Satria menyeringai puas. Sambil mengelus foto mendiang kekasihnya, dia berucap lirih, “Pembalasanku untuk kematianmu akan segera terlaksana, Sayang. Tunggulah sebentar lagi, Tami akan kubuat merasakan sakit sampai dia tak ingin ada di dunia ini lagi.”
Dia memejamkan mata sejenak, dadanya selalu sesak setiap kali mengingat Vania -tunangannya- yang meninggal satu minggu sebelum hari pernikahan mereka. Satria terpuruk dan hal itu membuat hatinya kebas kehilangan rasa.
Sudah tiga tahun berlalu, tapi rasa sakit itu masih ada dan berkembang menjadi dendam yang bukannya menghilang malah semakin membakar diri Satria untuk melampiaskan sakit hatinya pada Tami.
Tak peduli apa pun risikonya, dia sudah bertekad untuk membuat keluarga Tami hancur dan bersujud memohon ampun di kakinya.
“Kali ini aku tidak akan menahan diri lagi.” Kemarahan terlihat jelas di wajah pria yang selama ini terkenal baik hati dan ramah.
Rahangnya mengeras dengan mata yang berkobar, “Tak akan kubiarkan kamu hidup bahagia, setelah hidupku kau hancurkan.”
Perlahan dia meletakkan kembali foto mendiang kekasihnya seolah itu adalah barang yang sangat berharga. Satria lalu beranjak dan duduk di sofa. Mengambil ponsel dari saku celana kemudian menghubungi orang yang selama ini dipercaya. “Awasi pergerakan Sissy dan Irwan, jangan sampai mereka menggagalkan rencana saya. Dan urus segera pernikahan saya.”
Tanpa menunggu jawaban, panggilan itu diputus sepihak.
Satria menyandarkan punggungnya sambil memijat pelipisnya pelan, mengingat lagi kejadian beberapa jam lalu saat dia bersama kedua orang tuanya datang ke rumah Tami untuk melamar gadis itu. Dia tak menyangka, ibu dan adik Tami benar-benar sungguh menjengkelkan.
Kalau saja bukan demi memuluskan rencananya, dia pasti akan menghindari dua orang itu.
“Saya datang mau melamar Tami untuk menjadi istri saya.”
Sissy langsung terbelalak dan menggenggam keras jemari mamanya, dia cemberut dan mamanya diam membeku dengan mata membulat juga mulut yang menganga.
Melihat mamanya yang diam membeku, Sissy menggoyangkan lengan mamanya sambil memanggil pelan, “Mah....”
“Ah–em–eh, mak–maksud Nak Satria apa ya?” tanya Widya setelah sadar dari keterkejutannya.
Dengan tegas Satria menjawab, “Saya ingin menikahi Tami!”
Jawaban dari Widya yang malah menyodorkan adik Tami membuat Satria merasa sangat jengah. Beberapa kali dia menahan diri untuk tidak meluapkan kekesalannya mengingat ada kedua orang tuanya di sana.
Akhirnya dia meminta waktu sejenak untuk bicara empat mata dengan Widya. Menyingkir sesaat dan mereka memilih berdiri dekat dapur bersih. “Jangan main-main dengan saya, Bu Widya. Sissy adalah perkara mudah bagi saya. Saya yakin Anda paham maksud saya.”
Tubuh Widya menegang setelah mendengar hal itu, tapi dia berusaha tenang dan mencoba peruntungan. “Apa yang saya dapat dari kamu yang menikahi Tami. Dia yang menafkahi keluarga kami selama ini.”
Satria tersenyum tipis. “Berikan Tami, saya tak akan mengusik Sissy dan kebutuhan hidup keluarga Anda akan saya penuhi.”
Mata Widya memejam sesaat, dia tak ingin melihat Sissy sedih. Tapi ancaman Satria jelas bukan untuk diremehkan.
“Saya enggak yakin Tami mau menikah dengan kamu,” tawar Widya lagi.
Mendengar itu, Satria mulai geram dan memandang remeh ke arah Widya. “Itu urusan Anda, Bu Widya. Yang saya tahu hanya Tami menikah dengan saya dan semua urusan keluarga Anda akan aman.” Dia terdiam sesaat sebelum mengeluarkan ponselnya dan memutar satu video lalu memperlihatkan kepada calon mertuanya itu.
Awalnya Widya tak setakut itu menghadapi Satria, tapi begitu melihat ke arah ponsel pria itu, matanya langsung melotot dan tubuhnya sedikit gemetar. Tenggorokannya tercekat. Tak menyangka bahwa Satria bisa memilikinya.
Satria mendengkus, “Anda terlalu meremehkan saya.”
