Bab 7 Terjebak
Zen berlalu tanpa kata setelah aku mengembalikan buku miliknya ke almari. Sikapnya benar-benar tak acuh padaku. Bahkan senyum sedikit saja tidak terlihat di wajahnya. Benar-benar dingin, wajahnya kayak kulkas 2 pintu.Ya Rabb kuatkan aku. Kenapa begitu cepat Engkau pertemukan aku dengan orang itu. "Bu Tya, mana yang bisa dibantu?" tanyaku saat menghampiri pemilik rumah besar ini di dapur."Oh ini, Mbak. Sayurannya dipotong kecil-kecil ya. Kita bikin sup ayam lauknya udang crispy dan tempe goreng. Menu itu kesukaan anak-anak sejak kecil hingga dewasa masih lahap."Wah senangnya jadi anak-anak, ibu pandai memasak," pujiku pada Bu Tya."Makasih ya Mbak Ning. Simbok yang biasa membantu anaknya lagi demam jadi nggak bisa kemari.""Saya malah senang bisa membantu, Bu.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nhgak melanjutkan kuliah saja? Kenapa mau kerja di kantin kampus?"Sejenak aku terlempar di masa lalu yang menyedihkan bagiku."Mbak, rapot dan ijazahku bisa diambil, nggak?" lirih Amir seolah ingin merengek padaku. Dia tidak berani merengek di depan bapak ibu, apalagi Mbak Titin."Amir mau mendaftar ke SMP, Mbak," ucapnya lagi.Dadaku seolah ditekan kuat hingga terasa sesak. Mendengar rintihan Amir aku tidak tega. Pikiran berk3camuk, uang dari mana untuk mengambil rapot dan ijazah Amir. Rapot dan ijazahku saja masih tertahan di sekolah. Setelah keluargaku kena tipu habis-habisan karena Mbak Titin gagal menjadi model. Hidup kami carut marut. Hanya emosi yang selalu menghiasi hari-hari. Sebab itu, aku memilih diam dan menyelesaikan sendiri masalah yang hadir."Tenanglah, Mir. Mbak akan usahakan ambil ijazah dan rapotmu."Sejak itu, Amir bisa mendaftar ke SMP dengan bebas SPP karena prestasinya. Aku sangat bersyukur anak itu tetap rajin belajar walau hidup susah. Sayangnya, rapot dan ijazahku masih di sekolah sampai saat ini. Tekadku dengan bekerja merantau di Yogya, aku bisa mengumpulkan uang untuk mengambilnya. Siapa yang tahu nanti ada kesempatan aku bisa mendaftar kuliah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Semoga kuasanya mampu mengubah hidupku."Mbak Ning.""Eh iya, Bu. Maaf." Aku tersenyum sendiri mengingat masa sulit itu. Berharap di kota ini kehidupanku akan berubah. Aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengeluh dengan keadaan. Pun menangis oleh pahitnya kenyataan. Bertemu Zen, aku harus bisa membayar kesalahanku padanya. Semoga masih ada pintu maaf untukku.Malam tiba, keluarga Bu Tya berkumpul. Namun tidak ada suaminya. Kata Bu Tya suaminya masih harus bertuhas di luar kota menilai kampus baru. Oh ternyata bapak Zen yang katanya pembantu adalah orang penting di kampus. Benar-benar Zen telah membohongiku. Kesal rasanya dibohongi."Siapa dia, Ma?" tanya laki-laki yang terlihat lebih muda dari Zen. Sepertinya dia adik Zen."Oh, Syam. Ini Ning yang sementara bantu bersih-bersih di rumah. Dia mau kerja di kantin kampus katanya. Besok bisa kamu anter sekalian berangkat ke kampus?"Aku mendongak seraya menatap wajah Syam yang lebih ceria dibanding muka kulkas kakaknya. Keduanya samasama tampan menuruni wajah Bu Tya yang cantik. Atau mungkin ayah merrka juga tampan. Ishh, kenapa