Jangan lupa like dan komen yak, juga gem nya. Makasih🥰
Bab 51 Cinta dalam doa (Ending)"Zen, bangun! Zen! Sudah siang masak masih ngorok, malu sama mertuamu." Suara Bu Tya terasa merdu di telinga Zen. "Hah, Papa, Mama." Zen tergagap dari bangunnya. Ia menoleh ternyata benar selain papa mamanya, juga ada mertuanya. "Eh Bapak, Ibu. Maaf Zen ketiduran." "Di mana, Ning, Nak?" tanya Bu Romlah dengan mengulum senyum melihat wajah bantal menantunya. Pak Rahmat dan Pak Maul hanya saling pandang dan melempar senyum. "Pasti Zen kayak kamu, Ul," celetuk Pak Rahmat. "Nggak lah, aku rajinlah, Mat." Beberapa menit kemudian, Ning dan Zen sudah duduk di ruang keluarga bersama orang tua dan mertuanya. "Alhamdulillah Ning hamil lima minggu, Pak, Bu," ucap Ning dengan senyum tersungging. "Iya, Ma, Pa. Mama benar, prediksinya jitu," ujar Zen dengan senyum mengembang. "Semalam Zen muter kota Yogya mencari tahu petis. Astaghfirullah, ibu hamil ternyata mintanya aneh-aneh," curhat Zen. Para orang tua pun tertawa mendengarnya. "Itulah Zen, papa sama Pak
Extra Part 1Dua setengah tahun kemudian. Pagi yang cerah, Ning terlihat berjalan tertatih di teras rumahnya. Sebulan terakhir, ia menekuni hobi barunya yaitu merawat bunga. Sembari menemani si kecil Andina yang berusia dua tahun, ia menantikan kelahiran anak keduanya. Sepertinya Zen terlalu bersemangat supaya rumahnya ramai dengan anak kecil, hingga saat Andina berusia 16 bulan, Ning diberi amanah hamil anak kedua. "Sayang, jangan terlalu banyak berdiri. Kalau merasa kecapekan duduklah!" pinta Zen seraya melingkarkan sepasang lengannya di perut Ning yang sudah membuncit. HPLnya tinggal lusa Zen susah siaga di rumah dan memilih tidak ke kampus. "Ayah kenapa nggak ke kampus saja? HPL bunda masih lusa," bujuk Ning. Tangannya masih memegang selang untuk menyirami bunga-bunga yang baru dibeli kemarin. Sementara satu tangan lagi berusaha melepas belitan lengan kiri Zen. Namun, lelaki yang semakin matang diusianya itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Yah, ada bibi sama Andina nanti," k
Extra Part 2"Cari siapa, ya, Mbak?" tanya Zen yang berdiri diambang pintu. Wanita berambit panjang dikuncir itu membalikkan badan. "Zen." "Hah, Vina? Kamu, benar Vina?" Zen segera menjawab salam dari Vina. Wanita bernama Vina itu kini hamil besar seperti Ning istrinya. Wajahnya memang masih sama cantik seperti dulu. Namun, tidak ada pancaran keceriaan dari sorot matanya. Yang ada, Zen melihat Vina berwajah sendu. "Boleh aku duduk?" ucapnya membuat Zen terkesiap. "Iya, Silakan duduk. Aku minta bibi buatkan minum dulu." "Nggak usah, Zen. Aku buru-buru, pesawatku dua jam lagi." "Hmm, memangnya kamu mau kemana?" "Yah, siapa tamunya?" Ning berjalan tertatih dari dalam rumah. Begitu netranya memandang siapa yang duduk di seberang sang suami, Ning merasa degup jantungnya bertalu. "Mbak Vina?!" "Bun, duduk dulu. Iya ada Vina. Katanya terburu mau ke bandara." "Mbak Vina sendiri? Suaminya?" Vina yang ditanya tentang suami justru matanya berkaca-kaca. Terlihat ia menarik napas panjan
"Dia siapa, Ma?" Entah kenapa aku gugup sendiri saat tanya itu mencuat. Aku belum berani melihat jelas wajahnya. Sampai Bu Tya memperkenalkanku padanya."Ning, kenalkan ini anak sulung saya, Zen Maulana. Zen, ini Ning yang mau bantu mama bersih-bersih rumah. Dia juga mau kerja di kantin kampus."Aku yang baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir terlonjak kaget. Nama itu, tidak asing bagiku. Apa hanya sebuah kebetulan nama lengkapnya sama. Aku memberanikan diri melihat wajah anak sulung Bu Tya.Seketika kotak yang kupegang jatuh membuat isinya berhamburan. Rasa-rasanya kepalaku bagai dihantam palu. Aku tidak menyangka akan bertemu laki-laki masa lalu di rumah besar ini. Nasib yang menurutku baik bertemu Bu Tya ternyata disertai kejutan besar bertemu orang yang membuatku tidak tenang di tiga tahun terakhir hidupku."Zen? Dia benar-benar Zen yang sama, Zen Maulana."Tanganku mendadak tremor. Bulir keringat sebesar biji jagung bermunculan. Bahkan tenggorokan terasa tercekat. A