Akhirnya Widya mengangguk pelan dan menjawab dengan cepat, “Tami akan segera menikah dengan Anda.” Suaranya yang gemetar bahkan terdengar begitu jelas dan itu membuat Satria puas.
Mereka kembali ke tempat duduk semula dan saat itu Satria sudah melihat kehadiran Tami yang sedang berdiri di balik partisi dekat dinding.
“Bagaimana dengan permintaan saya?” tanya Satria. Selain minta jawaban Widya, dia juga sengaja mengeraskan suara agar Tami dengar.
Dia tak akan buang waktu lagi sekarang, setelah dua tahun kemarin dia membiarkan Irwan main-main dengan Tami.
Satria tertawa puas dalam hati saat melihat wajah Tami yang pias kala dia menyebutkan janji setelah diizinkan menikah dengannya.
Suara dering ponsel membuyarkan lamunan Satria dan dia tersenyum miring kala melihat siapa yang menelefonnya.
“Bapak jangan gila ya, saya jelas enggak mau menikah dengan Bapak!” pekikan Tami langsung terdengar bahkan sebelum ada kata sapaan di antara mereka.
“Tenanglah, Tami. Saya hanya tak ingin kejadian tempo hari terulang. Niat saya baik dan saya juga sudah lama tertarik sama kamu,” Satria menjelaskan dengan suara yang lembut.
“Apa, Pak?! Saya enggak salah denger. Lagi pula saya baik-baik saja.” Helaan napas terdengar dari seberang sana dan Tami kembali buka suara. “Saya enggak bisa bujuk mama, jadi tolong Bapak batalkan keinginan menikahi saya.”
Satria terkekeh, “Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”
Di seberang sana Tami tak membuka suara sama sekali. Maka Satria menutup percakapan itu dengan tegas, “Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”
Suara panggilan yang terputus membuat seringai Satria kembali hadir. Dia membayangkan Tami yang sedang frustrasi di sana. Gadis itu pasti sangat kesal saat sini, tapi tak tahu mau melakukan apa. “Semoga saja dia tetap sehat, karena hanya aku yang boleh menyakitimu.”
Mengingat rencananya akan mulai berjalan mulus, Satria menyeringai licik, “Permainan akan segera dimulai, Sayang.”
Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”Tami benar-benar tak tenang, dia bangun d
Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. “Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan merem
Pernikahan yang katanya hanya diadakan secara sederhana dan mengundang keluarga terdekat saja karena persiapan dengan waktu yang singkat. Nyatanya, sejak tadi tamu tak berhenti berdatangan dan lihatlah dekorasinya. Penuh dengan lampu kristal, ruangan yang di dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga indah juga pernak pernik lain yang sudah pasti tak murah adanya.Tami sudah berulang kali meringis, kakinya mulai lecet dan betisnya pegal karena terlalu lama berdiri menyapa tamu. Dia tahu kalau berharap perhatian dari suaminya adalah mustahil karena Satria tidak mencintainya. Benar saja, pria itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah tamu.“Kenapa senyummu jelek sekali hari ini. Biasanya kamu selalu ramah dan ceria.” Tegur Satria.“Tentu saja karena aku terpaksa ada di sini,” ucap Tami yang hanya berani diucapkan dalam hati. Dia mendengkus kecil dan melebarkan bibirnya dengan sangat terpaksa.“Ck ... ya, lumayan lah. Bertahanlah sampai acara ini selesai.