pikiranku malah kesitu."Oh, kenalin namaku Syam Maulana. Panghil saja Syam ganteng." Aku terkejut dengan tingkah Syam yang berbeda jauh dibandingkan dengan Zen.Syam terpingkal saat mengenalkan diri. Aku hanya mengulum senyum sambil melirik ke arah Zen yang membuang muka."Haningtyas Sari, Mas. Panggil saja Ning.""Jangan panggil, Mas. Sepertinya kita seumuran, aku 21tahun.""Saya baru 20, Mas.""Tuh kan. Panggil Syam saja. Oya boleh panggil Hani nggak? Biasa kan panggilan sayang itu Han, Hani." Candaan Syam membuatku menegang teringat panggilan Zen khusus untukku saat itu."Hmm, maaf. Saya tidak terbiasa dipanggil dengan sebutan itu. Panggil Ning saja, Syam.""Kan lebih keren dipanggil Hani daripada Ning." Syam masih berusaha protes."Syam. Orangnya nggak suka dipanggil itu kenapa kamu maksa.""Ishh, sama aja dengan Mas Zen. Dia paling nggak suka orang asing panggil Zen. Coba Ning kamu panggil kakakku dengan sebutan apa?""Hmm, Mas Alan.""Tuh, kan. Suka gitu dianya sejak putus hubungan sama gadis desa.""Syam! Hati-hati kalau bicara. Jangan suka ember!""Sudah-sudah, kalian ini nggak di meja makan atau di mana aja suka ribut. Malu dilihat tamu kan?""Lagian Mama, siapa nyuruh dia tinggal di sini. Zen nggak suka orang asing masuk ke rumah kita."Lagi, aku meneguk ludah susah payah. Kulihat Zen beranjak pergi dari meja makan dengan wajah kesal."Zen!" teriak Bu Tya memperingatkan. Namun Zen hanya menoleh lalu meminta maaf."Zen nggak nafsu makan." Zen pergi naik ke lantai dua kamarnya."Jangan dimasukkan hati, Ning. Kakakku memang suka begitu. Setahun ini lagi kena sakit jiwa.""Syam. Jangan menjelekkan saudara sendiri.""Iya, maaf, Ma.""Ayo kita lanjutkan makannya. Ning selesai makan tolong antarkan makan malam Zen ke kamarnya."Aku terkesiap mendengar perintah Bu Tya. Gimana aku bersikap nantinya kalau Zen seperti tadi gara-gara kehadiranku."Ba...baik, Bu.""Jangan khawatir, Ning. Nanti kalau kakakku menyalak, teriak saja. Kamarku di sebelahnya."Aku hanya menyengir kuda merespon ucapan Syam.Selesai makan, aku membawa nampan ke lantai 2 dengan hati-hati. Walau jantung berdegup kencang, aku tetap harus bekerja profesional.Sampai di depan kamar Zen, aku tidak bisa mengetuk pintu karena kedua tanganku memegang nampan. Kulihat nasi, sup dan udang cryspy sudah disiapkan Bu Tya di nampan. Seperti menu yang barusan kumakan. Jadi ingat Amir makan apa di rumah. Mbak Titin, Bapak dan Ibu. Apa kabar mereka. Ah baru juga sehari kangenku sudah terasa."Mas Alan, boleh masuk."Sekali panggil tidak ada balasan. Aku berdecak kesal saat panggilan sampai tiga kali tidak juga di respon. Akhirnya kugedor pakai kaki."Sini aku gedorin," ujar Syam dari arah kamarnya."Mas, buka pintunya." Sekali Syam menyeru ternyata pintu tiba-tiba dibuka dari dalam. Batinku mendecis, nih orang sengaja memang nggak mau buka kalau aku yang minta."Ada apa?" tanyanya dengan suara ketus."Tuh, Ning. Bawa masuk aja trus keluar. Awas macannya kadang jinak kadang menyalak."Kukirik sekilas Zen melototkan mata pada Syam. Adik kakak saling melempar aura sengit. Syam lalu bergegas ke kamarnya kembali."Awas Mas, jangan menakuti anak gadis orang," larang Syam. Aku hanya mengeratkan gigi lalu masuk ke kamar Zen. