Share

Bukan Pertemuan yang Diinginkan

“Apa?! Leukemia?” lirih Melody yang spontan melirik nanar ke arah Nathan—putra kecilnya yang sedang terlelap di atas ranjang rumah sakit.

Melody tak menyangka jika sakit yang diderita oleh putranya akan separah ini. Rasa bersalah yang amat pekat menyelubungi dadanya. Jika saja dirinya tidak sibuk bekerja, mungkin saja kesehatan Nathan dapat terkontrol dengan baik.

Nathaniel, putranya yang baru berusia 5 tahun harus mengalami cobaan yang begitu berat. Bocah itu mengidap penyakit yang sama dengan yang diderita oleh ibu Melody dulu. Penyakit yang akhirnya merenggut sang ibu dari sisinya.

“Betul, Bu. Sayangnya, peralatan di rumah sakit ini kurang memadai dan khawatirnya akan menghambat pengobatan Nathan. Saya menyarankan agar Nathan diobati di Jakarta, agar bisa mendapatkan perawatan maksimal. Semua keputusan ada di tangan Ibu,” sahut dokter spesialis anak itu.

“Kalau Bu Melody setuju, saya akan membuatkan surat rujukan secepatnya. Saya juga memiliki beberapa rekomendasi yang bisa Ibu pilih.” Sang dokter kembali menambahkan.

“Saya akan mempertimbangkan saran Dokter. Terima kasih banyak, Dok. Saya akan memberitahu keputusan saya secepatnya,” sahut Melody setelah cukup lama terdiam.

“Kalau begitu saya permisi dulu. Panggil saya jika terjadi sesuatu. Nathan sudah boleh pulang sore ini. Tapi, Nathan tetap harus banyak beristirahat, jangan sampai terlalu lelah,” pamit dokter itu seraya melenggang keluar dari ruangan tersebut.

Melody bergerak mendekati brankar yang ditempati putra semata wayangnya. Satu-satunya sumber penyemangatan dan alasannya bertahan sampai detik ini. Hatinya berdenyut nyeri mengetahui penyakit parah yang menyerang putranya.

Melody menangis tanpa suara sembari membelai rambut hitam legam Nathan. Bocah tampan itu terlihat begitu pucat dan kuyu. Seharusnya sejak awal ia langsung memeriksakan Nathan ke rumah sakit, bukan klinik biasa hanya karena takut keberadaan putranya diketahui seseorang.

“Maafkan Mommy, Sayang. Mommy tidak memiliki banyak waktu untukmu selama ini. Kamu harus sembuh, kamu satu-satunya harapan Mommy,” bisik Melody dengan suara parau.

Dering nyaring yang berasal dari ponselnya membuat Melody sontak menegakkan tubuhnya. Melihat nama atasannya tertera di layar ponselnya, ia pun segera beranjak dari ruangan itu.

Melody berdeham pelan sebelum mengangkat telepon dari sang atasan. Ia tak ingin suaranya yang parau terdengar dari sana. “Selamat siang, Bu. Saya minta maaf karena tidak bisa menghadiri meeting hari ini dan belum sempat mengabari sebelumnya. Sekarang saya masih menemani anak saya di rumah sakit.”

Ketika melihat nama atasannya barusan, Melody baru ingat kalau seharusnya siang ini dirinya menghadiri meeting bersama para direksi. Namun, jelas saja ia tidak mungkin hadir di sana karena Nathan juga membutuhkan keberadaannya.

[“Tidak apa-apa, Melody. Lagipula meetingnya diundur besok. Semoga anakmu lekas pulih. Saya ingin menanyakan kesediaan kamu untuk dimutasi ke Jakarta, seperti yang pernah kita bahas sebelumnya. Bagaimana? Apa kamu setuju?”]

Melody terdiam selama beberapa saat, menimbang-nimbang keputusan yang harus dirinya ambil. Sekarang ia sedang membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan Nathan. Sepertinya ini adalah jalan terbaik, meski itu artinya dirinya harus siap menerima segala konsekuensi atas keputusannya.

“Saya setuju, Bu. Tapi, sebelum itu, apa boleh saya mengurus keperluan anak saya dulu? Saya berjanji akan menyelesaikan masalah pribadi saya secepatnya,” jawab Melody pada akhirnya.

[“Tentu. Silakan selesaikan urusan pribadimu dulu, setelah itu kabari saya lagi.”]

Melody menatap layar ponselnya yang sudah berubah hitam dengan tatapan campur aduk. Meskipun keputusan ini cukup berat untuknya, tetapi ia memang harus mengambil keputusan ini.

***

Setelah kepulangan Nathan dari rumah sakit, Melody langsung mengurus kepindahannya juga sang putra. Ia pun menyetujui rekomendasi dokter untuk pengobatan putranya di ibukota. Kota yang sama dengan tempat kerjanya yang baru.