"Bu, hari ini berapa bungkus keripik yang mau dibuat?" tanyaku pada ibu.Wanita itu terlihat gusar hingga memancingku untuk bertanya. Tak disangka wajahnya tiba-tiba merah padam."Kamu kenapa bikin kaget?! Ibu bisa jantungan tahu, nggak!" Aku tersentak saat ibuku justru terkesan membentak. Ibu masih sibuk mengupas ketela yang ada di lantai. Lalu ketela yang kulitnya sudah dibuang di rendam dalam bak berisi air."Ibu dari tadi melamun. Ning khawatir pisaunya mengenai tangan ibu," ucapku beralasan yang masuk akal.Akhir pekan seperti biasa, aku menyibukkan diri membantu menyiapkan keripik singkong. Bapak menggalinya dari kebun sepetak yang ada di sebelah rumah. Ibuku menyiapkan bumbu, sedangkan aku menyiapkan api untuk penggorengan."Di mana Mbakmu, Ning?" Ibu tidak memberi penjelasan justru menanyakan anak sulungnya."Di kamar. Ning sudah minta Mbak Titin bantuin bikin keripik. Tapi dari tadi nggak muncul juga."Aku sengaja sedikit mendecis kesal agar ibu mau membujuk Mbak Titin untuk
Pagi-pagi subuh, aku sudah bangun membantu menyiapkan sarapan. Aku biasa membantu ibu yang sudah terlebih dulu berkutat di dapur. Meski sikap ibu kurang baik padaku, aku tetap salut pada beliau. Pagi-pagi ibu menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk bapak dan Amir. "Ning, buruan yang ini dimasak juga!" Aku kaget melihat daging berbalur bumbu bawang siap digoreng. "Ini sudah ada tempe buat lauk, Bu. Dagingnya juga digoreng?" tanyaku ragu. Pasalnya menu makan ayam amat jarang terlihat di meja makan. Tempe dan tahu gorenglah yang mendominasi. Namun, aku tetap menikmati setiap masakan ibu."Sudah nggak usah banyak omong. Lagian ayam gorengnya bukan buat kamu sama Amir, tapi buat makan mbakmu."Oh, jadi lauk spesial ini untuk Mbak Titin. Aku sudah terlanjur bahagia, ibu memberi harapan pada Amir yang pernah menanyakan kenapa kami jarang menyediakan lauk ayam goreng.Beberapa menit kemudian."Wah, lauknya enak sekali, Mbak." Suara Amir menyeru dari belakang punggungku. Aku yang se
Setelah selesai meredam isak tangis, aku mengikuti langkah bu guru. Sejatinya aku malu, wajahku pasti sudah kuyu. Aku meminta izin membasuh muka terlebih dulu sebelum ke ruang yang bertuliskan ruang kepala sekolah."Pak, ini kakaknya Amir," ujar bu guru mengenalkanku pada sosok tegas yang duduk di kursi kerjanya. Laki-laki paruh baya itu menelisikku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kamu kakaknya Amir?""Iya, Pak. Saya Haningtyas, bisa dipanggil Ning." Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Kepala sekolah hanya tersenyum singkat."Sepertinya kamu masih sekolah?""Saya kelas tiga SMA, Pak. Sudah selesai ujian, tinggal menunggu kelulusan.""Mohon disampaikan pada orang tua Amir kalau syarat mengikuti ujian kelulusan harus lunas seluruh biaya sekolah," ucap kepala sekolah tegas.Aku tertunduk malu. Kenyataan keluargaku memang belum punya cukup uang untuk persiapan kelulusan. Tahun ini aku dan Amir lulus berbarengan sehingga kebutuhan uang membengkak. Namun, bapak masih berjanji
Tiga tahun berlalu.....Aku hidup dalam tekanan batin hebat. Sakit kepala sebelah semakin sering menyerangku. Apalagi ditambah bapak yang murka saat mendengarku berbuat mes*m dengan Zen. Hari-hari kulalui tanpa senyum dari beliau. Sungguh menyakitkan dianggap asing oleh laki-laki yang biasanya menatapku penuh kasih sayang."Ampuni Ning, Pak. Ning benar-benar tidak melakukannya." Aku bersimpuh di kaki bapak yang duduk di kursi roda. Sakit gejala struk bapak semakin parah saat mendengar berita buruk yang menimpaku."Pergi dari rumah ini, Ning. Bapak tidak mau melihatmu di sini. Kamu bikin malu bapak dan ibu."Meski ucapan bapak lirih tetapi tetap saja bagaikan sembilu yang menyayat hati. Aku tidak habis pikir dengan tindakan ibu yang menjadikanku korban."Baik, Pak. Ning akan merantau ke Yogya. Ning mau cari uang untuk bapak berobat. Bapak harus sembuh.""Tidak perlu. Bapak tidak butuh uang darimu. Anak tidak tahu diri. Sudah dibesarkan dengan kasih sayang malah melempari bapak ibumu de