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke kamar ini. Sebab Bu Tya sendiri melarangku mengambah area privasi putra sulungnya kecuali sang empunya yang meminta.Bunyik pintu tertutup menyentak kesadaranku. Aku menoleh, ternyata Zen mengekoriku. "Ini, saya disuruh Bu Tya mengantarkan makan malam."Hening, seolah aku hanya berbicara dengan diri sendiri. Merasa diacuhkan, gegas aku meletakkan nampan lalu permisi keluar. Namun, saat tangan memutar handle pintu, jantungku berdetak kencang.Astaga, pintunya kenapa nggak bisa dibuka. Aku ketakutan, tetapi tak mau menunjukan pada laki-laki yang aku punggungi. Berusaha memutar handel dan membukanya, tetap saja gagal.Apa yang dilakukan Zen padaku. Apa dia mau menakutiku. Ah, aku tudak boleh takut. Aku bisa berteriak seperti kata Syam tadi. Suara langkah kaki semakin mendekat hingga terdengar lekat di telinga. Aku urung membalik badan karena kulihat sepasang kaki sudah berada tepat di belakangku."Zen, tolong buka pintunya! Jangan gini. Kamu membuatku takut," mohonku.Tanpa diduga kedua tangan Zen sudah mengurungku. Degup jantung kian berpacu, aku memberanikan diri membalik badan. Dengan kedua tangan siaga di depan dada, mana tahu Zen berbuat lebih jauh, aku bisa mendorongnya."Apa tujuanmu kemari? Mau menipuku? Mau menghancurkan nama baikku lagi, hah?!" Pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut Zen tidak mampu ku jawab. Nyaliku sudah menciut ditatap tajam manik matanya yang setajam elang."Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."enjoy reading. mampir baca juga kisah best seller DLista,yuk. ISTRI YANG KABUR DI MALAM PERTAMA MENIKAHI ADIK IPAR SENDIRI
Bab 8 Motor atau Mobil"Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."Entah kenapa sakit kepala sebelahku tiba-tiba menyerang kembali. Akhir-akhir ini aku sering merasakannya. Apa mungkin efek kelelahan dan banyak pikiran, entahlah.Aku berharap Zen tidak menduga kalau aku berbohong."Kamu terlalu pintar untuk menipuku lagi. Tidak usah berpura-pura sakit di depanku. Aku tidak akan kena tipu untuk kedua kalinya."Nyes,Ucapan Zen seperti sembilu yang menyayat hati. Aku berusaha menahan luka yang tak kasat mata. Biarlah sakit hatiku mengalahkan peningnya kepala yang teramat sangat. Berusaha menegakkan kepala agar air mata yidak tumpah, aku memberanikan diri menatapnya. Meskipun tatapan Zen masih sedingin es, aku tidak peduli. Aku tidak ingin menangis di depannya.Beberapa kali aku meringis menahan sakit kepala. "Saya tidak sengaja sampai di rumah ini. Bu Tya yang menolong saya waktu kena copet di termi
Bab 9 Siapa yang Penipu (Pov Author)"Dia nggak protes, kok," sanggah Syam pada kakaknya."Mana berani dia protes!" seru Zen."Kita tanya Ning saja. Ning kamu mau naik motor atau mobil?"Dilema merajai hati, Ning merasa takut melirik wajah dua-duanya."Sudahlah, ayo masuk mobil! Saya nggak terima penolakan."Melihat Zen tak acuh masuk mobil duluan, Ning tidak enak hati. Ia tidak mau membuat laki-laki berambut cepak dengan tinggi sekitar 170cm itu murka."Maaf, Syam. Saya ikut mobil Mas Alan ya."Syam berdecak kesal, sia-sia dia mau bersaing dengan kakaknya. Niat hati sampai kampus pamer dengan teman-temannya kalau ada cewek yang bisa dia boncengin. Ujung-ujungnya detngah jalan ditebas niatnya oleh Zen."Mas Zen menyebalkan."Syam menyantolkan helm yang dipakai Ning ke motor. Gegas ia menghidupkan mesinnya lagi dan melajukan motor sportnya menuju kampus. Sempat menyalip mobil kakaknya dengan membunyikan gas kencang. Rasa kesalnya hilang, Syam mendahului mobil itu.Sepanjang perjalanan h
