Share

5. Dendam Satria

Satria menyeringai puas. Sambil mengelus foto mendiang kekasihnya, dia berucap lirih, “Pembalasanku untuk kematianmu akan segera terlaksana, Sayang. Tunggulah sebentar lagi, Tami akan kubuat merasakan sakit sampai dia tak ingin ada di dunia ini lagi.”

Dia memejamkan mata sejenak, dadanya selalu sesak setiap kali mengingat Vania -tunangannya- yang meninggal satu minggu sebelum hari pernikahan mereka. Satria terpuruk dan hal itu membuat hatinya kebas kehilangan rasa.

Sudah tiga tahun berlalu, tapi rasa sakit itu masih ada dan berkembang menjadi dendam yang bukannya menghilang malah semakin membakar diri Satria untuk melampiaskan sakit hatinya pada Tami.

Tak peduli apa pun risikonya, dia sudah bertekad untuk membuat keluarga Tami hancur dan bersujud memohon ampun di kakinya.

“Kali ini aku tidak akan menahan diri lagi.” Kemarahan terlihat jelas di wajah pria yang selama ini terkenal baik hati dan ramah.

Rahangnya mengeras dengan mata yang berkobar, “Tak akan kubiarkan kamu hidup bahagia, setelah hidupku kau hancurkan.”

Perlahan dia meletakkan kembali foto mendiang kekasihnya seolah itu adalah barang yang sangat berharga. Satria lalu beranjak dan duduk di sofa. Mengambil ponsel dari saku celana kemudian menghubungi orang yang selama ini dipercaya. “Awasi pergerakan Sissy dan Irwan, jangan sampai mereka menggagalkan rencana saya. Dan urus segera pernikahan saya.”

Tanpa menunggu jawaban, panggilan itu diputus sepihak.

Satria menyandarkan punggungnya sambil memijat pelipisnya pelan, mengingat lagi kejadian beberapa jam lalu saat dia bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Tami untuk melamar gadis itu. Dia tak menyangka, ibu dan adik Tami benar-benar sungguh menjengkelkan.

Kalau saja bukan demi memuluskan rencananya, dia pasti akan menghindari dua orang itu.

“Saya datang mau melamar Tami untuk menjadi istri saya.”

Sissy langsung terbelalak dan menggenggam keras jemari mamanya, dia cemberut dan mamanya diam membeku dengan mata membulat juga mulut yang menganga.

Melihat mamanya yang diam membeku, Sissy menggoyangkan lengan mamanya sambil memanggil pelan, “Mah....”

“Ah–em–eh, mak–maksud Nak Satria apa ya?” tanya Widya setelah sadar dari keterkejutannya.

Dengan tegas Satria menjawab, “Saya ingin menikahi Tami!”

Jawaban dari Widya yang malah menyodorkan adik Tami membuat Satria merasa sangat jengah. Beberapa kali dia menahan diri untuk tidak meluapkan kekesalannya mengingat ada kedua orang tuanya di sana.

Akhirnya dia meminta waktu sejenak untuk bicara empat mata dengan Widya. Menyingkir sesaat dan mereka memilih berdiri dekat dapur bersih. “Jangan main-main dengan saya, Bu Widya. Sissy adalah perkara mudah bagi saya. Saya yakin Anda paham maksud saya.”

Tubuh Widya menegang setelah mendengar hal itu, tapi dia berusaha tenang dan mencoba peruntungan. “Apa yang saya dapat dari kamu yang menikahi Tami. Dia yang menafkahi keluarga kami selama ini.”

Satria tersenyum tipis. “Berikan Tami, saya tak akan mengusik Sissy dan kebutuhan hidup keluarga Anda akan saya penuhi.”

Mata Widya memejam sesaat, dia tak ingin melihat Sissy sedih. Tapi ancaman Satria jelas bukan untuk diremehkan.

“Saya enggak yakin Tami mau menikah dengan kamu,” tawar Widya lagi.

Mendengar itu, Satria mulai geram dan memandang remeh ke arah Widya. “Itu urusan Anda, Bu Widya. Yang saya tahu hanya Tami menikah dengan saya dan semua urusan keluarga Anda akan aman.” Dia terdiam sesaat sebelum mengeluarkan ponselnya dan memutar satu video lalu memperlihatkan kepada calon mertuanya itu.

Awalnya Widya tak setakut itu menghadapi Satria, tapi begitu melihat ke arah ponsel pria itu, matanya langsung melotot dan tubuhnya sedikit gemetar. Tenggorokannya tercekat. Tak menyangka bahwa Satria bisa memilikinya.

Satria mendengkus, “Anda terlalu meremehkan saya.”

Akhirnya Widya mengangguk pelan dan menjawab dengan cepat, “Tami akan segera menikah dengan Anda.” Suaranya yang gemetar bahkan terdengar begitu jelas dan itu membuat Satria puas.

Mereka kembali ke tempat duduk semula dan saat itu Satria sudah melihat kehadiran Tami yang sedang berdiri di balik partisi dekat dinding.

“Bagaimana dengan permintaan saya?” tanya Satria. Selain minta jawaban Widya, dia juga sengaja mengeraskan suara agar Tami dengar.

Dia tak akan buang waktu lagi sekarang, setelah dua tahun kemarin dia membiarkan Irwan main-main dengan Tami.

Satria tertawa puas dalam hati saat melihat wajah Tami yang pias kala dia menyebutkan janji setelah diizinkan menikah dengannya.

Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Satria dan dia tersenyum miring kala melihat siapa yang menelefonnya.

“Bapak jangan gila ya, saya jelas enggak mau menikah dengan Bapak!” pekikan Tami langsung terdengar bahkan sebelum ada kata sapaan di antara mereka.

“Tenanglah, Tami. Saya hanya tak ingin kejadian tempo hari terulang. Niat saya baik dan saya juga sudah lama tertarik sama kamu,” Satria menjelaskan dengan suara yang lembut.

“Apa, Pak?! Saya enggak salah denger. Lagi pula saya baik-baik saja.” Helaan napas terdengar dari seberang sana dan Tami kembali buka suara. “Saya enggak bisa bujuk mama, jadi tolong Bapak batalkan keinginan menikahi saya.”

Satria terkekeh, “Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”

Di seberang sana Tami tak membuka suara sama sekali. Maka Satria menutup percakapan itu dengan tegas, “Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”

Suara panggilan yang terputus membuat seringai Satria kembali hadir. Dia membayangkan Tami yang sedang frustrasi di sana. Gadis itu pasti sangat kesal saat sini, tapi tak tahu mau melakukan apa. “Semoga saja dia tetap sehat, karena hanya aku yang boleh menyakitimu.”

Mengingat rencananya akan mulai berjalan mulus, Satria menyeringai licik, “Permainan akan segera dimulai, Sayang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status