Tami mendorong kuat dada Satria dan mengatur napasnya ketika sudah terlepas. Dia masih tersengal dengan dada yang naik turun dan wajah memerah. Matanya terus melirik tajam ke arah Satria yang kini sudah berbaring di sebelahnya. Meski dia begitu menikmati kelembutan yang disuguhkan, tapi harga dirinya menolak untuk mengakui.“Apaan, sih, Pak,” omelnya.Satria tak menggubris, dia malah tersenyum miring lalu berbalik memunggungi Tami.“Dasar Om-om genit. Habis cium-cium malah sok jual mahal,” gerutu Tami dalam hati.Rasanya masih ingin meneruskan marah, tapi ucapan Satria kian menohoknya. “Tenang saja, saya enggak berminat sama tubuh kamu. Tadi hanya mencicip suguhan yang telah saya bayar mahal. Ternyata rasanya sungguh mengecewakan.”Tenggorokan Tami tercekat mendengarnya. Dirinya hanya dianggap sebagai “suguhan” dan mengecewakan. Hatinya bagai diremas kuat saat ini. Padahal dia sudah terbiasa direndahkan mama dan adiknya. Tapi ini sakit sekali. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk m
Tepat pukul sepuluh pagi, pesawat sewaan mereka lepas landas. Iya, Papa Felix sengaja tidak membeli tiket pesawat komersial melainkan menyewa sebuah pesawat jet milik salah seorang sahabatnya. Dia tak ingin anak dan menantunya kelelahan di perjalanan dan malah tak ada tenaga lagi begitu sampai di sana.“Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Pak? Eh, Mas.” Ralatnya cepat saat melihat lirikan tajam Satria padanya.“Saya juga enggak tahu!”Suara decakan terdengar, membuat Satria menoleh. “Udah sana, kamu duduk yang jauh, jangan ganggu aku!”“Jangan-jangan aku mau di buang ke pulau terpencil,” bisik Tami pada diri sendiri sambil berjalan pelan ke kursi belakang. Dan membayangkan itu dia jadi bergidik.Satria memutar matanya malas. “Dari pada saya mengeluarkan tenaga untuk membuangmu di pulau, lebih baik makananmu di taburi racun. Akan lebih hemat waktu,” cibiran ketus itu terdengar jelas.Mata Tami melotot dan gegas berjalan lebih cepat menghindari suaminya.Perjalanan yang awalnya dikira Tam
Mata Tami memejam erat, dia menahan perih di bagian tubuh bagian bawahnya. Namun, hal itu tak sesakit hatinya. Air matanya menetes perlahan, tapi hal itu tak membuat Satria menghentikan apa yang sedang dinikmatinya sekarang.“Vania ... aku mencintaimu, Sayang. Oh, Vania. Terima kasih sudah menjaganya untukku.” Suara mengeram tertahan Satria terdengar begitu jelas. Karena pria itu menyandarkan kepalanya di bahu Tami yang hanya bisa diam pasrah dalam kungkungannya.Hati Tami membuncah, dia kira Satria mulai bisa membuka hati dan akan belajar menerima dirinya dengan sungguh-sungguh sebagai istri. Tapi, senyumannya seolah melesap langsung ke perut bumi kala mendengar nama wanita lain yang di teriakkan suaminya saat pria itu mendapatkan kepuasan.“Hukuman kamu, benar-benar menghukumku, Mas,” batin Tami menangis. Dia memiringkan badannya saat Satria sudah berguling ke samping. Mereka masih di pinggir pantai, dengan beralaskan daun pisang. “Diri ini benar-benar sudah tak ada lagi harga dir
“Sayangnya mama,” suara penuh kebahagiaan terdengar dan pelukan hangat di terima Tami. Wajahnya juga tak luput dari banyaknya kecupan dari mama mertuanya.Satria entah ke mana. Begitu sampai mereka berpisah di depan bandara dan Tami langsung diantar ke rumah utama.“Maaf ya, Sayang. Kalian jadi terpaksa pulang lebih cepat dan hanya dua malam di sana. Pasti kamu sedih ya. Biasanya kalau sudah ke sana, semua pada betah dan enggak mau pulang.” Mama Emilia terlihat menyesal dan sedikit bersalah pada menantunya ini.“Aku malah bahagia bisa keluar dari pulau itu, Mah,” ucap Tami dalam hati. Yang tampak malah senyum manis menenangkan dan ucapan penuh pengertian,” Enggak kok, Mah. Kami bisa ke sana lagi kapan-kapan dan Mamah benar, di sana begitu indah.”“Iya, kamu benar. Nanti kita bisa ke sana saat liburan dan kamu bisa melanjutkan bulan madu ke negara lain.” Mama Emilia masih terus berusaha menghibur Tami.Wajah Tami malah tercipta senyum pias setiap kali mendengar kata bulan madu.“Ya uda
Ketukan pintu kembali terdengar. Dalam pikirannya dia mencoba menebak siapa yang datang. Ternyata kepala bagian keamanan di perusahaannya.“Maaf, Pak. Bapak memanggil saya?” tanyanya sopan.“Masuk, Pak. Saya mau lihat rekaman cctv kemarin. Sekaligus ada beberapa hal yang harus saya tanyakan,” ujar Satria. Dewo pria paruh baya yang sudah lama mengabdi sebagai keamanan di perusahaan itu pun beringsut mendekat dan meletakkan laptopnya di atas meja.Ruangan Satria telah rapi beberapa menit lalu dan kini dia kan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Apa ada kejadian janggal beberapa hari ini? Dan apa saja yang dilakukan adik saya kemarin?” Meski masih muda, tapi suara tenang penuh wibawa itu selalu membuat sungkan para bawahannya tak terkecuali Dewo. “Bapak bisa lihat sendiri,” ucap Dewo sembari menggeser laptopnya ke arah Satria.Dahi Satria berkerut. Dia benar-benar tak menyangka adik kandungnya bisa melakukan itu semua. Terlebih membawa orang luar yang notabene adalah saingan pe