Bab 10 Bercanda"Iya, kamu kira aku baik secara cuma-cuma. Kamu juga harus balas dengan kebaikan dong.""Maksudnya?""Misalnya jadi pacarku gitu.""Apa?!"Syam tiba-tiba terbahak membuat wajah kaku Ning memudar."Bercanda, Ning. Serius amat, sih.""Ishh, nyebelin kamu Syam."Keduanya berjalan menuju kantin FEB, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Motor Syam sudah dipindahkannya ke parkiran khusus mahasiswa. Kampus yang menjadi impian Ning untuk belajar materi itu merupakan kampus dengan mayoritas mahasiswa menaiki mobil. Entah impiannya akan terwujud atau tidak. Setidaknya Ning sudah pernah mengambah kampus impiannya."Mahasiswa yang kuliah di sini kaya-kaya ya, Syam?" celetuk Ning. Ia masih mengamati mobil yang berjajar di depan gedung. Tahu arah pembicaraan Ning, Syam mengukir senyuman lebar."Ya, nggak semuanya, Ning. Orang biasa pun bisa kuliah di sini. Mobil yang kamu lihat itu mobilnya dosen kali. Tuh, banyak mahasiswa yang ngontel. Bahkan mahasiswa yang jalan kaki pun ada.Ning menangg
Bab 11 Kerja KerasZen mencoba tidak menanggapi ucapan Andre. Ia fokus dengan makanan dan minuman yang baru saja datang."Rupanya gadis itu bukan mahasiswa. Nggak mungkin juga kamu tertarik padanya kan, Al?""Jelas lah, mau ditaruh mana mukaku kalau sampai tertarik penjaga kasir. Kamu becanda, Ndre.""Tapi ya, Al. Sekali melihat wajahnya, pesona alami kecantikannya itu terpancar dari dalam gitu. Coba saja kalau wajahnya dipoles seperti Vina, bakalan nggak kalah cantik.""Jangan membandingkannya dengan Vina. Jelas bagai langit dan bumi."Andre mendecak kesal."Iya-iya, Vina kan calon jodoh kamu. Makanya buruan dihalalin nanti pindah ke lain hati baru tahu rasa.""Jangan ngomong sembarangan, aku dan Vina dari dulu cuma berteman."Zen memang dijodohkan oleh orang tuanya dengan Vina. Orang tua Vina merupakan sahabat orang tua Zen. Namun, Zen hanya menganggap Vina sebagai teman baik. Sebaliknya Vina sudah berusaha mebdekati Zen, tetapi tidak berbalas. Tiga tahun terakhir Zen justru bersika
Bab 12A Ketus"Buruan masuk!" titahnya tak mau dibantah."Hah.""Zen kenapa masih ada di kampus.""Hmm, saya nunggu bus, Pak Alan," ucap Ning basa-basi."Saya tidak tanya. Buruan masuk, atau saya tinggal di sini biar dimangsa nyamuk," ketusnya. Ning hanya menghentakkan kaki.Ning masuk ke mobil dengan perasaan masih ngedumel. Ia hanya melirik ke samping, wajah Zen tetap fokus ke jalan depan. Tanpa disangka mobil keluar dari kampus lalu setelah melewati jalan besar, Zen menepikan mobilnya."Turun!"Ning terkesiap mendengarnya. Ia hampir saja terlelap saking lelahnya."Maksudnya gimana, Mas?""Itu halte masih rame. Kamu bisa menunggu bus di sana.""Astaga, nih orang sengaja bantu setengah-setengah." Masih dengan ngedumel, Ning terima daja perlakuan Zen padanya. Toh dia bukan siapa-siapa laki-laki itu. Meski dulu Ning pernah menyimpan rasa pada Zen. Kali ini, ia akan mengubur rasa itu setelah mengetahui perlakuan Zen yang membencinya.Dengan langkah gontai, Ning menuju halte yang masih
