Kimberly dan Naina keluar dari toko pakaian dengan membawa tiga paper bag berlogo brand ternama."Nai, aku lapar. Kita makan dulu, ya.""Oke." Naina memberi kode setuju pada jarinya."Hai, Kim. Sepertinya Alan memberimu kompensasi sangat banyak setelah kejadian malam itu."Suara seorang perempuan yang dikenal Kimberly membuat dirinya dan Naina menoleh bersamaan."Apa itu semua kompensasi dari Alan karena telah membawamu ke atas--"Cukup, Kanaya!"PlakkBelum selesai Kanaya menjatuhkan mental Kimberly, Alan yang muncul tiba-tiba lebih dulu melayangkan sebuah tamparan di pipi wanita itu. Matanya tajam menatap nyalang Kanaya yang terkejut mendapat sebuah tamparan keras, padahal Alan tak pernah sekalipun berbuat kasar padanya."Brengsek! Kau--"Kau sudah keterlaluan, Kanaya! Sekali lagi kau mencoba menyakiti calon istriku, aku tak akan segan-segan berbuat lebih kasar lagi padamu!"Ancaman Alan membuat mulut Kanaya ternganga namun kelu. Kata calon istri cukup membuat wanita itu terhenyak s
"Hhh... oke, jadi apa yang harus saya lakukan untuk meredam berita ini. Kita tak bisa mendiamkanya begitu saja, nama baik Anda bisa tercoreng dan itu akan membuat para pemegang saham ragu dengan kredibilitas Anda.""Kau fokus saja pada peluncuran produk baru kita di Jepang. Masalah ini biar jadi urusanku," titah Alan pada sang asisten."Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu."Mike keluar dari ruang CEO untuk melakukan beberapa pekerjaan di luar kantor.Drt..Drt..Drt..Gawai Alan bergetar, nama Kimberly terpampang disana. Dengan sigap pria itu mendial tombol hijau karena khawatir terjadi sesuatu dengan kekasihnya.”Sayang, apa terjadi sesuatu?”(”Alan, video peristiwa di mall tadi beredar luas di sosial media. Apa kau baik-baik saja?”)”Hhh.. jangan mengkhawatirkanku, Moon. Itu hanya berita sampah, sebaiknya kau tak perlu membuka akun sosial mediamu dulu. Lebih baik kau istirahat.”(”Kau sudah melihatnya? Ada yang merekam saat kau menampar Kanaya, Alan. Itu akan mempengaruhi pekerjaa
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Kimberly naik ke lantai tiga, tepatnya ruang kerja Alan berada. Seperti biasa, semenjak memutuskan untuk ikut sang paman ke mansion megahnya beberapa minggu lalu, Kim setiap pagi tak pernah absen mengantarkan secangkir kopi dan camilan ke ruang kerja pria blasteran Indo-Jepang itu. Ritual yang tak pernah dilewatkan Alan semenjak ia tinggal di Jepang.Langkah gadis berusia 20 tahun itu beriringan dengan senyum cerah di bibirnya. Kimberly kembali menemukan senyumnya setelah bertemu lagi dengan sang paman, lelaki yang selama beberapa tahun ini, atau mungkin selama dirinya mengenal arti cinta, selalu ia rindukan."Om Alan, aku bawa--prank.....Sebuah nampan bersama secangkir kopi dan camilan yang berada di atas piring cristal jatuh ke lantai. Suaranya mengagetkan dua insan yang tengah bercumbu di atas meja kerja Alan. Kanaya, perempuan yang dikenal sebagai tunangan Alan tengah berada di atas paha pria itu. Ciuman intens yang tadi berlangsung diantara mereka mampu membuat Kimberly termang
"Berhentilah! Berhentilah mencintaiku meski dengan cara terjun ke jurang, Kim!"Ungkapan itu sekonyong-konyong keluar dari mulut Alan. Hati dan mulutnya yang tak sinkron membuat suasana menjadi panas padahal ruangan itu dilengkapi dengan pendingin ruangan.Kim kembali merasakan sakit yang tak berdarah. Rasa sakit itu seakan menguliti tubuhnya, mencabik seluruh harapan yang senyatanya masih tersimpan di hati gadis itu."Y-- ya. Aku pasti akan berhenti. Aku pastikan aku akan berhenti mencintaimu.. Keinichiro Alan."Kalimat terakhir yang diucapkan Kimberly sebelum berbalik arah meninggalkan sang paman yang masih terpaku di atas kursi kebesarannya membuat Alan mematung. Ingin menarik kata-katanya, namun lidahnya terasa kelu. Janji yang pernah terucap tak serta merta bisa ia ingkari begitu saja."Hhh.. kenapa kau harus mencintaiku, Kim? Kita bisa hidup bersama seandainya saja.... aaaaaakh......"Alan pun tak bisa menyembunyikan kegalauannya. Meski tak mau mengakui apa yang kini ia rasakan