudah keberapa kalinya mulut Kimberly menguap. Begitupun dengan Naina, mereka berdua menguap bersamaan seperti ayam yang tengah berkokok, saling berlomba dan bersahutan."Kalian berdua kuperhatikan sudah puluhan kali menguap sejak pagi tadi. Apa semalam kalian mendapat tugas jaga keamanan?" sarkas Feby, karyawan senior di Town Cafe.Kimberly dan Naina tak menjawab, dua gadis itu hanya saling menatap dan tersenyum tipis. Semalam, atau tepatnya dini hari tadi mereka memang memutuskan untuk tak melanjutkan tidurnya. Kimberly yang kembali pukul tiga langsung ditodong pertanyaan beruntun oleh Naina. Gadis itu sengaja menunggu sahabatnya pulang karena rasa penasaran yang membuatnya tak bisa memejamkan mata."Jangan sampai salah bawa pesanan lagi. Untung saja pelanggan tadi bukan pelanggan yang cerewet. Kalau kau salah bawa pesanan lagi aku akan mengadukanmu pada pak Manager."Feby memperingatkan Kimberly yang tadi memang keliru membawa pesanan. Harusnya pesanan untuk mej
"Sayang.."Suara Kanaya sontak membuat Alan terkejut dan spontan mengakhiri panggilannya dengan Kimberly. Pria itu menatap tajam ke arah kekasihnya. Entah mengapa Alan berharap agar Kimberly tak mendengar panggilan 'sayang' dari Kanaya untuknya."Apa aku harus menulis pesan agar mengetuk pintu lebih dulu bagi yang ingin masuk kesini?" sarkas Alan.Kanaya tampak kesal namun masih berusaha menyembunyikannya."Maaf, aku tidak tahu kalau kau sedang bicara di telepon. Kau bicara dengan siapa?" tanya Kanaya yang pura-pura tak tahu."Kimberly," jawab pria itu.Kanaya tertegun sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang membuatnya kesulitan menelan saliva. Tenggorokannya tercekat saat Alan menyebut nama Kimberly.'Kenapa dia tak bisa berbohong? Aku harap kau berbohong, Alan. Karena kejujuranmu menyakitiku.'"Kim? Bagaimana kabarnya?"Kanaya mengulas senyum yang nampak canggung di mata Alan. Meski sedikit mengernyit, namun pria itu mengindahkannya. Alan memilih untuk tak peduli dengan kecanggungan di
Alan terdiam menatap Kanaya yang raut wajahnya tampak menunggu jawaban dari mulut pria itu. Dada kanaya terlihat kembang kempis, Alan yang tadinya ingin kembali berucap keras mengurungkan niatnya.Pria itu menghampiri Kanaya yang mulai terlihat tak bisa mengendalikan emosinya. Alan dengan sigap menopang tubuh kekasihnya yang hampir tumbang. Kanaya memiliki riwayat gangguan pernapasan, jika emosinya tak stabil napasnya akan terasa tersengal dan itu bisa menyebabkan perempuan itu kesulitan bernapas."Duduklah, Nay!"Alan menggiring tubuh kekasihnya ke sofa. Kanaya sempat menolak dengan gerakan tubuh yang menepis pelan tangan Alan. Namun Alan tetap menggiring tubuh wanita itu ke sofa."Dimana kau taruh obatmu?"Alan meraba stellan baju yang dipakai Kanaya. Biasanya gadis itu selalu membawa ventolin inhaler di sakunya. Sesak napasnya bisa terjadi kapan saja, jadi Kanaya harus selalu membawa alat itu."I-- ini.."Kanaya mengambilnya dari saku celana yang ia pakai.Alan langsung membantu Ka