Bab 12B"Syukurlah, Ning ada yang nemenin makan. Kasian kalau makan sendirian.""Iya dong, Ma. Aku kan anak ganteng mama yang paling baik.""Ckkk, ganteng-ganteng tapi masih sendiri, Syam.""Nggak sendiri, Ma. Udah ada Ning, nih.""Syam, apaan sih.""Kalian ini cocok kalau bercanda. Jangan dimasukkan hati ya Mbak Ning.""Iya, Bu.""Oya, Ma. Mbok Nem kemana? Mas Zen minta dibawain minuman dua untuknya sama Mbak Vina di atas.""Wah Mbok Nem lagi mau mijit mama, Syam. Mbak Ning aja yang bawa ke atas ya setelah selesai makan!""Siap, Bu." Ning merasa gusar setelah menjawab dengan mantap."Nggak usah khawatir, Mas Zen nggak mungkin menerkammu, Ning," canda SyamMembuat Ning mendengkus."Nggak lucu, Syam." Syam justru tergelak. Melihat wajah kesal Ning sudah menjadi hobinya. Senyumnya pun mengembang. Ia tidak tahu kalau di dalam hati Ning sudah ketar-ketir. "Habis dari kamar Mas Zen, nanti kita bahas yang kamu omongin kemarin.""Apa?""Ning, masih muda kok sudah pikun. Katanya mau usaha ker
Bab 13 Rencana Pindah Kos"Ma... maaf kalau tidak ada yang dibutuhkan, saya permisi.""Pergilah. Kamu cuma mengganggu kesenangan kami berdua," ujar Vina.Gegas Ning melangkah keluar melewati pintu. Karena sambil melamun, dia menabrak Syam yang sedari tadi berdiri di depan kamar Zen."Maaf, Ning. Apa ada yang sakit?"Ning tidak mampu menjawab. Matanya sudah berkaca-kaca. Bukan akibat dari bok*ngnya yang terantuk lantai, melainkan hatinya yang tersayat. Ia tidak menyangka Vina dan Zen sudah sejauh itu berciuman di depannya."Beneran kamu nggak apa-apa?" tanya Syam lagi.Ning menggelengkan kepalanya lalu berdiri."Ada apa, Syam?" Zen mendengar berisik di luar kamar pun mendatangi tempat Ning dan Syam."Ning tadi melamun nabrak aku, Mas. Tapi dianya nggak papa kok. Ayo Ning kita lanjutkan rencana kita?" Ning mengangguki ajakan Syam. Sebab mereka sudah janjian mau membahas tentang pemasaran keripik singkongnya di kampus."Mau kemana kalian?""Kencan, Mas. Emang Mas Zen dan Mbak Vina aja ya
Bab 14A Pulang "Ning, jadi pindahan ke kos?" tanya Syam saat berkunjung makan siang di kantin. Suasana kantin yang ramai membuat Ning menghentikan obrolan singkat dnegan Syam. "Tunggu, Syam! Bentar lagi saya off." "Oke. Pesan makan dua porsi seklaian buat kamu ya. Aku tunggu di meja sebelah pinggir itu," tunjuk Syam pada meja kosong yang masih tersisa. Ning tidak mau mendebat. Ia harus bekerja profesional karena jam sibuk kantin jadi banyak pelanggan yang mengantri. "Ning, kamu dekat sama adiknya Pak Alan ya?" "Eh, Mbak Rika. Biasa aja, Mbak. Syam cuma mau bantuin usah keripik saya." "Oh, syukurlah. Jangan lupa stok di sini harus dapat jatah lho. Aku juga pengin mencicipi, Ning." "Siap, Mbak." Ning senang atasannya memberi dukungan padanya untuk menitipkan keripik singkong di kantin. Setelah off, Ning makan siang bersama Syam. Mereka membahas rencana memasarkan keripik. Selain dititipkan di kantin kampus, Syam mengusulkan pada Ning supaya membuat akun online shopping di salah