Hanya dua hari saja yang Melody perlukan untuk membereskan semuanya. Wanita itu khawatir penyakit yang diderita putranya kambuh lagi sebelum mereka sampai di sana dan memilih bergerak cepat.

Sudah terhitung seminggu berlalu sejak Melody dan Nathan resmi pindah ke Jakarta. Selama itu pula, Melody disibukkan dengan berbagai kegiatan di kantor barunya sekaligus merawat Nathan yang sebenarnya masih dalam masa pemulihan.

Dan hari ini, tepat di weekend pertama mereka di Jakarta, Melody langsung mengajak Nathan jalan-jalan di salah satu mall yang dekat dengan apartemen mereka. Sebagai apresiasi karena selama beberapa hari ke belakang, putranya benar-benar patuh dalam masa pemulihan.

“Mommy, apa aku boleh bermain di sana? Sebentar saja,” pinta Nathan sembari mengguncang lengan Melody. Bocah itu menunjuk tempat bermain anak-anak yang berada di seberang restoran yang mereka datangi.

Melody mengusap rambut Nathan yang duduk di sampingnya penuh kasih sayang. Ia tetap memasang senyum meski hatinya terasa perih melihat sang putra yang masih sangat pucat. “Untuk sekarang jangan dulu ya, Sayang? Kalau Nathan sudah benar-benar pulih, Nathan boleh bermain sepuasnya. Ingat apa yang Dokter katakan, Nathan tidak boleh kelelahan.”

“Baiklah, Mom,” balas Nathan lesu. Bocah tampan itu kembali melahap makanannya dengan wajah tertekuk.

“Hei, Boy! Jangan cemberut begitu. Bermain bersama teman-teman bisa ditunda besok-besok. Bagaimana kalau besok kita bermain lagi? Daddy akan membawakan playstation yang Nathan inginkan,” sahut lelaki bernama David yang menempati kursi di sisi kanan Nathan.

“Benarkah, Daddy?” Nathan yang semula tertunduk lesu langsung mengangkat kepalanya dengan tatapan berbinar.

“Tentu. Asalkan sekarang kamu harus menghabiskan makananmu,” timpal David dengan senyum lebar.

Melody menatap interaksi keduanya dengan senyum tipis. David selalu bisa menangani Nathan, bahkan lebih baik darinya. Selama ini, lelaki itu juga yang selalu sigap membantunya dalam hal apa pun. Entah sudah berapa banyak utang budinya pada lelaki itu.

Melody berdeham pelan. “Emm … sepertinya Mommy harus ke toilet sebentar. Nathan tunggu di sini dan jangan nakal, oke?”

Nathan mengangguk singkat dan mengacungkan kedua jempolnya. Melody mengecup kening bocah tampan itu sebelum beranjak pergi. Sekaligus berpamitan pada David lewat sorot matanya.

Tepat ketika memasuki toilet, ponsel Melody berdering. Karena tidak memperhatikan langkahnya, tak sengaja wanita itu menabrak seseorang yang baru keluar dari sana hingga ponselnya terpenta ke lantai.

“Maafkan aku, aku tidak sengaja,” ucap Melody sembari mengambil ponselnya yang sedikit retak, namun masih bisa menyala.

“Tidak apa-apa. Apa ponselmu baik-baik saj—eh, Melody? Ternyata kamu di sini juga?” tutur wanita bernama Rosetta itu.

Melody spontan mengangkat kepala dan alangkah terkejutnya ia ketika mendapati atasan barunya di kantor. “Ponsel saya baik-baik saja, Bu. Kebetulan saya sedang makan siang di dekat ini. Maaf, saya tidak sengaja menabrak Bu Rose.”

“Ya ampun, tidak apa-apa, Melody. Aku—”

“Kenapa lama sekali, aku harus menghadiri meeting penting setelah ini,” interupsi seorang lelaki yang dengan berani menerobos masuk ke toilet ini.

Suara bariton yang familiar itu membuat Melody menegang. Tanpa berani melihat siapa yang datang, wanita itu malah sengaja menundukkan kepala. Dalam hati ia berharap semoga orang yang datang ini bukanlah seseorang yang dirinya hindari mati-matian.

“Maaf, Sayang. Tunggu sebentar, Melody. Aku ingin mengenalkanmu dengan tunanganku. Dan Sayang, ini Melody, rekan kerjaku yang baru di kantor. Dia sangat cekatan dan cerdas,” beber Rosetta yang membuat Melody terpaksa mendongak.

Manik kecokelatan Melody langsung bertubrukan dengan sorot tajam milik lelaki yang kini berdiri di samping Rosetta. Khaysan Hutomo, mantan suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status